Kekuasaan yang Korup dan Disalahgunakan

Senin, 26 Desember 2016 - 09:55 WIB
Kekuasaan yang Korup...
Kekuasaan yang Korup dan Disalahgunakan
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Universitas Pasundan

KEKUASAAN bukan benda berwujud melainkan benda tidak berwujud. Bahkan sesuatu yang tidak tampak nyata melainkan tampak dari perilaku ”pemiliknya”.

Kepemilikan itu pun hanya dilekatkan oleh undang-undang kepadanya, akan tetapi jelas bagi umat beragama, kekuasaan itu amanah yang telah diberikan kepada pemiliknya atas kuasa Tuhan YME, bukan pewarisan dari generasi ke generasi. Karena itulah, secara alamiah kekuasaan hanya ada pada segelintir orang di antara 250 juta penduduk.

Oleh karena itu, sesungguhnya kekuasaan, baik yang ada di eksekutif, legislatif maupun eksekutif, seharusnya disadari betul bahwa mereka adalah orang yang beruntung lagi memperoleh hidayah dari Tuhan YME, selain karena latar belakang keilmuan dan kompetensi dan suksesnya dalam bidang ilmu.

Kekuasaan dalam makna yang paling netral dan jujur adalah tidak dihasilkan dari kolusi dan nepotisme, apalagi karena gratifikasi atau suap. Kekuasaan yang diraih dengan cara terakhir ini, dipastikan tidak berlangsung lama.

Bahkan akan mengalami kegalauan dan ambiguitas, serta akan selalu mencari celah hukum untuk mengembalikan harta kekayaan yang telah ”ditukar” dengan kekuasaan yang kini dimilikinya. Kekuasaan dengan cara tercela ini akan selalu berakhir dengan kegagalan.

Kekuasaan yang diperoleh bukan karena keilmuan, kompetensi dan rida Allah SWT pasti hancur di tengah jalan. Namun jangan selalu digeneralisasi, karena khususnya di Indonesia justru kekuasaan penuh kontroversi.

Pemilik kekuasaan yang amanah, jujur dan memiliki integritas, dan sudah banyak yang terperosok ke dalam lumpur kehinaan hanya karena serba kebetulan alias apes, bahkan karena ”dijerumuskan” oleh sistem kerja yang buruk di dalam lingkungan kerjanya. Peristiwa apes juga sering terjadi disebabkan budaya koruptif yang sudah melembaga dan menahun di dalam organisasi pemerintahan, baik dari pusat maupun di daerah, mengapa bisa melembaga dan menahun?

Budaya koruptif bisa terjadi karena pewarisan perilaku ”abdi dalem” masa kerajaan nusantara dahulu kala, atau upeti yang merupakan tanda loyalitas pada sang raja (penguasa) dan belum berhenti sampai saat ini, terang-terangan atau terselubung. Keadaan abad modern saat ini bahkan muncul istilah hukum, pemerasan, yang biasa terjadi dari oleh atasan kepada bawahan atau penguasa kepada yang memerlukan kekuasaan untuk tujuan menguntungkan diri sendiri.

Sesungguhnya budaya koruptif sampai pada pemerasan yang telah dan sedang terjadi sampai saat ini. Tidak dapat dicegah dengan cara-cara hukum, semata-mata karena hukum hanya menjangkau peristiwa ex ante dan mencari efektivitas, tetapi tidak berorientasi pada akar masalah dan dampak dari suatu peristiwa. Hukum hanya memenuhi target pencapaian khusus penegakan hukum yang berujung memenuhi penjara.

Tetapi bersamaan dengan itu, merugikan secara signifikan anggaran negara semakin lama terpidana di dalam penjara, semakin tinggi biaya negara untuk ”memelihara” terpidana.

Penegakan hukum dengan kekuasaan hukum dalam pengamatan penulis, apalagi berujung di penjara, dalam kenyataan tidak menimbulkan efek jera signifikan. Terbukti siklus residivisme tetap saja terjadi, bahkan setiap minggu-minggu ini bebas dari penjara, minggu yang akan datang masuk kembali ke penjara, bukan pemandangan yang aneh dan ganjil dalam kehidupan penjara.

Ibaratnya, proses mencari dan menemukan keadilan yang dicita-citakan sejak zaman Yunani —oleh Socrates dan muridnya Plato, kemudian dikembangkan oleh Aristoteles— merupakan fatamorgana, terutama dan khususnya di dalam kehidupan hukum bangsa Indonesia.

