Peran Publik dalam Hukum
A
A
A
Prof Dr Sudjito SH MSi
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
DEMI kecintaan kepada Indonesia, dalam pergantian tahun dari 2016 ke 2017 perlu dilakukan analisis yuridis atas realitas kehidupan masa lalu agar masa depan dapat diprediksi situasi yang mungkin terjadi dan sekaligus dipikirkan tentang respons yang tepat.
Analisis diawali dengan pertanyaan, ikon apa yang khas, terkait dengan ideologi hukum pada 2017? Dalam hukum, ikon ”peran publik” diprediksi masih aktual tanpa menggeser ikon ”peran aparatur negara”.
Kasus penistaan agama oleh Ahok diprediksi masih menyita perhatian aparatur penegak hukum maupun publik. Apa pun vonis hakim, diprediksi akan menuai pro dan kontra. Imbasnya, keterbelahan bangsa menjadi ancaman serius.
Ketika realitas empiris (das sein) sulit diubah menjadi realitas ideal (das sollen) dan kehidupan bernegara hukum tidak lebih baik daripada sebelumnya, kepercayaan (trust) publik kepada aparatur penegak hukum menjadi lemah dan ideologi hukum menjadi tak bertepi, jauh ”di ufuk barat”.
Dalam catatan Satjipto Rahardjo (2000) sejak 200 tahun lalu, sudah ada kecenderungan global (termasuk Indonesia) bahwa negara ingin memonopoli kekuasaan, termasuk membuat hukum, membuat struktur hukum, dan mengatur proses hukum. Kekuatan dan kekuasaan publik cenderung dipinggirkan. Publik dipahamkan seolah-olah ketertiban sudah muncul bila hukum negara dijalankan secara absolut oleh aparatur negara saja dan sama sekali tidak perlu ada campur tangan publik.
Hukum negara dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat menuntaskan segala urusan. Inilah pola pikir dan perilaku Hobbesian, yakni paham yang diajarkan Thomas Hobbes, dalam rangka mengatasi homo homini lupus.
Dalam perspektif sosiologi hukum, pola pikir dan perilaku Hobbesian itu tidak pernah terbukti, ”jauh panggang dari api” . Setiap kali pretensi itu diuji, setiap kali pula gagal. Adagium ”serahkan kepada aparatur negara, segalanya beres”, ternyata hanya ”angan-angan” alias mitos belaka, tidak pernah ada buktinya.
Beberapa contoh kasus berikut layak disimak baik-baik. Pertama, Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga di Norwegia (1948), meski telah memberikan perlindungan hukum kepada para pembantu, pada dua tahun berlakunya ternyata banyak pelanggaran dilakukan oleh para majikan, tanpa ada yang dibawa ke pengadilan. Tanpa peran publik, sungguh sulit polisi dan pengadilan negara memberikan perlindungan kepada pembantu.
Kedua, di Amerika pada 1960 ada kasus Kitty Genovese. Dalam perjalanan pulang, perempuan itu dicegat, diperkosa, dan dibunuh seorang laki-laki. Betapapun Kitty berteriak-teriak, tidak seorang pun menolongnya. Publik hanya melongok dari jendela apartemen, tanpa berbuat lain.
Sindrom Kitty Genovese telah memberi stempel kepada publik Amerika yang mengunggulkan aparatur negara secara absolut. Tak perlu publik bersusah-susah melibatkan diri dalam kasus Kitty, biarkan polisi menyelesaikan semua urusan, toh publik sudah bayar pajak kepada negara, dan polisi sudah dibayar oleh negara! Amerika sebagai negara modern telah berusaha menjalankan rule of law secara konsisten, tetapi nyatanya justru hukum dan publik kehilangan sifat kemanusiaannya.
Ketiga, di Indonesia pernah ada kasus arak bungil. Publik ramai-ramai mengarak pelaku perselingkuhan sepanjang jalan kampung sebagai sanksi sosial agar jera. Usai arak-arakan, kepala kampung melaporkan kejadian dan menyerahkan kasus kepada kepolisian agar diproses sesuai hukum negara.
Apakah ini tergolong ”main hakim sendiri”? Atas perilaku publik tersebut, kepolisian menindaklanjuti dan para sosiolog hukum mengapresiasinya sebagai bentuk self-help komunitas yang terbukti efisien dan efektif. Tak ada sanksi hukum bagi masyarakat dan ketertiban sosial kembali terjaga.
