Memaknai Survei
A
A
A
KIAN dekat pemilihan umum, baik itu pemilihan umum presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), maupun pemilu kepala daerah (pilkada), survei akan kian banyak yang dirilis ke publik. Survei ini tentunya menguntungkan karena memudahkan masyarakat untuk membaca realitas politik paling mutakhir.
Namun sayangnya, publik menjadi bingung belakangan ini karena beberapa survei yang muncul berbeda cukup signifikan satu sama lain.
Tren penggunaan survei untuk merangkum opini publik terkait pemilu mulai berkembang pada masa pilpres 2004. Pada masa itu, mulai bermunculan beberapa lembaga pollster yang bisa membantu publik dan para kandidat beserta tim suksesnya realitas politik yang sedang dihadapi. Survei-survei yang diluncurkan menjadi pegangan bagi tim sukses untuk memetakan dukungannya.
Namun, selain kemampuannya untuk merangkum opini publik secara makro, survei juga mempunyai efek samping yang cukup kentara. Survei yang dirilis bisa memengaruhi publik yang menganggap pemilu yang dihadapi seperti sudah hampir pasti hasilnya sama dengan apa yang disebutkan survei.
Efek ini di tangan tim sukses yang piawai akan memberikan efek yang jauh lebih kuat lagi dalam benak para calon pemilih. Para calon pemilih akan terpengaruh untuk memilih calon yang menurut survei sudah kuat. Dalam kajian ilmu politik, kecenderungan ini dirangkum dalam istilah bandwagon effect.
Asal istilah ini dari di masa lalu umum di desa-desa atau di kota-kota di Amerika dan Eropa muncul kelompok-kelompok sirkus yang menggunakan berbagai alat musik dan para pemain sirkusnya yang sangat menarik bagi masyarakat.
Masyarakat pun akhirnya tertarik untuk melihat kelompok sirkus yang riuh rendah itu. Ketika akhirnya beberapa anggota masyarakat ikut di belakang bandwagon tersebut, yang lain menjadi tertarik untuk juga ikut dan beberapa lainnya tanpa sadar ikut.
Secara psikologis, manusia punya kecenderungan untuk mengikuti keramaian karena merasa nyaman ada di kelompok mayoritas. Efek untuk merasa di pilihan yang sama dengan kelompok mayoritas itulah yang diharapkan terjadi oleh para tim sukses kandidat dalam pemilu.
Ketika ada beberapa calon yang bertarung dan survei menyatakan salah satu kandidat bisa menang mutlak, sementara ada kandidat lain yang suaranya jeblok, maka para tim sukses kandidat akan berharap publik yang cenderung memilih suaranya jeblok untuk mengalihkan suaranya ke kandidat yang suaranya tinggi.
Ini terkait psikologis manusia yang dijelaskan dalam bandwagon effect serta psikologis yang ingin suaranya bermakna. Para pemilih umumnya akan merasa sia-sia jika menyalurkan suaranya ke calon yang dianggap akan kalah.
Kita tentu tidak ingin dalam 101 pilkada—termasuk Pilkada DKI Jakarta—yang akan dihadapi pada 15 Februari 2017 ini masyarakat dipengaruhi secara negatif oleh tim sukses para kandidat melalui survei yang misleading demi mengharapkan bandwagon effect. Masyarakat harus secara kritis dalam memandang survei yang dihadirkan ke hadapannya.
Sekalipun survei adalah satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk melihat kecenderungan pilihan politik masyarakat secara makro, bukan berarti survei tidak bisa salah. Pilkada DKI Jakarta 2012 merupakan salah satu pembuktian paling kentara bagaimana survei tidak melulu tepat prediksinya.
Hingga beberapa minggu sebelum pilkada, berbagai survei yang dikeluarkan lembaga-lembaga ternama mengunggulkan calon gubernur Fauzi Bowo. Namun, rupanya yang menangguk kemenangan sebagai gubernur adalah Joko Widodo.
Lembaga survei harus lebih fair dalam membuka metodologinya kepada publik. Framing dengan tujuan mengarahkan pandangan publik adalah hal biasa dalam politik. Namun, framing yang keterlaluan akan menimbulkan kebingungan dan merugikan demokrasi yang susah payah kita bangun ini.
