Natal dan Sinergi Menjaga Keutuhan NKRI
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
SEJAK munculnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Juni 2013 dan meletusnya konflik Suriah 2011, ada penilaian hubungan Islam-Kristen sudah memburuk. Apalagi berbagai teror bom atau kekerasan di Barat, seperti teror Berlin baru-baru ini, selalu dikaitkan dengan Islam, sehingga terjadi semangat anti-Islam di Barat. Itu dalam lingkup global.
Dalam lingkup nasional, juga terjadi kasus penistaan agama yang pelakunya beragama Kristen, ditambah berbagai sweeping antibusana Natal di berbagai mal sehingga ada penilaian relasi kedua umat ini memburuk. Pertanyaan kita, benarkah demikian? Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pesan Natal apakah yang cocok dalam kondisi demikian?
Pertama sebagai aktivis lintas agama, penulis tidak hendak menolak total kesimpulan yang amat mengganggu itu. Tentu umat beragama apa pun yang punya kehendak baik jelas tidak akan gembira dengan rusaknya hubungan antarumat beragama di manapun.
Tetapi terus terang, penulis tidak begitu setuju dengan argumen yang menyebut hubungan antara umat Islam dan Kristen sudah berada di titik nadir. Dalam hal ini, penulis menilai munculnya ISIS yang sering memenggal kepala umat kristiani atau penistaan agama di Tanah Air, merupakan peristiwa yang kasuistis sehingga tak bisa digeneralisasi, apalagi ISIS bukan mewakili Islam, demikian tersangka pelaku penistaan bukan mewakili umat kristiani.
Nah, berhubung selama ini media, khususnya media sosial terlalu mengekspos hal-hal buruk dalam hubungan umat Islam dan Kristen sehingga melahirkan gambaran buruk, maka dalam tulisan ini, penulis perlu menampilkan beberapa contoh terkait hubungan baik kedua umat.
Contoh pertama ditunjukkan Paus Fransiskus yang di dalam berbagai kesempatan selalu menolak mengaitkan Islam dengan teror. Tekanan bangsa-bangsa Eropa kepada Islam yang justru memicu kaum muda Islam untuk bergabung dengan kelompok-kelompok garis keras. "Itu tidak benar, itu keliru untuk menyatakan Islam terkait dengan terorisme," kata Paus yang berbicara kepada wartawan di atas pesawat dalam penerbangan kembali dari Warsawa, Polandia, Minggu 31 Juli 2016.
Belum lama ini, Paus juga mengundang puluhan dari berbagai agama, termasuk Islam seperti Din Syamsuddin untuk berdoa bersama bagi perdamaian di Assisi, Italia, 20 September 2016. Din yang juga menjabat sebagai direktur Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini mengutip Surah Ali Imran ayat ke-64, mengajak umat berbagai agama, khususnya Yahudi dan Kristen, berpegang teguh pada landasan tunggal yang sama (kalimatun sawa’) yaitu dengan mengabdi hanya kepada Tuhan yang esa dan bekerja sama untuk kemaslahatan dunia.
Paus Fransiskus menyampaikan apresiasi terhadap sambutan Din dan keduanya sempat berjabat tangan. Bahkan, Din memohon Paus untuk mendoakannya dan mendoakan Indonesia.
Semangat bersaudara dalam pertemuan di Assisi itu, juga bergema di hati banyak orang di Amerika, Eropa dan Australia untuk memberi perlindungan bagi jutaan pengungsi muslim yang teraniaya sebagai dampak dari krisis Suriah. Toleransi dan kerja sama yang baik juga ditunjukkan secara turun-temurun oleh orang-orang Kristen Palestina dengan saudara-saudara muslimnya.
Kebetulan di Jakarta, rombongan dari Bethlehem Bible College sedang menggelar konser di Jakarta yang menampilkan lagu-lagu Natal berbahasa Arab. Menurut rombongan ini, tak ada polemik Natal apa pun di Palestina.
Di Tanah Air, sebenarnya juga masih banyak contoh toleransi dan kerja sama yang mengharukan antara kedua umat. Memang pada 2000 pernah meledak konflik Ambon.
