Merealisasikan (Mimpi) Asuransi Bencana
A
A
A
Munawar Kasan
Pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi),
Bekerja di Otoritas Jasa Keuangan
PERLUNYA asuransi bencana di Indonesia bukan ide baru. Pemerintah pernah mewacanakan, bahkan kajian telah dilakukan Kementerian Keuangan. Sayangnya, ide tersebut tak terealisasi. Ide asuransi bencana timbul-tenggelam.
Pascabencana ide itu muncul kembali. Tak terkecuali saat gempa bumi mengoyak bumi Serambi Mekkah beberapa hari lalu. Para keluarga korban tak hanya kehilangan nyawa, luka badan, rumah, dan propertinya yang hancur, tetapi juga penderitaan. Meskipun bantuan sigap datang dari pemerintah dan masyarakat, seharusnya ada sistem asuransi seperti praktik-praktik negara lain.
Asuransi bencana memang belum menjadi prioritas bagi pengurus negeri ini. Pemerintah dan DPR tak memasukkan asuransi bencana dalam UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Termasuk tak munculnya di UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian yang seharusnya dapat menjadi alternatif absennya asuransi bencana di UU Nomor 24/2007.
Sebuah negara yang sangat rawan bencana seharusnya memiliki asuransi bencana. Pemerintah tak hanya harus tanggap menggelontorkan dana tiap ada bencana, tetapi juga memanfaatkan industri asuransi untuk berperan. Tak setiap ada bencana pemerintah merogoh APBN secara dalam.
Di beberapa negara pemerintah memberikan dukungan asuransi bencana di Jepang seperti Japan Earthquake Reinsurance (JER) yang didirikan oleh 20 perusahaan asuransi umum di Jepang pada 1966. Saat ada gempa bumi yang merusak rumah warga, perusahaan asuransi, JER, dan pemerintah berperan dengan skema tertentu. Dalam satu gempa bumi, pemerintah memiliki batasan membayar klaim asuransi hingga 11,12 triliun yen.
Di Turki berbeda lagi peran pemerintahnya. Di negara dengan ancaman gempa bumi yang tak sebesar Indonesia tersebut, ada asuransi wajib gempa bumi yang diatur oleh pemerintah. Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) yang didirikan pada 2000 ditugaskan untuk menjadi penanggung bagi risiko gempa bumi pada rumah penduduk.
Di Indonesia sebenarnya ada perusahaan yang spesialis menjamin risiko gempa bumi yaitu PT Asuransi Maipark Indonesia (Maipark). Perusahaan milik seluruh perusahaan asuransi umum dan reasuransi di Indonesia ini menanggung seluruh risiko gempa bumi untuk harta benda yang diasuransikan. Sayangnya, asuransi gempa bumi diberlakukan seperti asuransi lain, yakni belum diwajibkan dan peran pemerintah masih minim.
Upaya untuk mengasuransikan rumah warga atas risiko gempa bumi pernah digagas dengan kerja sama pemerintah daerah. Sayangnya, upaya ini pun kandas. Berbagai penyebabnya, terutama karena pimpinan daerahnya ganti.
Ada beberapa penyebab gamangnya pemerintah pusat. Ada faktor pendanaan APBN, debat di parlemen, juga faktor butuhnya payung hukum di dalam UU. Peran pemerintah dalam mengasuransikan rakyat sudah terealisasi untuk jenis asuransi lain. Yang paling dikenal adalah jaminan/asuransi sosial melalui BPJS dan asuransi kecelakaan lalu lintas dan penumpang umum melalui Jasa Raharja.
Sejak 2015 Kementerian Pertanian bekerja sama dengan industri asuransi telah merealisasikan asuransi pertanian. Petani hanya membayar Rp36.000 (20% dari total premi) untuk lahan seluas 1 hektare. Sedangkan porsi terbesar 80% dibayar oleh Kementerian Pertanian.
Landasan hukumnya memang kuat yakni UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Secara tegas disebutkan dalam UU tersebut bahwa pemerintah wajib melindungi usaha tani yang dilakukan petani dalam bentuk asuransi pertanian.
Adakah asuransi wajib untuk risiko gempa bumi menemui jalan buntu? Tidak. Ada beberapa alternatif yang dapat diusulkan. Pertama, masyarakat perlu terus disadarkan bahwa risiko gempa bumi selalu mengancam, khususnya daerah yang rawan sehingga perlu memanfaatkan asuransi.
Masyarakat perlu mandiri ketika ada bencana. Tidak hanya menerima bantuan pemerintah atau dari organisasi swasta, tetapi juga mempersiapkan skema pendanaan perbaikan rumah melalui asuransi.
Sebagai gambaran, premi asuransi gempa bumi dapat dihitung berdasarkan ketentuan tarif yang diatur Maipark. Untuk rumah tembok di wilayah Aceh, tarif preminya sebesar 1,6 per mil. Sedangkan untuk wilayah Jakarta, tarif premi lebih rendah yakni 1,35 per mil. Jadi premi asuransi gempa bumi untuk rumah tinggal seharga Rp200 juta (tanpa harga tanah) berlokasi di Aceh sebesar Rp320.000 per tahun. Sementara rumah di Jakarta, preminya Rp270.000 per tahun.
