Sekolah Tanpa Stres
A
A
A
Mohamad Sobary
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
PROBLEM pokok dunia pendidikan kita mungkin terletak pada bahasa. Mulai dari kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, kemudian sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, anak didik berbicara dalam bahasa orang tua.
Ungkapan sehari-hari anak-anak cerminan ungkapan orang tua. Anak-anak memandang dunia dengan kaca mata orang tua. Di sini orang tua itu guru. Mungkin kepala sekolah berpidato resmi setiap Senin dalam citarasa orang tua dan mengira anak-anak mendengarkannya.
Kelihatannya ada anggapan yang tak dinyatakan, tetapi dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari bahwa anak merupakan orang tua dalam bentuk kecil. Tak begitu mengherankan bila praktik pendidikan kita memaksa menjadikan anak sama dengan orang tua.
Padahal anak-anak adalah anak-anak. Mereka itu bocah-bocah yang memiliki dunianya sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri: khas bahasa anak-anak. Mereka juga memiliki cara pandang sendiri dan kegemaran sendiri.
Anak-anak bukan orang tua. Mereka ingin menikmati dunia dengan cara anak-anak. Cara berpikir mereka penuh warna, imajinatif, alamiah, dan murni. Begitulah dunia anak-anak. Dunia itu memiliki bahasanya sendiri.
Kegagalan orang tua memahami anak-anak dijadikan kegagalan anak untuk menyesuaikan diri dengan aturan sekolah. Problem guru dijadikan problem anak-anak. Mereka disebut anak-anak bermasalah. Padahal jelas itu problem guru yang tak memahami anak-anak.
Guru selalu lebih berkuasa menghadapi anak-anak. Dan guru yang lebih berkuasa itu pula yang memutuskan anak yang dianggap bermasalah harus dikeluarkan dari sekolah. Anak bermasalah dipindah ke sekolah lain. Berbahagialah anak-anak kalau sekolah lain tadi betul-betul lain.
Tapi sekolah kita, di mana pun, kurang lebih sama saja. Jika di sekolah yang baru itu anak-anak juga gagal, jelas bahwa mereka itu korban sistem dan orang tua yang tak paham dan tak pernah ingin paham akan dunia dan bahasa anak-anak.
Buktinya, tidak ada guru yang merasa prihatin atas nasib anak-anak yang dipindahkan. Guru tak pernah mencoba tahu bagaimana nasib anak-anak yang diusir dari sekolah tadi. Di sini guru kelihatan tidak bertanggung jawab atas keputusannya.
Di Jepang ada Sekolah Tomo, sekolah istimewa yang diceritakan di dalam buku klasik yang judulnya Toto Chan, gadis kecil di tepi jendela. Buku ini mengisahkan seorang gadis kecil yang selalu berisik, tidak rapi, tidak menurut tata tertib yang ditetapkan sekolah.
Sudah jelas, kalau sedang belajar di dalam kelas, anak-anak harus tenang, tertib, dan tak membuat suara-suara apa pun. Tapi gadis kecil ini lain. Sebentar-sebentar dia mengeluarkan buku-buku dan pensil di dalam lacinya. Kemudian memasukkannya kembali. Suaranya jelas berisik.
Pernah bahkan dia berdiri di tepi jendela dan bercakap-cakap dengan orang lain di luar sana. “Sedang apa kau ini?” tanya si gadis kecil.
Dan guru menanyakannya dengan siapa dia berbicara dan si gadis itu menjawab, dia bertanya kepada seekor burung yang hinggap di suatu dahan di luar gedung sekolah itu. Guru merasa kewalahan. Gadis kecil itu disuruh pindah ke sekolah lain.
Orang tuanya sedih. Dicobanya mencari sekolah yang mungkin bisa menerima kebiasaan anaknya dan ditemukan. Sebuah sekolah aneh yang ruang belajarnya gerbong kereta api.
Suasana itu menarik bagi anak-anak. Waktu belajar guru mengawasi mereka dengan penuh kesabaran. Guru memahami bahwa anak-anak ya anak-anak. Dunia mereka itu campur aduk antara yang nyata dan yang imajinatif. Aturan sekolah ada. Tapi tak dijejalkan begitu saja kepada mereka.
Sekolah Tomo dibuat untuk anak-anak dan bukan sebaliknya seperti di sini: anak-anak dibuat demi sekolah. Situasi sekolah serba-menyenangkan. Aturan makan sehat dan bergizi jelas ada. Waktu makan siang bersama guru berkata: “Mari kita buka yang dari laut dan dari gunung.”
Suasana meriah. Anak-anak menikmati strategi pendidikan seperti ini. Apa yang dari laut itu? Maksudnya ikan. Lauk sehat bagi manusia di mana pun. Yang dari gunung? Itu semua jenis sayuran.
Ikan dan sayuran makanan sehat bagi mereka dan bagi siapa pun. Diam-diam ini pendidikan mengenai kesehatan dan anak-anak bahkan tak begitu menyadarinya, tetapi mereka mempraktikkannya.