Namun jangan lupa di Kampung Waiyame, 20 km dari Ambon sekitar 4.000 umat (55% Islam-45% Kristen) masih mampu menciptakan oasis damai di tengah konflik, bahkan sampai detik ini mereka tidak terusik peristiwa apa pun seperti kasus penistaan agama atau polemik ucapan Natal.
Selain terus mencoba melawan provokasi dari luar, kedua umat di kampung itu juga saling meneguhkan, saling membantu, bahkan merayakan Lebaran dan Natal dalam semangat penuh kasih.
Yang menarik lagi adalah toleransi dan sikap saling menghargai yang ditunjukkan warga Dayak di Kalteng. Meski beragama berbeda, entah Islam, Kristen atau Kaharingan, mereka tidak pernah konflik sama sekali, sebab mereka tidur dalam satu atap dalam rumah “Betang”.
Dalam pembagian air sungai misalnya, warga Dayak yang Kristen dan Kaharingan mendapat jatah di hilir, sedang yang muslim tetap di hulu. Tujuannya agar kesucian air yang diperlukan untuk salat dan keperluan lain warga Dayak yang muslim tidak tercemari, misalnya oleh darah daging babi.
Harmoni seperti itu juga terjadi dalam masyarakat Batak di Tapanuli, di Manado, di Kampung Betawi Kampung Sawah-Bekasi dan di banyak tempat di Tanah Air dari Sabang sampai Merauke. Belum terhitung relasi harmonis ribuan pekerja muslim yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik orang kristen atau sebaliknya.
Simak kisah karyawan yang dibiayai berziarah ke Israel atau yang muslim dihajikan sebagaimana terjadi di MNC Group dsb. Bahkan, ada suasana kebersamaan dan keakraban saat ada lebaran atau perayaan Natal bersama di perusahaan-perusahaan tersebut.
Harmoni dan kebersamaan itu memang layak kita pertahankan ketika kita menyambut kelahiran tokoh panutan seperti Yesus atau Muhammad. Bahkan, modus kelahiran setiap nabi senantiasa bermula pada hasrat mengembalikan semesta pada daulat cinta kasih.”Aku tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi semesta,”demikian firman-Nya dalam Alquran.
Demikian juga saat Natal tiba, umat kristiani merayakan Yesus, Juru Selamat dan Juru Damai yang menjembatani seluruh makhluk dengan Yang Mahatinggi. Apalagi sejak kelahiran di kandang Betlehem hingga wafatnya di Kalvari, Yesus selalu melakukan karya belas kasih sehingga yang lapar dikenyangkan, yang buta dibuat melihat, yang lumpuh berjalan dan yang mati, dihidupkan.
Semua itu jelas menjadi inspirasi bagi kita, untuk berlomba-lomba berbuat baik, seperti ajakan Alquran atau Injil. Kahlil Gibran, penganut Katolik Maronit Libanon yang punya banyak pembaca muslim, pernah menulis bahwa “kaum beragama yang berbeda, yakni kau dan aku sebenarnya sama-sama merupakan anak-anak iman. Karena berbagai agama yang beragam merupakan buah karya jari-jari tangan cinta dari Wujud Agung yang Satu, tangan yang merengkuh semuanya. Mengulurkan kesempurnaan hati kepada semuanya dan dengan sepenuh cinta menerima semuanya”.
Jadi sebenarnya umat yang satu bukan musuh bagi yang lain. Musuh bersama kita adalah korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, kapitalisme, dan ideologi-ideologi yang tidak menghargai martabat manusia.
Maka tidak ada gunanya jika kita membuang banyak energi keburukan atau kebencian, yang jelas amat kontraproduktif bagi kemanusiaan dan keindonesiaan.
Di tengah kondisi darurat keindonesiaan, umat beragama apa pun bisa bergandeng tangan dan bersinergi menjaga keutuhan NKRI sambil memberi kontribusi positif. Kita yakin masih banyak yang punya kehendak baik. Natal, sebagai pesta solidaritas Allah dengan manusia, semoga menginspirasi kita semua untuk solider demi Indonesia yang lebih baik. Selamat Natal 2016.