Bagi sebagian masyarakat, nilai premi tersebut masih berat. Sebagaimana di asuransi pertanian yang ada peran pemerintah dalam memberi subsidi, diperlukan juga pihak lain dalam memberi subsidi premi asuransi gempa bumi.
Kedua, perlu terus mendorong pemerintah dan DPR untuk memberikan payung hukum asuransi wajib gempa bumi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamendemen UU No Nomor 24/2007. Asuransi gempa bumi berperan dalam rehabilitasi pascabencana. Dibutuhkan peran Otoritas Jasa Keuangan dan asosiasi industri asuransi untuk turut berperan lebih besar dalam meyakinkan pemerintah dan DPR akan kebutuhan asuransi bencana.
Ketiga, memanfaatkan dana corporate social responsibility (CSR) industri asuransi untuk subsidi premi asuransi bencana. Peraturan tentang CSR memang baru ada untuk perusahaan BUMN dan perusahaan yang kegiatannya terkait sumber daya alam. Namun, banyak perusahaan, meskipun belum diwajibkan, telah memiliki dana CSR.
Potensi dana CSR akan lebih besar terlebih akan disahkan UU tentang CSR yang saat ini sedang proses di DPR. Sebagian dana CSR industri asuransi perlu diperuntukkan secara khusus terkait asuransi bencana.
Skema asuransi bencana juga dapat didesain secara khusus. Sudah pernah ada ide bagaimana dana premi yang terkumpul, bila tak ada klaim, dana terus terkumpul dan tak menjadi pendapatan perusahaan asuransi. Ide ini seperti dalam konsep asuransi syariah. Premi yang dikumpulkan (dana tabarutabaru), bukan milik perusahaan, tetapi milik peserta asuransi.
Penumpukan dana ini dibutuhkan dalam rangka menghadapi klaim yang sangat besar. Sebagaimana diketahui, ancaman bencana (khususnya gempa bumi) di Indonesia sangat besar.
Peran pemerintah bisa dalam berbagai bentuk. Bisa langsung menyubsidi premi seperti asuransi pertanian, bisa menjadi penanggung akhir seperti di Jepang, atau bentuk lain.
Apa pun peran tersebut, asuransi bencana harus segera direalisasikan. Tak perlu menunggu bencana besar (lagi) baru memunculkan ide asuransi bencana yang kemudian akan tenggelam lagi seperti yang lalu.
Pendiri Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi),
Bekerja di Otoritas Jasa Keuangan
PERLUNYA asuransi bencana di Indonesia bukan ide baru. Pemerintah pernah mewacanakan, bahkan kajian telah dilakukan Kementerian Keuangan. Sayangnya, ide tersebut tak terealisasi. Ide asuransi bencana timbul-tenggelam.
Pascabencana ide itu muncul kembali. Tak terkecuali saat gempa bumi mengoyak bumi Serambi Mekkah beberapa hari lalu. Para keluarga korban tak hanya kehilangan nyawa, luka badan, rumah, dan propertinya yang hancur, tetapi juga penderitaan. Meskipun bantuan sigap datang dari pemerintah dan masyarakat, seharusnya ada sistem asuransi seperti praktik-praktik negara lain.
Asuransi bencana memang belum menjadi prioritas bagi pengurus negeri ini. Pemerintah dan DPR tak memasukkan asuransi bencana dalam UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Termasuk tak munculnya di UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian yang seharusnya dapat menjadi alternatif absennya asuransi bencana di UU Nomor 24/2007.
Sebuah negara yang sangat rawan bencana seharusnya memiliki asuransi bencana. Pemerintah tak hanya harus tanggap menggelontorkan dana tiap ada bencana, tetapi juga memanfaatkan industri asuransi untuk berperan. Tak setiap ada bencana pemerintah merogoh APBN secara dalam.
Di beberapa negara pemerintah memberikan dukungan asuransi bencana di Jepang seperti Japan Earthquake Reinsurance (JER) yang didirikan oleh 20 perusahaan asuransi umum di Jepang pada 1966. Saat ada gempa bumi yang merusak rumah warga, perusahaan asuransi, JER, dan pemerintah berperan dengan skema tertentu. Dalam satu gempa bumi, pemerintah memiliki batasan membayar klaim asuransi hingga 11,12 triliun yen.
Di Turki berbeda lagi peran pemerintahnya. Di negara dengan ancaman gempa bumi yang tak sebesar Indonesia tersebut, ada asuransi wajib gempa bumi yang diatur oleh pemerintah. Turkish Catastrophe Insurance Pool (TCIP) yang didirikan pada 2000 ditugaskan untuk menjadi penanggung bagi risiko gempa bumi pada rumah penduduk.