Pendidikan tak usah terlalu banyak kata. Pendidikan bukan khotbah. Lakukan, amalkan. Tradisikan semua yang baik. Ini yang paling mendasar.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
PROBLEM pokok dunia pendidikan kita mungkin terletak pada bahasa. Mulai dari kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, kemudian sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, anak didik berbicara dalam bahasa orang tua.
Ungkapan sehari-hari anak-anak cerminan ungkapan orang tua. Anak-anak memandang dunia dengan kaca mata orang tua. Di sini orang tua itu guru. Mungkin kepala sekolah berpidato resmi setiap Senin dalam citarasa orang tua dan mengira anak-anak mendengarkannya.
Kelihatannya ada anggapan yang tak dinyatakan, tetapi dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari bahwa anak merupakan orang tua dalam bentuk kecil. Tak begitu mengherankan bila praktik pendidikan kita memaksa menjadikan anak sama dengan orang tua.
Padahal anak-anak adalah anak-anak. Mereka itu bocah-bocah yang memiliki dunianya sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri: khas bahasa anak-anak. Mereka juga memiliki cara pandang sendiri dan kegemaran sendiri.
Anak-anak bukan orang tua. Mereka ingin menikmati dunia dengan cara anak-anak. Cara berpikir mereka penuh warna, imajinatif, alamiah, dan murni. Begitulah dunia anak-anak. Dunia itu memiliki bahasanya sendiri.
Kegagalan orang tua memahami anak-anak dijadikan kegagalan anak untuk menyesuaikan diri dengan aturan sekolah. Problem guru dijadikan problem anak-anak. Mereka disebut anak-anak bermasalah. Padahal jelas itu problem guru yang tak memahami anak-anak.
Guru selalu lebih berkuasa menghadapi anak-anak. Dan guru yang lebih berkuasa itu pula yang memutuskan anak yang dianggap bermasalah harus dikeluarkan dari sekolah. Anak bermasalah dipindah ke sekolah lain. Berbahagialah anak-anak kalau sekolah lain tadi betul-betul lain.
Tapi sekolah kita, di mana pun, kurang lebih sama saja. Jika di sekolah yang baru itu anak-anak juga gagal, jelas bahwa mereka itu korban sistem dan orang tua yang tak paham dan tak pernah ingin paham akan dunia dan bahasa anak-anak.
Buktinya, tidak ada guru yang merasa prihatin atas nasib anak-anak yang dipindahkan. Guru tak pernah mencoba tahu bagaimana nasib anak-anak yang diusir dari sekolah tadi. Di sini guru kelihatan tidak bertanggung jawab atas keputusannya.
Di Jepang ada Sekolah Tomo, sekolah istimewa yang diceritakan di dalam buku klasik yang judulnya Toto Chan, gadis kecil di tepi jendela. Buku ini mengisahkan seorang gadis kecil yang selalu berisik, tidak rapi, tidak menurut tata tertib yang ditetapkan sekolah.
Sudah jelas, kalau sedang belajar di dalam kelas, anak-anak harus tenang, tertib, dan tak membuat suara-suara apa pun. Tapi gadis kecil ini lain. Sebentar-sebentar dia mengeluarkan buku-buku dan pensil di dalam lacinya. Kemudian memasukkannya kembali. Suaranya jelas berisik.
Pernah bahkan dia berdiri di tepi jendela dan bercakap-cakap dengan orang lain di luar sana. “Sedang apa kau ini?” tanya si gadis kecil.
Dan guru menanyakannya dengan siapa dia berbicara dan si gadis itu menjawab, dia bertanya kepada seekor burung yang hinggap di suatu dahan di luar gedung sekolah itu. Guru merasa kewalahan. Gadis kecil itu disuruh pindah ke sekolah lain.
Orang tuanya sedih. Dicobanya mencari sekolah yang mungkin bisa menerima kebiasaan anaknya dan ditemukan. Sebuah sekolah aneh yang ruang belajarnya gerbong kereta api.
Suasana itu menarik bagi anak-anak. Waktu belajar guru mengawasi mereka dengan penuh kesabaran. Guru memahami bahwa anak-anak ya anak-anak. Dunia mereka itu campur aduk antara yang nyata dan yang imajinatif. Aturan sekolah ada. Tapi tak dijejalkan begitu saja kepada mereka.
Sekolah Tomo dibuat untuk anak-anak dan bukan sebaliknya seperti di sini: anak-anak dibuat demi sekolah. Situasi sekolah serba-menyenangkan. Aturan makan sehat dan bergizi jelas ada. Waktu makan siang bersama guru berkata: “Mari kita buka yang dari laut dan dari gunung.”
Suasana meriah. Anak-anak menikmati strategi pendidikan seperti ini. Apa yang dari laut itu? Maksudnya ikan. Lauk sehat bagi manusia di mana pun. Yang dari gunung? Itu semua jenis sayuran.
Ikan dan sayuran makanan sehat bagi mereka dan bagi siapa pun. Diam-diam ini pendidikan mengenai kesehatan dan anak-anak bahkan tak begitu menyadarinya, tetapi mereka mempraktikkannya.
Pendidikan tak usah terlalu banyak kata. Pendidikan bukan khotbah. Lakukan, amalkan. Tradisikan semua yang baik. Ini yang paling mendasar.
(poe)