Keempat, kasus klithih di DIY pada akhir 2016. Pada malam hari, di tempat sepi, melalui perencanaan matang segerombolan pelajar SMA ”dihabisi” gerombolan lain sehingga ada yang meninggal dunia. Publik tak berani mencegahnya sehingga kasus klithih terulang di tempat-tempat lain.
Klithih kini menjadi kejahatan sosial-remaja yang mencemaskan. Haruskah klithih dibiarkan atau diserahkan segala urusannya kepada aparatur negara saja?
Kelima, pada ranah adat di Bali ada ”polisi adat”, namanya pecalang. Di tempat lain, ada pula serupa pecalang walau dengan nama berbeda. ”Polisi adat” amat disegani.
Tercatat, pecalang pernah berjasa membantu suksesnya penyelenggaraan kongres salah satu partai politik besar di negeri ini. Di tempat-tempat lain di Yogyakarta, keamanan dan kenyamanan pariwisata diserahkan kepada ”polisi adat”. Ternyata, segalanya beres, tertib, dan wisatawan senang.
Berbagai kasus di atas sekadar contoh bahwa aparatur negara tidak memegang monopoli dalam penyelenggaraan negara hukum. Publik atau komunitas tertentu mampu berkontribusi kepada negara, baik dalam bentuk membuat norma-norma sosial, norma kesusilaan, atau norma lain untuk mengisi kekosongan hukum negara.
Beragam bentuk dan perilaku yang sepintas terkesan ”main hakim sendiri” sering ditemukan di masyarakat, dan hal demikian menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki kepedulian, potensi, dan kekuatan untuk mewujudkan ketertiban secara otonom. Kontribusi sosial seperti itu, bukankah positif, meringankan beban negara, dan sekaligus mengakomodasi peran publik dalam hukum?
Ideologi hukum Indonesia ke depan mestinya terwujud melalui ”jabat tangan”, antara aparatur negara dan publik. Keduanya berperan bersama, seiring-sejalan, dalam jalinan pansubjektivitas. Keduanya saling melengkapi atas dasar penghormatan sebagai sesama subjek. Kapan pun, di mana pun, peran publik dalam hukum menjadi keniscayaan. Wallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM
DEMI kecintaan kepada Indonesia, dalam pergantian tahun dari 2016 ke 2017 perlu dilakukan analisis yuridis atas realitas kehidupan masa lalu agar masa depan dapat diprediksi situasi yang mungkin terjadi dan sekaligus dipikirkan tentang respons yang tepat.
Analisis diawali dengan pertanyaan, ikon apa yang khas, terkait dengan ideologi hukum pada 2017? Dalam hukum, ikon ”peran publik” diprediksi masih aktual tanpa menggeser ikon ”peran aparatur negara”.
Kasus penistaan agama oleh Ahok diprediksi masih menyita perhatian aparatur penegak hukum maupun publik. Apa pun vonis hakim, diprediksi akan menuai pro dan kontra. Imbasnya, keterbelahan bangsa menjadi ancaman serius.
Ketika realitas empiris (das sein) sulit diubah menjadi realitas ideal (das sollen) dan kehidupan bernegara hukum tidak lebih baik daripada sebelumnya, kepercayaan (trust) publik kepada aparatur penegak hukum menjadi lemah dan ideologi hukum menjadi tak bertepi, jauh ”di ufuk barat”.
Dalam catatan Satjipto Rahardjo (2000) sejak 200 tahun lalu, sudah ada kecenderungan global (termasuk Indonesia) bahwa negara ingin memonopoli kekuasaan, termasuk membuat hukum, membuat struktur hukum, dan mengatur proses hukum. Kekuatan dan kekuasaan publik cenderung dipinggirkan. Publik dipahamkan seolah-olah ketertiban sudah muncul bila hukum negara dijalankan secara absolut oleh aparatur negara saja dan sama sekali tidak perlu ada campur tangan publik.
Hukum negara dipandang sebagai satu-satunya institusi yang dapat menuntaskan segala urusan. Inilah pola pikir dan perilaku Hobbesian, yakni paham yang diajarkan Thomas Hobbes, dalam rangka mengatasi homo homini lupus.
Dalam perspektif sosiologi hukum, pola pikir dan perilaku Hobbesian itu tidak pernah terbukti, ”jauh panggang dari api” . Setiap kali pretensi itu diuji, setiap kali pula gagal. Adagium ”serahkan kepada aparatur negara, segalanya beres”, ternyata hanya ”angan-angan” alias mitos belaka, tidak pernah ada buktinya.
