Televisi Media Pendidikan Publik
A
A
A
Yuliandre Darwis PhD
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Unand
PEMAHAMAN akan fungsi media massa, khususnya televisi sebagai sarana pendidikan publik masih membutuhkan pengawalan berbagai pihak agar implementatif secara optimal melalui program siaran televisi di Indonesia. Tanggung jawab pendidikan kepada peserta didik tidak saja dilakukan melalui pendidikan formal mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Konsepsi pendidikan sebagai hal yang fundamental bagi bangsa ini sudah sangat jelas dalam regulasi Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pada konteks itu, keberadaan televisi yang memiliki pengaruh besar di masyarakat harusnya dapat maksimal memainkan peran strategis sebagai media pendidikan publik melalui jalur pendidikan informal.
Peran pendidikan televisi sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran Pasal 4 ayat 1 penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Dalam ayat 2 juga disebutkan bahwa penyiaran mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. UU Penyiaran menegaskan fungsi penyiaran sangat luas.
Penyiaran bukan sekadar memberi informasi atau menyampaikan hiburan belaka yang kadang kala tidak jelas maksud ataupun nilai-nilai yang ingin disampaikan. Tayangan joget-jogetan maupun hiburan yang tidak mendidik kerap ditampilkan televisi pada jam-jam prime time pukul 18.00–21.00 WIB.
Padahal jika saat-saat penting itu siaran televisi diisi hiburan sehat dan cerdas yang memiliki value keindonesiaan, kebinekaan, penanaman nilai-nilai Pancasila tentu akan jauh lebih baik. Selain itu, penyiaran memiliki fungsi kontrol, perekat sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Membatasi ruang gerak penyiaran televisi sebatas media informasi atau hiburan bukankah hal ini merupakan wujud ketidakkonsistenan pada perintah konstitusi? Apalagi jika tidak mengutamakan fungsi televisi sebagai media pendidikan merupakan konstruksi berpikir yang tidak tepat.
Penulis dan publik memahami stasiun televisi swasta mengemas informasi atau siaran hiburan untuk mengejar rating dan share dengan tujuan ekonomi. Realitas ini merupakan fenomena televisi yang menjadi industri sehingga konten diproduksi memiliki motif-motif ekonomi.
Theodor Adorno dan Marx Horkheimer (2012) dalam buku Dialectic of Enlightenment menggambarkan industri budaya seperti sebuah pabrik dengan ideologi bisnis. Tapi apakah elok bila fungsi pendidikan, ataukah fungsi kontrol, perekat sosial, kebudayaan--hanya diposisikan sebagai pelengkap?
Media dan Pendidikan
Penulis sekadar mengingatkan kembali tentang jalur pendidikan seperti disebutkan di atas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. UU ini ditafsirkan sederhana bahwa jalur pendidikan formal, nonformal, dan informasi harus saling melengkapi satu dengan yang lain.
Proses pendidikan tidak saja bertumpu pada pendidikan formal di sekolah atau di rumah. Proses pendidikan tanpa dikuatkan melalui pendidikan informal seperti diperankan media massa televisi, jalur pendidikan formal berjalan terseok-seok bahkan dapat terjadi paradoks.
Guru di sekolah atau orang tua di rumah mengajarkan tentang pengetahuan, nilai-nilai, etika, adat istiadat, aturan, norma-norma masyarakat yang harus inheren dalam diri peserta didik baik dalam pemahaman maupun perilaku. Dengan penanaman nilai-nilai tersebut, harapannya anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi unggul, memiliki kemampuan yang kuat sehingga dapat menjadi kebanggaan orang tua dan sekolah.
Bersyukur jika generasi itu menjadi generasi penerus yang mengharumkan nama negeri di pentas internasional dengan prestasi dan karya gemilang dimiliki anak didik.
Proses pendidikan formal seolah kurang memiliki arti ketika anak didik menonton televisi yang isinya hiburan tidak jelas dan asal joget. Yang penting bisa ketawa-ketawa.
Belum lagi bila mereka menonton tayangan menggambarkan realitas sekolah di televisi dipenuhi kisah-kisah ironis; dominasi percintaan remaja, kisah cinta guru dengan murid, guru kurang dihormati muridnya, perkelahian, malas belajar, gaya hidup hedon, budaya instan, perempuan menggunakan rok mini di atas lutut, berpakaian ketat, budaya alay di-booming-kan, dan lain-lain.
Realitas paradoks itu sering kali ditemukan dalam siaran televisi. Bukankah fenomena ini terjadi karena media yang mempunyai fungsi pendidikan dianggap pelengkap dari fungsi media informasi maupun hiburan.
Aspek-aspek fundamental dari proses pendidikan yang menggairahkan pengetahuan (kognitif), menguatkan jiwa, mental, perasaan (afektif), memunculkan perilaku yang baik (psikomotorik)—kurang tumbuh dan berkembang akibat tidak saling melengkapi antara jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Televisi sebagai media pendidikan sejatinya tidak lagi sebatas wacana. Tidak saja melalui proses pendidikan formal seperti pernah digagas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan yang mencanangkan siaran Televisi Edukasi pada 2003.
