Pakar Hukum Tata Negara: Presidential Threshold Sudah Tidak Relevan
A
A
A
JAKARTA - Pemberlakuan ambang batas pengajuan calon presiden atau presidential threshold dalam draf Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) mendapat banyak kritik.
Penghapusan presidential threshold ini juga dilontarkan oleh banyak pakar hukum tata negara, di antaranya Yusril Ihza Mahendra, dan Margarito Kamis.
Yusril mengatakan, aturan presidential threshold sudah tidak relevan lagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2019 digelar secara serentak. Dia menilai, aturan tersebut terkesan hanya akal-akalan untuk membatasi partisipasi masyarakat untuk maju sebagai calon presiden.
“Dengan putusan MK bahwa pemilu serentak, setiap peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden tanpa ada pembatasan bahwa parpol harus ada di parlemen,” ujar Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini kepada SINDO, Senin 9 Januari 2017.
Yusril juga mempertanyakan alasan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memasukkan pasal presidential threshold tersebut di RUU Pemilu. Putusan MK terkait syarat pencapresan, menurut Yusril intinya kembali ke pasal di dalam UUD 1945 bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol peserta pemilu sebelum pemilu dilaksanakan.
“Jadi, intinya hanya ada satu syarat saja, yakni capres-cawapres diajukan parpol. Apa yang diinginkan Kemendagri itu tidak ada dasar logika hukumnya. Kalau nanti diajukan uji materi ke MK pasti akan rontok juga. MK pasti akan konsisten dengan putusannya,” kata Yusril.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, RUU Pemilu harus memperlakukan semua parpol dengan sama dan setara. Jika ada aturan yang membatasi parpol yang baru lolos Pemilu 2019 untuk mengajukan capres, itu disebutnya diskriminasi. Semangat putusan MK, kata dia, jelas bahwa pileg dan pilpres serentak sehingga tidak alasan lagi untuk membuat pembatasan-pembatasan.
Dia menegaskan, jika nanti jumlah parpol yang dinyatakan sah sebagai peserta pemilu sebanyak 10, maka sebanyak itu pula parpol yang berhak mengajukan capresnya. Tidak perlu lagi ada pengaturan bahwa hanya parpol di DPR yang bisa mengajukan capres.
“Kalau dipaksakan dibuat aturan pembatasan itu, maka RUU Pemilu cacat secara konstitusional,” kata Margarito.
Penghapusan presidential threshold ini juga dilontarkan oleh banyak pakar hukum tata negara, di antaranya Yusril Ihza Mahendra, dan Margarito Kamis.
Yusril mengatakan, aturan presidential threshold sudah tidak relevan lagi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemilu 2019 digelar secara serentak. Dia menilai, aturan tersebut terkesan hanya akal-akalan untuk membatasi partisipasi masyarakat untuk maju sebagai calon presiden.
“Dengan putusan MK bahwa pemilu serentak, setiap peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden tanpa ada pembatasan bahwa parpol harus ada di parlemen,” ujar Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini kepada SINDO, Senin 9 Januari 2017.
Yusril juga mempertanyakan alasan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang memasukkan pasal presidential threshold tersebut di RUU Pemilu. Putusan MK terkait syarat pencapresan, menurut Yusril intinya kembali ke pasal di dalam UUD 1945 bahwa pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol peserta pemilu sebelum pemilu dilaksanakan.
“Jadi, intinya hanya ada satu syarat saja, yakni capres-cawapres diajukan parpol. Apa yang diinginkan Kemendagri itu tidak ada dasar logika hukumnya. Kalau nanti diajukan uji materi ke MK pasti akan rontok juga. MK pasti akan konsisten dengan putusannya,” kata Yusril.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, RUU Pemilu harus memperlakukan semua parpol dengan sama dan setara. Jika ada aturan yang membatasi parpol yang baru lolos Pemilu 2019 untuk mengajukan capres, itu disebutnya diskriminasi. Semangat putusan MK, kata dia, jelas bahwa pileg dan pilpres serentak sehingga tidak alasan lagi untuk membuat pembatasan-pembatasan.
Dia menegaskan, jika nanti jumlah parpol yang dinyatakan sah sebagai peserta pemilu sebanyak 10, maka sebanyak itu pula parpol yang berhak mengajukan capresnya. Tidak perlu lagi ada pengaturan bahwa hanya parpol di DPR yang bisa mengajukan capres.
“Kalau dipaksakan dibuat aturan pembatasan itu, maka RUU Pemilu cacat secara konstitusional,” kata Margarito.
(kri)