Apakah Pasal Penebar Kebencian Masih Relevan Dipertahankan?
A
A
A
Frans H Winarta
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,
Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional (KHN)
PERDEBATAN mengenai konstitusionalitas Pasal 156a KUHP seharusnya sudah berakhir dengan diputusnya konstitusionalitas pasal ini oleh Putusan MK Nomor 84/ PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Sekalipun demikian, pro dan kontra masih saja bergulir tentang bagaimana sikap negara terhadap persoalan yang menyangkut penistaan agama di Indonesia.
Dalam putusan MK No 140/ PUU-VII/2009, MK berpandangan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham urusan agama tidak dipisahkan dari negara. Artinya, negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran suatu agama dan hanya menerima kesepakatan internal agama yang bersangkutan.
Namun, pertimbangan ini melupakan kenyataan bahwa terkadang di dalam internal agama sekalipun terdapat perbedaan pendapat. Sehingga, apabila perbedaan pendapat ini terjadi, Pasal 156a KUHP dikhawatirkan dapat menjadi bola liar yang tidak terkendali.
Bangsa Indonesia seharusnya tidak abai terhadap pendapat dari bapak-bapak pendiri bangsa. Bung Hatta misalnya menekankan pemisahan antara negara dan agama (scheiding van kerk en staat) di dalam pidatonya di persidangan BPUPKI. Atau, bahkan Bung Karno yang berpandangan bahwa pemerintah justru merupakan halangan apabila mencampuri urusan agama.
Namun, pada akhirnya Pasal 156a KUHP tetap dipandang penting sebagai bagian dari delik-delik penebar kebencian. Tujuannya untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk agar jangan sampai terkena berbagai macam hasutan yang menyebar kebencian misalnya dengan ucapan, tulisan, gambar, dan sebagainya di depan umum atau di media massa.
Namun, saat ini justru marak isu perpecahan, intoleransi, bahkan politisasi dengan membonceng persoalan yang sedang terjadi dengan menggunakan Pasal 156a KUHP. Tentu ini sangat membahayakan konsep NKRI. Karena itu, menjadi pertanyaan penting untuk dipikirkan oleh kita bersama, masihkah kita akan bertahan dengan sebuah ketentuan yang justru menjadi alat politik devide et empera.
Apalagi akhir-akhir ini, di tengah pertarungan politik yang semakin bebas, demokrasi langsung dan transparansi serta kehadiran media sosial menjadi benang kusut yang saling berkelindan.
Belum semua politisi dapat bertindak dan berperilaku dewasa dan mampu menjaga diri dari ambisi pribadi dan kepentingan kelompok. Beragam cara dilakukan untuk dapat memenangkan pertaruhan politik demi kemenangan partai atau kelompoknya.
Maka, saling pelintir perkataan, terlebih jika telah disebarkan melalui media sosial, menjadi senjata mematikan. Apalagi, jika perkataan yang dipelintir justru bersangkut paut dengan soal agama.
Jika sudah begini, akan sangat sulit memisahkan mana persoalan hukum, mana persoalan politik, ataupun yang murni soal agama. Tentu akan sangat baik apabila politisi menahan diri dari perilaku dan tutur kata apa pun yang berpotensi memecah belah dalam pertarungan politik. Seorang negarawan seharusnya paham dan bijak dalam memilah apa hal yang perlu ataupun tidak perlu disampaikan kepada publik.
Namun, di tengah-tengah kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat akibat suhu panas menjelang pilkada ini, ada juga pihak-pihak yang tega mengeksploitasi kelemahan lawan politiknya untuk memenangkan pilkada tanpa memusingkan bahwa kesatuan dan keutuhan negara, toleransi yang telah terpupuk dan terpelihara, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi porak-poranda dengan mengorbankan NKRI. Sikap-sikap politik seperti ini sama jahatnya sehingga pada akhirnya hukum hanya menjadi alat untuk melayani kekuasaan.
Kita harus ingat bahwa cita-cita negara hukum (rechtsstaat) yang ingin diwujudkan tidak akan dapat menjadi kenyataan apabila hukum masih dianggap sebagai subordinat dari kekuasaan. Hukum memang dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat, tetapi juga harus ditegakkan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) untuk mencapai perubahan yang dicita-citakan.