Sering kita saksikan, mereka yang dikenal integritas, kejujuran dan usahawan yang telah mempraktikkan prinsip ”good corporate governance” bisa terperosok ke dalam sistem peradilan pidana. Sebaliknya aparatur hukum yang berperilaku tercela dan melanggar hukum tetap saja dengan amannya melaksanakan tugas selaku ”aparatur hukum”; ibaratnya penegakan hukum oleh penegak hukum tercela untuk memenjarakan orang yang telah berbuat tercela dan melanggar hukum.

Bagaimana merumuskan dan melafalkan keadaan yang tragis ini sulit dan tidak mudah, tetapi kenyataan pengadilan terhadap DI, FS, SDA, dan masih banyak ”korban” kekuasaan hukum merupakan bukti bahwa hukum tidak hanya tumpul ke bawah akan tetapi bisa tajam samping kanan atau kiri kita.

Kondisi penegakan hukum ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, bahkan ketidakmanfaatan sebagaimana yang disampaikan dalam nota eksepsi DI di pengadilan Surabaya: ”.. gaya (aparatur hukum) seperti itu, Yang Mulia, yang membingungkan masyarakat.

Masyarakat yang modal utamanya adalah hati nurani dan akal sehat dibuat bingung karena disuguhi oleh ulah (aparatur hukum) yang seperti itu. Yakni bagaimana mengobjekkan korupsi demi kerakusan politik, kerakusan jabatan maupun kekuasaan harta.

Dengan ulah (aparatur hukum) seperti itu, Yang Mulia, masyarakat bisa apatis. Bahkan masyarakat akhirnya percaya pada istilah nasib-nasiban lagi salah mongso atau lagi dimangsa. Atau hanya karena tidak mau menyogok, atau bahkan karena tidak mampu menyogok”.

Curhat gaya DI di hadapan majelis hakim PN Surabaya, juga curhat lebih banyak lagi tersangka/ terdakwa merupakan cermin kondisi penegakan hukum yang berorientasi pada kekuasaan semata-mata tanpa nurani dan tanpa keadilan. Benar juga pendapat Mochtar Kusumaatmadja, bahwa ”hukum tanpa kekuasaan, adalah angan-angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah anarki”. Bahkan hukum tanpa kekuasaan dan kekuasaan tanpa hukum adalah bencana ketidakadilan dan kesengsaraan lahiriah dan batiniah.

Dalam keadaan sedemikian itulah maka adagium yang tepat: power tends to corrupt and to abuse, and absolute power and abuse tends to corrupt absolutely and abusively.

Sifat kekuasaan ini berlaku universal karena bersamaan dengan karakter manusia baik sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok; dari dan di dalam menjalankan kekuasaan itulah tercermin karakter dan perilaku sebenarnya setiap individu atau kelompok pemegang kekuasaan itu; bukan pada saat berkampanye untuk meraih kekuasaan. Ada pendapat bahwa janji kampanye politik satu hal dan untuk mewujudkannya lain hal.

Begitulah pedoman kaum politisi sehingga tidak heran dan tidak perlu kecewa jika janji politik kampanye hanya berhasil diwujudkan tidak mencapai 0,5% dari seluruh janjinya, selebihnya tarik menarik kepentingan kelompok atau partai politik saja. Contoh nyata janji politik untuk (kesejahteraan dalam arti luas) rakyat kecil (wong cilik) di dalam kehidupan politik di Indonesia sejak Soekarno sampai saat ini belum juga dapat diwujudkan. Ilmu pengetahuan juga merupakan simbol kekuasaan negara contoh, negara dengan banyak ahli nuklir termasuk ”pemilik kekuasaan dunia” sampai saat ini.

Dalam lingkup mikro domestik, para ahli ilmu pengetahuan adalah pemilik kekuasaan sesuai dengan kompetensi keilmuannya, sekalipun ciri ilmu pengetahuan adalah kebenaran baik secara teoritik maupun secara empiris. Dalam praktik hukum di Indonesia, bisa terjadi kebenaran dijual demi uang dan kedudukan atau hanya hendak dipandang populis.

Dengan kata lain telah terjadi praktik ”pelacuran ilmu” yang sangat tragis dan menampakkan masa depan yang kelam hitam di tengah upaya sebagian terbesar rakyat mendambakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi jalan hidupnya.

Kolaborasi kekuasaan yang rakus (greedy) dalam praktik penegakan hukum sudah sangat sempurna dan telah dilaksanakan secara sistematis dan terorganisasi diperkuat oleh pelacuran ilmu dan kebenaran sehingga kebulatan tekad kaum dajal berhasil niatnya menghancurkan bangsa ini bukan saja dari aspek fisik tetapi juga aspek moralitas generasi bangsa. Jika demikian tragisnya, apa lagi yang masih tersisa dari cita kehidupan duniawi ini yang bermaslahat bagi bangunan bangsa yang disebut Indonesia ke depan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5972 seconds (0.1#10.140)