Beberapa contoh kasus berikut layak disimak baik-baik. Pertama, Undang-Undang Pembantu Rumah Tangga di Norwegia (1948), meski telah memberikan perlindungan hukum kepada para pembantu, pada dua tahun berlakunya ternyata banyak pelanggaran dilakukan oleh para majikan, tanpa ada yang dibawa ke pengadilan. Tanpa peran publik, sungguh sulit polisi dan pengadilan negara memberikan perlindungan kepada pembantu.
Kedua, di Amerika pada 1960 ada kasus Kitty Genovese. Dalam perjalanan pulang, perempuan itu dicegat, diperkosa, dan dibunuh seorang laki-laki. Betapapun Kitty berteriak-teriak, tidak seorang pun menolongnya. Publik hanya melongok dari jendela apartemen, tanpa berbuat lain.
Sindrom Kitty Genovese telah memberi stempel kepada publik Amerika yang mengunggulkan aparatur negara secara absolut. Tak perlu publik bersusah-susah melibatkan diri dalam kasus Kitty, biarkan polisi menyelesaikan semua urusan, toh publik sudah bayar pajak kepada negara, dan polisi sudah dibayar oleh negara! Amerika sebagai negara modern telah berusaha menjalankan rule of law secara konsisten, tetapi nyatanya justru hukum dan publik kehilangan sifat kemanusiaannya.
Ketiga, di Indonesia pernah ada kasus arak bungil. Publik ramai-ramai mengarak pelaku perselingkuhan sepanjang jalan kampung sebagai sanksi sosial agar jera. Usai arak-arakan, kepala kampung melaporkan kejadian dan menyerahkan kasus kepada kepolisian agar diproses sesuai hukum negara.
Apakah ini tergolong ”main hakim sendiri”? Atas perilaku publik tersebut, kepolisian menindaklanjuti dan para sosiolog hukum mengapresiasinya sebagai bentuk self-help komunitas yang terbukti efisien dan efektif. Tak ada sanksi hukum bagi masyarakat dan ketertiban sosial kembali terjaga.
Keempat, kasus klithih di DIY pada akhir 2016. Pada malam hari, di tempat sepi, melalui perencanaan matang segerombolan pelajar SMA ”dihabisi” gerombolan lain sehingga ada yang meninggal dunia. Publik tak berani mencegahnya sehingga kasus klithih terulang di tempat-tempat lain.
Klithih kini menjadi kejahatan sosial-remaja yang mencemaskan. Haruskah klithih dibiarkan atau diserahkan segala urusannya kepada aparatur negara saja?
Kelima, pada ranah adat di Bali ada ”polisi adat”, namanya pecalang. Di tempat lain, ada pula serupa pecalang walau dengan nama berbeda. ”Polisi adat” amat disegani.
Tercatat, pecalang pernah berjasa membantu suksesnya penyelenggaraan kongres salah satu partai politik besar di negeri ini. Di tempat-tempat lain di Yogyakarta, keamanan dan kenyamanan pariwisata diserahkan kepada ”polisi adat”. Ternyata, segalanya beres, tertib, dan wisatawan senang.
Berbagai kasus di atas sekadar contoh bahwa aparatur negara tidak memegang monopoli dalam penyelenggaraan negara hukum. Publik atau komunitas tertentu mampu berkontribusi kepada negara, baik dalam bentuk membuat norma-norma sosial, norma kesusilaan, atau norma lain untuk mengisi kekosongan hukum negara.
Beragam bentuk dan perilaku yang sepintas terkesan ”main hakim sendiri” sering ditemukan di masyarakat, dan hal demikian menjadi bukti bahwa masyarakat memiliki kepedulian, potensi, dan kekuatan untuk mewujudkan ketertiban secara otonom. Kontribusi sosial seperti itu, bukankah positif, meringankan beban negara, dan sekaligus mengakomodasi peran publik dalam hukum?
Ideologi hukum Indonesia ke depan mestinya terwujud melalui ”jabat tangan”, antara aparatur negara dan publik. Keduanya berperan bersama, seiring-sejalan, dalam jalinan pansubjektivitas. Keduanya saling melengkapi atas dasar penghormatan sebagai sesama subjek. Kapan pun, di mana pun, peran publik dalam hukum menjadi keniscayaan. Wallahualam.
(poe)