Inilah yang dikemukakan Roscoe Pound sebagai law as a social engineering. Maka, jika masyarakat dan penguasa tengah salah menerapkan hukum, seharusnya hukum tidak boleh larut, melainkan harus menjadi sarana untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan penguasa ke jalan yang benar.
Saat ini masyarakat memandang hukum hanya sebagai alat untuk melindungi kepentingan tanpa mengerti apa yang dimaksud dengan kepentingan dan sebenarnya kepentingan apa yang tengah diperjuangkannya. Kepentingan pribadi tersebut, sekalipun dimiliki banyak orang ataupun golongan terbesar, tidak serta-merta menjadi kepentingan umum.
Menurut Roscoe Pound, kepentingan sosial adalah sesuatu yang lazim dan wajar, klaim, tuntutan, keinginan, atau harapan de facto di mana manusia secara kolektif berusaha untuk memuaskannya dan masyarakat beradab harus mengakui dan melindunginya melalui hukum. Karena itu, kepentingan sosial sejatinya tercermin dalam hukum dan konstitusi yang ada di suatu negara.
Kepentingan sosial tidak didasarkan pada pendapat individu ataupun kelompok apalagi yang bersifat sektarian. Jika dasarnya adalah pendapat individu dan kelompok, itu masih masuk dalam kepentingan pribadi.
Maka, hukum tidak boleh sekadar melindungi kepentingan pribadi, tapi juga harus melindungi kepentingan publik yang dijamin berdasarkan konstitusi. Kalau justru kepentingan individu-individu yang banyak ini berupaya untuk menegasikan kepentingan umum, negara seharusnya tidak tinggal diam.
Kini pergulatan Pasal 156a KUHP membawa banyak pelajaran bagi publik dan juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita semua sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
Namun, pertanyaannya kini, NKRI seperti apa yang akan kita bangun bersama? NKRI yang melindungi seluruh tumpah darahnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi atau NKRI yang tunduk untuk melayani kepentingan individu per individu?
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,
Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional (KHN)
PERDEBATAN mengenai konstitusionalitas Pasal 156a KUHP seharusnya sudah berakhir dengan diputusnya konstitusionalitas pasal ini oleh Putusan MK Nomor 84/ PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Sekalipun demikian, pro dan kontra masih saja bergulir tentang bagaimana sikap negara terhadap persoalan yang menyangkut penistaan agama di Indonesia.
Dalam putusan MK No 140/ PUU-VII/2009, MK berpandangan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara yang menganut paham urusan agama tidak dipisahkan dari negara. Artinya, negara tidak secara otonom menentukan pokok-pokok ajaran suatu agama dan hanya menerima kesepakatan internal agama yang bersangkutan.
Namun, pertimbangan ini melupakan kenyataan bahwa terkadang di dalam internal agama sekalipun terdapat perbedaan pendapat. Sehingga, apabila perbedaan pendapat ini terjadi, Pasal 156a KUHP dikhawatirkan dapat menjadi bola liar yang tidak terkendali.
Bangsa Indonesia seharusnya tidak abai terhadap pendapat dari bapak-bapak pendiri bangsa. Bung Hatta misalnya menekankan pemisahan antara negara dan agama (scheiding van kerk en staat) di dalam pidatonya di persidangan BPUPKI. Atau, bahkan Bung Karno yang berpandangan bahwa pemerintah justru merupakan halangan apabila mencampuri urusan agama.
Namun, pada akhirnya Pasal 156a KUHP tetap dipandang penting sebagai bagian dari delik-delik penebar kebencian. Tujuannya untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban umum di kalangan penduduk agar jangan sampai terkena berbagai macam hasutan yang menyebar kebencian misalnya dengan ucapan, tulisan, gambar, dan sebagainya di depan umum atau di media massa.
Namun, saat ini justru marak isu perpecahan, intoleransi, bahkan politisasi dengan membonceng persoalan yang sedang terjadi dengan menggunakan Pasal 156a KUHP. Tentu ini sangat membahayakan konsep NKRI. Karena itu, menjadi pertanyaan penting untuk dipikirkan oleh kita bersama, masihkah kita akan bertahan dengan sebuah ketentuan yang justru menjadi alat politik devide et empera.
