Langkah Mundur Demokrasi

Senin, 02 Januari 2017 - 11:26 WIB
Langkah Mundur Demokrasi
Langkah Mundur Demokrasi
A A A
Adi Prayitno
Dosen Politik Fisip UIN Jakarta dan Peneliti The Political Literacy Institute

BELAKANGAN ini kita dihadapkan pada situasi yang hampir serupa dengan zaman Orde Baru. Kebebasan berpendapat di muka umum dihalangi, sikap kritis dituding makar, serta menangkap sejumlah aktivis karena diduga melakukan pemufakatan jahat untuk memakzulkan pemerintahan yang sah.

Fenomena politik semacam ini menandai babak baru bagi kemunduran demokrasi kita. Meski usia reformasi sudah mencapai delapan belas tahun, kebebasan sipil (civil liberty) seperti melakukan aksi demonstrasi seakan menjadi barang mewah. Ada tiga indikator yang bisa diringkas untuk melihat gejala kemunduran demokrasi saat ini.

Pertama, melarang umat Islam di berbagai daerah untuk ikut aksi “Bela Islam” ke Jakarta soal penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias (Ahok).

Ironis, di tengah demokrasi kita yang kian tumbuh mekar, masih saja ada upaya menghalangi kebebasan berekspresi. Apa pun alasannya, melarang warga negara (citizen) melakukan aksi jelas melanggar konstitusi.

Apalagi, larangan itu didasarkan pada kecurigaan sepihak bahwa aksi mereka berpotensi makar. Argumen yang sungguh melukai perasaan umat serta mendiskreditkan reputasi Islam di Indonesia. Nyatanya, tiga kali aksi “Bela Islam” berlangsung damai.

Kedua, pemberlakuan revisi Undang-Undang Nomor 11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Publik tersentak dengan diundangkannya UU ITE baru ini karena dikhawatirkan hanya akan menjadi alat membungkam suara-suara kritis. Wajar jika publik tersentak sebab masih ada sejumlah poin krusial yang menjadi sorotan.

Salah satunya soal ada pasal karet yang tidak jelas tolok ukurnya untuk menjerat seseorang yang divonis bersalah. Misalnya, Pasal 27 ayat 3 yang mengatur tentang penghinaan dan atau pencemaran nama baik.

Pada zaman Orde Baru, pasal karet kerap digunakan untuk menjinakkan kelompok aktivis kritis dan gerakan civil society lain. Pasal yang digunakan cukup fleksibel. Hanya penguasa yang paling otoritatif menafsirkannya.

Ketiga, penangkapan sejumlah aktivis yang diduga makar serta melakukan pemufakatan jahat untuk menggulingkan pemerintahan sah.

Meski tak ada bukti akurat, para aktivis ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Penangkapan aktivis tersebut ditentang publik karena dasar hukumnya lemah. Tak masuk akal menuding makar kepada aktivis yang aktivitasnya mudah dipantau publik.

Publik kini bertanya, apakah rencana yang disampaikan secara terbuka bisa disebut makar? Apakah aktivitas makan sambil diskusi tentang pentingnya kembali ke UUD 1945, cabut mandat, dan isu politik lain bisa dituding makar? Tentu saja tidak.

Itu hanya diskusi politik biasa. Tak perlu disikapi berlebihan. Bukan kali pertama para aktivis itu melakukan propaganda cabut mandat terhadap pemerintahan sah. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gerakan cabut mandat sering mereka lakukan. Namun, SBY memaknai gerakan semacam itu sebagai bahan berbenah. Bukan malah sebaliknya, dihadapi dengan represif.

Politik “Meja Makan”
Di negara yang demokrasinya terkonsolidasi, politik tak hanya dibicarakan dalam forum-forum besar strategis, namun juga bisa lahir dari ruang sempit dalam keseharian hidup kita. Perbincangan politik bisa tersaji di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.

Mengutip frasa Jeffrey C Goldfarb dalam The Politics of Small Things (2006), perbincangan soal politik tak melulu muncul dari sebuah gerakan besar. Ia kerap muncul diawali dari suatu hal yang kecil dan sederhana seperti obrolan di meja makan.

Di tempat makan, seseorang cenderung bicara bebas secara terbuka tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik mutakhir. Ia melampaui kejumudan aktivitas keseharian di kantor, rutinitas, dan sebagainya.

Diawali dari interaksi sosial yang berskala kecil itulah gerakan politik kerap tercipta. Sebab itu, embusan wacana cabut mandat harus dimaknai sebagai bentuk manifestasi kegelisahan politik.

Apalagi, diskusi dilakukan di tempat makan yang cukup terbuka, bukan bawah tanah. Pun, tak ada mobilisasi massa yang berujung makar dan anarkistis. Suatu hal yang wajar dalam demokrasi.

Begitu juga gerakan aksi “Bela Islam” lahir dalam interaksi keseharian para aktivis Islam di musala, masjid, tongkrongan warung kopi, maupun lewat media sosial. Mereka menjadikan ruang publik terbuka (free public sphere) sebagai ajang konsolidasi memperjuangkan keadilan lantaran agama mereka dinistakan.

Lantas, apa kesalahan kelompok kritis yang menuntut keadilan itu? Polisi tak perlu berlebihan menghadapi mereka. Tak perlu pula menghambat dengan regulasi yang berpotensi membelenggu kebebasan. Tapi, jika terbukti makar, polisi sepantasnya bertindak tegas. Rakyat pasti mendukung di belakang.

Personalisasi Kekuasaan
Secara teoritis salah satu kelemahan sistem presidensial ialah munculnya personalisasi kekuasaan eksekutif, yaitu praktik politik di mana seorang penguasa menjelmakan dirinya sebagai kekuasaan itu sendiri. Akibat itu, ia antikritik karena menganggap dirinya mewakili keseluruhan kehendak rakyat.

Profesor Juan Linz menulis The Perils of Presidentialism dalam Journal of Democracy (1990) tentang kabar buruk sistem presidensial bagi demokrasi. Menurutnya, personalisasi kekuasaan politik disebabkan terlalu luasnya kekuasaan presiden serta lemahnya kontrol publik.

Implikasinya adalah lahirnya rezim yang tak demokratis, bahkan cenderung otoriter. Karena itu, reformasi 1998 membawa spirit menghancurkan praktik personalisasi kekuasaan yang terpusat di tangan Soeharto.

Setelah itu, kita berharap kebebasan berekspresi, hak ekonomi dan politik dilindungi dengan baik. Eksperimen membangun demokrasi sehat silih berganti telah dilakukan sejak zaman Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hingga SBY.

Pascareformasi, baru kali ini protes yang disampaikan secara prosedural dituding makar. Baru kali pertama, aksi “Bela Islam” dilarang dan ditengarai ditunggangi kepentingan elite tertentu. Baru kali ini, kebebasan di dunia maya “diamputasi” dengan UU ITE yang terbaru.

Pemerintah tak perlu paranoid dengan aksi maupun protes kritis citizen. Kita berharap sikap kritis dimaknai sebagai upaya membangun bangsa. Bukan dihadapi dengan cara jahiliyah yang menjadikan arogansi kekuasaan sebagai panglima. Cukup sudah kita hidup getir pada zaman Orde Baru. Tak perlu diulangi lagi.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7300 seconds (0.1#10.140)