Wacana Presidential Threshold Bentuk Kekhawatiran Partai Lama
A
A
A
JAKARTA - Wacana penerapan ambang batas suara (presidential threshold) untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden yang saat ini sedang dibahas dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dinilai sebagai bentuk kekhawatiran partai lama terhadap partai baru.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 digelar secara serentak. Seluruh partai politik (parpol) berhak mengusung calon presiden dan wakilnya.
"Partai besar khawatir, tak mau hegemoni dan dominasinya selama ini terganggu karena adanya pendatang baru," kata pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago di Jakarta, Sabtu (21/1/2017).
Pangi menjelaskan, presidential threshold tidak perlu ada. Ia menilai, jika sejumlah pihak tetap mendorong adanya ambang batas suara itu maka melanggar konstitusi yang ada saat ini.
"Kalau kemudian presidential threshold angka 20% basis kursi parlemen atau 25% basis jumlah suara sah nasional apabila didasarkan pada pemilihan legislatif sebelumnya yaitu tahun 2014. Pasal RUU syarat parpol dalam mengajukan presiden jelas inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 28D," jelasnya.
Partai lama, lanjut Pangi, seharusnya tidak perlu memperlihatkan hegemoninya untuk menunjukkan kekuatan yang dominan dan menguasai sesuka hati.
Menurutnya, jika dikhawatirkan menjamurnya pengajuan calon presiden, hal yang harus diatur adalah persyaratan personalnya, bukan penerapan ambang batas suaranya.
"Kalau yang dikhawatirkan sebelumnya dengan 0% bakal menjamur calon presiden, semua orang bisa mencalonkan presiden, yang perlu diatur adalah syarat kualifikasi personal menjadi presiden yang berat," katanya.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2019 digelar secara serentak. Seluruh partai politik (parpol) berhak mengusung calon presiden dan wakilnya.
"Partai besar khawatir, tak mau hegemoni dan dominasinya selama ini terganggu karena adanya pendatang baru," kata pengamat politik dari Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago di Jakarta, Sabtu (21/1/2017).
Pangi menjelaskan, presidential threshold tidak perlu ada. Ia menilai, jika sejumlah pihak tetap mendorong adanya ambang batas suara itu maka melanggar konstitusi yang ada saat ini.
"Kalau kemudian presidential threshold angka 20% basis kursi parlemen atau 25% basis jumlah suara sah nasional apabila didasarkan pada pemilihan legislatif sebelumnya yaitu tahun 2014. Pasal RUU syarat parpol dalam mengajukan presiden jelas inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 28D," jelasnya.
Partai lama, lanjut Pangi, seharusnya tidak perlu memperlihatkan hegemoninya untuk menunjukkan kekuatan yang dominan dan menguasai sesuka hati.
Menurutnya, jika dikhawatirkan menjamurnya pengajuan calon presiden, hal yang harus diatur adalah persyaratan personalnya, bukan penerapan ambang batas suaranya.
"Kalau yang dikhawatirkan sebelumnya dengan 0% bakal menjamur calon presiden, semua orang bisa mencalonkan presiden, yang perlu diatur adalah syarat kualifikasi personal menjadi presiden yang berat," katanya.
(maf)