Di Indonesia sebenarnya ada perusahaan yang spesialis menjamin risiko gempa bumi yaitu PT Asuransi Maipark Indonesia (Maipark). Perusahaan milik seluruh perusahaan asuransi umum dan reasuransi di Indonesia ini menanggung seluruh risiko gempa bumi untuk harta benda yang diasuransikan. Sayangnya, asuransi gempa bumi diberlakukan seperti asuransi lain, yakni belum diwajibkan dan peran pemerintah masih minim.
Upaya untuk mengasuransikan rumah warga atas risiko gempa bumi pernah digagas dengan kerja sama pemerintah daerah. Sayangnya, upaya ini pun kandas. Berbagai penyebabnya, terutama karena pimpinan daerahnya ganti.
Ada beberapa penyebab gamangnya pemerintah pusat. Ada faktor pendanaan APBN, debat di parlemen, juga faktor butuhnya payung hukum di dalam UU. Peran pemerintah dalam mengasuransikan rakyat sudah terealisasi untuk jenis asuransi lain. Yang paling dikenal adalah jaminan/asuransi sosial melalui BPJS dan asuransi kecelakaan lalu lintas dan penumpang umum melalui Jasa Raharja.
Sejak 2015 Kementerian Pertanian bekerja sama dengan industri asuransi telah merealisasikan asuransi pertanian. Petani hanya membayar Rp36.000 (20% dari total premi) untuk lahan seluas 1 hektare. Sedangkan porsi terbesar 80% dibayar oleh Kementerian Pertanian.
Landasan hukumnya memang kuat yakni UU Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Secara tegas disebutkan dalam UU tersebut bahwa pemerintah wajib melindungi usaha tani yang dilakukan petani dalam bentuk asuransi pertanian.
Adakah asuransi wajib untuk risiko gempa bumi menemui jalan buntu? Tidak. Ada beberapa alternatif yang dapat diusulkan. Pertama, masyarakat perlu terus disadarkan bahwa risiko gempa bumi selalu mengancam, khususnya daerah yang rawan sehingga perlu memanfaatkan asuransi.
Masyarakat perlu mandiri ketika ada bencana. Tidak hanya menerima bantuan pemerintah atau dari organisasi swasta, tetapi juga mempersiapkan skema pendanaan perbaikan rumah melalui asuransi.
Sebagai gambaran, premi asuransi gempa bumi dapat dihitung berdasarkan ketentuan tarif yang diatur Maipark. Untuk rumah tembok di wilayah Aceh, tarif preminya sebesar 1,6 per mil. Sedangkan untuk wilayah Jakarta, tarif premi lebih rendah yakni 1,35 per mil. Jadi premi asuransi gempa bumi untuk rumah tinggal seharga Rp200 juta (tanpa harga tanah) berlokasi di Aceh sebesar Rp320.000 per tahun. Sementara rumah di Jakarta, preminya Rp270.000 per tahun.
Bagi sebagian masyarakat, nilai premi tersebut masih berat. Sebagaimana di asuransi pertanian yang ada peran pemerintah dalam memberi subsidi, diperlukan juga pihak lain dalam memberi subsidi premi asuransi gempa bumi.
Kedua, perlu terus mendorong pemerintah dan DPR untuk memberikan payung hukum asuransi wajib gempa bumi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamendemen UU No Nomor 24/2007. Asuransi gempa bumi berperan dalam rehabilitasi pascabencana. Dibutuhkan peran Otoritas Jasa Keuangan dan asosiasi industri asuransi untuk turut berperan lebih besar dalam meyakinkan pemerintah dan DPR akan kebutuhan asuransi bencana.
Ketiga, memanfaatkan dana corporate social responsibility (CSR) industri asuransi untuk subsidi premi asuransi bencana. Peraturan tentang CSR memang baru ada untuk perusahaan BUMN dan perusahaan yang kegiatannya terkait sumber daya alam. Namun, banyak perusahaan, meskipun belum diwajibkan, telah memiliki dana CSR.
Potensi dana CSR akan lebih besar terlebih akan disahkan UU tentang CSR yang saat ini sedang proses di DPR. Sebagian dana CSR industri asuransi perlu diperuntukkan secara khusus terkait asuransi bencana.
Skema asuransi bencana juga dapat didesain secara khusus. Sudah pernah ada ide bagaimana dana premi yang terkumpul, bila tak ada klaim, dana terus terkumpul dan tak menjadi pendapatan perusahaan asuransi. Ide ini seperti dalam konsep asuransi syariah. Premi yang dikumpulkan (dana tabarutabaru), bukan milik perusahaan, tetapi milik peserta asuransi.
Penumpukan dana ini dibutuhkan dalam rangka menghadapi klaim yang sangat besar. Sebagaimana diketahui, ancaman bencana (khususnya gempa bumi) di Indonesia sangat besar.
Peran pemerintah bisa dalam berbagai bentuk. Bisa langsung menyubsidi premi seperti asuransi pertanian, bisa menjadi penanggung akhir seperti di Jepang, atau bentuk lain.
Apa pun peran tersebut, asuransi bencana harus segera direalisasikan. Tak perlu menunggu bencana besar (lagi) baru memunculkan ide asuransi bencana yang kemudian akan tenggelam lagi seperti yang lalu.
(poe)