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
SEJAK munculnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), Juni 2013 dan meletusnya konflik Suriah 2011, ada penilaian hubungan Islam-Kristen sudah memburuk. Apalagi berbagai teror bom atau kekerasan di Barat, seperti teror Berlin baru-baru ini, selalu dikaitkan dengan Islam, sehingga terjadi semangat anti-Islam di Barat. Itu dalam lingkup global.
Dalam lingkup nasional, juga terjadi kasus penistaan agama yang pelakunya beragama Kristen, ditambah berbagai sweeping antibusana Natal di berbagai mal sehingga ada penilaian relasi kedua umat ini memburuk. Pertanyaan kita, benarkah demikian? Lalu apa yang perlu kita lakukan? Pesan Natal apakah yang cocok dalam kondisi demikian?
Pertama sebagai aktivis lintas agama, penulis tidak hendak menolak total kesimpulan yang amat mengganggu itu. Tentu umat beragama apa pun yang punya kehendak baik jelas tidak akan gembira dengan rusaknya hubungan antarumat beragama di manapun.
Tetapi terus terang, penulis tidak begitu setuju dengan argumen yang menyebut hubungan antara umat Islam dan Kristen sudah berada di titik nadir. Dalam hal ini, penulis menilai munculnya ISIS yang sering memenggal kepala umat kristiani atau penistaan agama di Tanah Air, merupakan peristiwa yang kasuistis sehingga tak bisa digeneralisasi, apalagi ISIS bukan mewakili Islam, demikian tersangka pelaku penistaan bukan mewakili umat kristiani.
Nah, berhubung selama ini media, khususnya media sosial terlalu mengekspos hal-hal buruk dalam hubungan umat Islam dan Kristen sehingga melahirkan gambaran buruk, maka dalam tulisan ini, penulis perlu menampilkan beberapa contoh terkait hubungan baik kedua umat.
Contoh pertama ditunjukkan Paus Fransiskus yang di dalam berbagai kesempatan selalu menolak mengaitkan Islam dengan teror. Tekanan bangsa-bangsa Eropa kepada Islam yang justru memicu kaum muda Islam untuk bergabung dengan kelompok-kelompok garis keras. "Itu tidak benar, itu keliru untuk menyatakan Islam terkait dengan terorisme," kata Paus yang berbicara kepada wartawan di atas pesawat dalam penerbangan kembali dari Warsawa, Polandia, Minggu 31 Juli 2016.
Belum lama ini, Paus juga mengundang puluhan dari berbagai agama, termasuk Islam seperti Din Syamsuddin untuk berdoa bersama bagi perdamaian di Assisi, Italia, 20 September 2016. Din yang juga menjabat sebagai direktur Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) ini mengutip Surah Ali Imran ayat ke-64, mengajak umat berbagai agama, khususnya Yahudi dan Kristen, berpegang teguh pada landasan tunggal yang sama (kalimatun sawa’) yaitu dengan mengabdi hanya kepada Tuhan yang esa dan bekerja sama untuk kemaslahatan dunia.
Paus Fransiskus menyampaikan apresiasi terhadap sambutan Din dan keduanya sempat berjabat tangan. Bahkan, Din memohon Paus untuk mendoakannya dan mendoakan Indonesia.
Semangat bersaudara dalam pertemuan di Assisi itu, juga bergema di hati banyak orang di Amerika, Eropa dan Australia untuk memberi perlindungan bagi jutaan pengungsi muslim yang teraniaya sebagai dampak dari krisis Suriah. Toleransi dan kerja sama yang baik juga ditunjukkan secara turun-temurun oleh orang-orang Kristen Palestina dengan saudara-saudara muslimnya.
Kebetulan di Jakarta, rombongan dari Bethlehem Bible College sedang menggelar konser di Jakarta yang menampilkan lagu-lagu Natal berbahasa Arab. Menurut rombongan ini, tak ada polemik Natal apa pun di Palestina.
Di Tanah Air, sebenarnya juga masih banyak contoh toleransi dan kerja sama yang mengharukan antara kedua umat. Memang pada 2000 pernah meledak konflik Ambon.