Sinergi melalui jalur pendidikan informal termasuk dilakukan stasiun televisi merupakan langkah sangat baik yang didorong bersama dalam rangka mewujudkan generasi berkualitas. Jika ini terwujud, media massa telah memberi sumbangsih besar sebagai pilar demokrasi ke empat yang membentuk mental kuat pada peserta didik melalui kebijakan strategis Lembaga Penyiaran yang tidak melalaikan fungsi pendidikan televisi.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Unand
PEMAHAMAN akan fungsi media massa, khususnya televisi sebagai sarana pendidikan publik masih membutuhkan pengawalan berbagai pihak agar implementatif secara optimal melalui program siaran televisi di Indonesia. Tanggung jawab pendidikan kepada peserta didik tidak saja dilakukan melalui pendidikan formal mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Konsepsi pendidikan sebagai hal yang fundamental bagi bangsa ini sudah sangat jelas dalam regulasi Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 13 ayat 1 dinyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pada konteks itu, keberadaan televisi yang memiliki pengaruh besar di masyarakat harusnya dapat maksimal memainkan peran strategis sebagai media pendidikan publik melalui jalur pendidikan informal.
Peran pendidikan televisi sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran Pasal 4 ayat 1 penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Dalam ayat 2 juga disebutkan bahwa penyiaran mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan. UU Penyiaran menegaskan fungsi penyiaran sangat luas.
Penyiaran bukan sekadar memberi informasi atau menyampaikan hiburan belaka yang kadang kala tidak jelas maksud ataupun nilai-nilai yang ingin disampaikan. Tayangan joget-jogetan maupun hiburan yang tidak mendidik kerap ditampilkan televisi pada jam-jam prime time pukul 18.00–21.00 WIB.
Padahal jika saat-saat penting itu siaran televisi diisi hiburan sehat dan cerdas yang memiliki value keindonesiaan, kebinekaan, penanaman nilai-nilai Pancasila tentu akan jauh lebih baik. Selain itu, penyiaran memiliki fungsi kontrol, perekat sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Membatasi ruang gerak penyiaran televisi sebatas media informasi atau hiburan bukankah hal ini merupakan wujud ketidakkonsistenan pada perintah konstitusi? Apalagi jika tidak mengutamakan fungsi televisi sebagai media pendidikan merupakan konstruksi berpikir yang tidak tepat.
Penulis dan publik memahami stasiun televisi swasta mengemas informasi atau siaran hiburan untuk mengejar rating dan share dengan tujuan ekonomi. Realitas ini merupakan fenomena televisi yang menjadi industri sehingga konten diproduksi memiliki motif-motif ekonomi.
Theodor Adorno dan Marx Horkheimer (2012) dalam buku Dialectic of Enlightenment menggambarkan industri budaya seperti sebuah pabrik dengan ideologi bisnis. Tapi apakah elok bila fungsi pendidikan, ataukah fungsi kontrol, perekat sosial, kebudayaan--hanya diposisikan sebagai pelengkap?
Media dan Pendidikan
Penulis sekadar mengingatkan kembali tentang jalur pendidikan seperti disebutkan di atas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. UU ini ditafsirkan sederhana bahwa jalur pendidikan formal, nonformal, dan informasi harus saling melengkapi satu dengan yang lain.
Proses pendidikan tidak saja bertumpu pada pendidikan formal di sekolah atau di rumah. Proses pendidikan tanpa dikuatkan melalui pendidikan informal seperti diperankan media massa televisi, jalur pendidikan formal berjalan terseok-seok bahkan dapat terjadi paradoks.
Guru di sekolah atau orang tua di rumah mengajarkan tentang pengetahuan, nilai-nilai, etika, adat istiadat, aturan, norma-norma masyarakat yang harus inheren dalam diri peserta didik baik dalam pemahaman maupun perilaku. Dengan penanaman nilai-nilai tersebut, harapannya anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi unggul, memiliki kemampuan yang kuat sehingga dapat menjadi kebanggaan orang tua dan sekolah.
Bersyukur jika generasi itu menjadi generasi penerus yang mengharumkan nama negeri di pentas internasional dengan prestasi dan karya gemilang dimiliki anak didik.
Proses pendidikan formal seolah kurang memiliki arti ketika anak didik menonton televisi yang isinya hiburan tidak jelas dan asal joget. Yang penting bisa ketawa-ketawa.
Belum lagi bila mereka menonton tayangan menggambarkan realitas sekolah di televisi dipenuhi kisah-kisah ironis; dominasi percintaan remaja, kisah cinta guru dengan murid, guru kurang dihormati muridnya, perkelahian, malas belajar, gaya hidup hedon, budaya instan, perempuan menggunakan rok mini di atas lutut, berpakaian ketat, budaya alay di-booming-kan, dan lain-lain.
Realitas paradoks itu sering kali ditemukan dalam siaran televisi. Bukankah fenomena ini terjadi karena media yang mempunyai fungsi pendidikan dianggap pelengkap dari fungsi media informasi maupun hiburan.
Aspek-aspek fundamental dari proses pendidikan yang menggairahkan pengetahuan (kognitif), menguatkan jiwa, mental, perasaan (afektif), memunculkan perilaku yang baik (psikomotorik)—kurang tumbuh dan berkembang akibat tidak saling melengkapi antara jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Televisi sebagai media pendidikan sejatinya tidak lagi sebatas wacana. Tidak saja melalui proses pendidikan formal seperti pernah digagas Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan yang mencanangkan siaran Televisi Edukasi pada 2003.
Sinergi melalui jalur pendidikan informal termasuk dilakukan stasiun televisi merupakan langkah sangat baik yang didorong bersama dalam rangka mewujudkan generasi berkualitas. Jika ini terwujud, media massa telah memberi sumbangsih besar sebagai pilar demokrasi ke empat yang membentuk mental kuat pada peserta didik melalui kebijakan strategis Lembaga Penyiaran yang tidak melalaikan fungsi pendidikan televisi.
(poe)