Apalagi akhir-akhir ini, di tengah pertarungan politik yang semakin bebas, demokrasi langsung dan transparansi serta kehadiran media sosial menjadi benang kusut yang saling berkelindan.
Belum semua politisi dapat bertindak dan berperilaku dewasa dan mampu menjaga diri dari ambisi pribadi dan kepentingan kelompok. Beragam cara dilakukan untuk dapat memenangkan pertaruhan politik demi kemenangan partai atau kelompoknya.
Maka, saling pelintir perkataan, terlebih jika telah disebarkan melalui media sosial, menjadi senjata mematikan. Apalagi, jika perkataan yang dipelintir justru bersangkut paut dengan soal agama.
Jika sudah begini, akan sangat sulit memisahkan mana persoalan hukum, mana persoalan politik, ataupun yang murni soal agama. Tentu akan sangat baik apabila politisi menahan diri dari perilaku dan tutur kata apa pun yang berpotensi memecah belah dalam pertarungan politik. Seorang negarawan seharusnya paham dan bijak dalam memilah apa hal yang perlu ataupun tidak perlu disampaikan kepada publik.
Namun, di tengah-tengah kegelisahan yang dirasakan oleh masyarakat akibat suhu panas menjelang pilkada ini, ada juga pihak-pihak yang tega mengeksploitasi kelemahan lawan politiknya untuk memenangkan pilkada tanpa memusingkan bahwa kesatuan dan keutuhan negara, toleransi yang telah terpupuk dan terpelihara, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi porak-poranda dengan mengorbankan NKRI. Sikap-sikap politik seperti ini sama jahatnya sehingga pada akhirnya hukum hanya menjadi alat untuk melayani kekuasaan.
Kita harus ingat bahwa cita-cita negara hukum (rechtsstaat) yang ingin diwujudkan tidak akan dapat menjadi kenyataan apabila hukum masih dianggap sebagai subordinat dari kekuasaan. Hukum memang dibentuk berdasarkan kepentingan masyarakat, tetapi juga harus ditegakkan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) untuk mencapai perubahan yang dicita-citakan.
Inilah yang dikemukakan Roscoe Pound sebagai law as a social engineering. Maka, jika masyarakat dan penguasa tengah salah menerapkan hukum, seharusnya hukum tidak boleh larut, melainkan harus menjadi sarana untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan penguasa ke jalan yang benar.
Saat ini masyarakat memandang hukum hanya sebagai alat untuk melindungi kepentingan tanpa mengerti apa yang dimaksud dengan kepentingan dan sebenarnya kepentingan apa yang tengah diperjuangkannya. Kepentingan pribadi tersebut, sekalipun dimiliki banyak orang ataupun golongan terbesar, tidak serta-merta menjadi kepentingan umum.
Menurut Roscoe Pound, kepentingan sosial adalah sesuatu yang lazim dan wajar, klaim, tuntutan, keinginan, atau harapan de facto di mana manusia secara kolektif berusaha untuk memuaskannya dan masyarakat beradab harus mengakui dan melindunginya melalui hukum. Karena itu, kepentingan sosial sejatinya tercermin dalam hukum dan konstitusi yang ada di suatu negara.
Kepentingan sosial tidak didasarkan pada pendapat individu ataupun kelompok apalagi yang bersifat sektarian. Jika dasarnya adalah pendapat individu dan kelompok, itu masih masuk dalam kepentingan pribadi.
Maka, hukum tidak boleh sekadar melindungi kepentingan pribadi, tapi juga harus melindungi kepentingan publik yang dijamin berdasarkan konstitusi. Kalau justru kepentingan individu-individu yang banyak ini berupaya untuk menegasikan kepentingan umum, negara seharusnya tidak tinggal diam.
Kini pergulatan Pasal 156a KUHP membawa banyak pelajaran bagi publik dan juga kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita semua sepakat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
Namun, pertanyaannya kini, NKRI seperti apa yang akan kita bangun bersama? NKRI yang melindungi seluruh tumpah darahnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi atau NKRI yang tunduk untuk melayani kepentingan individu per individu?
(poe)