Namun jangan lupa di Kampung Waiyame, 20 km dari Ambon sekitar 4.000 umat (55% Islam-45% Kristen) masih mampu menciptakan oasis damai di tengah konflik, bahkan sampai detik ini mereka tidak terusik peristiwa apa pun seperti kasus penistaan agama atau polemik ucapan Natal.
Selain terus mencoba melawan provokasi dari luar, kedua umat di kampung itu juga saling meneguhkan, saling membantu, bahkan merayakan Lebaran dan Natal dalam semangat penuh kasih.
Yang menarik lagi adalah toleransi dan sikap saling menghargai yang ditunjukkan warga Dayak di Kalteng. Meski beragama berbeda, entah Islam, Kristen atau Kaharingan, mereka tidak pernah konflik sama sekali, sebab mereka tidur dalam satu atap dalam rumah “Betang”.
Dalam pembagian air sungai misalnya, warga Dayak yang Kristen dan Kaharingan mendapat jatah di hilir, sedang yang muslim tetap di hulu. Tujuannya agar kesucian air yang diperlukan untuk salat dan keperluan lain warga Dayak yang muslim tidak tercemari, misalnya oleh darah daging babi.
Harmoni seperti itu juga terjadi dalam masyarakat Batak di Tapanuli, di Manado, di Kampung Betawi Kampung Sawah-Bekasi dan di banyak tempat di Tanah Air dari Sabang sampai Merauke. Belum terhitung relasi harmonis ribuan pekerja muslim yang bekerja di perusahaan-perusahaan milik orang kristen atau sebaliknya.
Simak kisah karyawan yang dibiayai berziarah ke Israel atau yang muslim dihajikan sebagaimana terjadi di MNC Group dsb. Bahkan, ada suasana kebersamaan dan keakraban saat ada lebaran atau perayaan Natal bersama di perusahaan-perusahaan tersebut.
Harmoni dan kebersamaan itu memang layak kita pertahankan ketika kita menyambut kelahiran tokoh panutan seperti Yesus atau Muhammad. Bahkan, modus kelahiran setiap nabi senantiasa bermula pada hasrat mengembalikan semesta pada daulat cinta kasih.”Aku tidak mengutus engkau Muhammad kecuali sebagai rahmat bagi semesta,”demikian firman-Nya dalam Alquran.
Demikian juga saat Natal tiba, umat kristiani merayakan Yesus, Juru Selamat dan Juru Damai yang menjembatani seluruh makhluk dengan Yang Mahatinggi. Apalagi sejak kelahiran di kandang Betlehem hingga wafatnya di Kalvari, Yesus selalu melakukan karya belas kasih sehingga yang lapar dikenyangkan, yang buta dibuat melihat, yang lumpuh berjalan dan yang mati, dihidupkan.
Semua itu jelas menjadi inspirasi bagi kita, untuk berlomba-lomba berbuat baik, seperti ajakan Alquran atau Injil. Kahlil Gibran, penganut Katolik Maronit Libanon yang punya banyak pembaca muslim, pernah menulis bahwa “kaum beragama yang berbeda, yakni kau dan aku sebenarnya sama-sama merupakan anak-anak iman. Karena berbagai agama yang beragam merupakan buah karya jari-jari tangan cinta dari Wujud Agung yang Satu, tangan yang merengkuh semuanya. Mengulurkan kesempurnaan hati kepada semuanya dan dengan sepenuh cinta menerima semuanya”.
Jadi sebenarnya umat yang satu bukan musuh bagi yang lain. Musuh bersama kita adalah korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, kapitalisme, dan ideologi-ideologi yang tidak menghargai martabat manusia.
Maka tidak ada gunanya jika kita membuang banyak energi keburukan atau kebencian, yang jelas amat kontraproduktif bagi kemanusiaan dan keindonesiaan.
Di tengah kondisi darurat keindonesiaan, umat beragama apa pun bisa bergandeng tangan dan bersinergi menjaga keutuhan NKRI sambil memberi kontribusi positif. Kita yakin masih banyak yang punya kehendak baik. Natal, sebagai pesta solidaritas Allah dengan manusia, semoga menginspirasi kita semua untuk solider demi Indonesia yang lebih baik. Selamat Natal 2016.
(poe)