Namun sayangnya, publik menjadi bingung belakangan ini karena beberapa survei yang muncul berbeda cukup signifikan satu sama lain.
Tren penggunaan survei untuk merangkum opini publik terkait pemilu mulai berkembang pada masa pilpres 2004. Pada masa itu, mulai bermunculan beberapa lembaga pollster yang bisa membantu publik dan para kandidat beserta tim suksesnya realitas politik yang sedang dihadapi. Survei-survei yang diluncurkan menjadi pegangan bagi tim sukses untuk memetakan dukungannya.
Namun, selain kemampuannya untuk merangkum opini publik secara makro, survei juga mempunyai efek samping yang cukup kentara. Survei yang dirilis bisa memengaruhi publik yang menganggap pemilu yang dihadapi seperti sudah hampir pasti hasilnya sama dengan apa yang disebutkan survei.
Efek ini di tangan tim sukses yang piawai akan memberikan efek yang jauh lebih kuat lagi dalam benak para calon pemilih. Para calon pemilih akan terpengaruh untuk memilih calon yang menurut survei sudah kuat. Dalam kajian ilmu politik, kecenderungan ini dirangkum dalam istilah bandwagon effect.
Asal istilah ini dari di masa lalu umum di desa-desa atau di kota-kota di Amerika dan Eropa muncul kelompok-kelompok sirkus yang menggunakan berbagai alat musik dan para pemain sirkusnya yang sangat menarik bagi masyarakat.
Masyarakat pun akhirnya tertarik untuk melihat kelompok sirkus yang riuh rendah itu. Ketika akhirnya beberapa anggota masyarakat ikut di belakang bandwagon tersebut, yang lain menjadi tertarik untuk juga ikut dan beberapa lainnya tanpa sadar ikut.
Secara psikologis, manusia punya kecenderungan untuk mengikuti keramaian karena merasa nyaman ada di kelompok mayoritas. Efek untuk merasa di pilihan yang sama dengan kelompok mayoritas itulah yang diharapkan terjadi oleh para tim sukses kandidat dalam pemilu.
Ketika ada beberapa calon yang bertarung dan survei menyatakan salah satu kandidat bisa menang mutlak, sementara ada kandidat lain yang suaranya jeblok, maka para tim sukses kandidat akan berharap publik yang cenderung memilih suaranya jeblok untuk mengalihkan suaranya ke kandidat yang suaranya tinggi.
Ini terkait psikologis manusia yang dijelaskan dalam bandwagon effect serta psikologis yang ingin suaranya bermakna. Para pemilih umumnya akan merasa sia-sia jika menyalurkan suaranya ke calon yang dianggap akan kalah.
Kita tentu tidak ingin dalam 101 pilkada—termasuk Pilkada DKI Jakarta—yang akan dihadapi pada 15 Februari 2017 ini masyarakat dipengaruhi secara negatif oleh tim sukses para kandidat melalui survei yang misleading demi mengharapkan bandwagon effect. Masyarakat harus secara kritis dalam memandang survei yang dihadirkan ke hadapannya.
Sekalipun survei adalah satu-satunya alat yang bisa digunakan untuk melihat kecenderungan pilihan politik masyarakat secara makro, bukan berarti survei tidak bisa salah. Pilkada DKI Jakarta 2012 merupakan salah satu pembuktian paling kentara bagaimana survei tidak melulu tepat prediksinya.
Hingga beberapa minggu sebelum pilkada, berbagai survei yang dikeluarkan lembaga-lembaga ternama mengunggulkan calon gubernur Fauzi Bowo. Namun, rupanya yang menangguk kemenangan sebagai gubernur adalah Joko Widodo.
Lembaga survei harus lebih fair dalam membuka metodologinya kepada publik. Framing dengan tujuan mengarahkan pandangan publik adalah hal biasa dalam politik. Namun, framing yang keterlaluan akan menimbulkan kebingungan dan merugikan demokrasi yang susah payah kita bangun ini.
(poe)