Media dalam Kontestasi Pilkada

Senin, 19 Desember 2016 - 14:59 WIB
Media dalam Kontestasi...
Media dalam Kontestasi Pilkada
A A A
Yuliandre Darwis, Ph.D
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi Fisip Unand

MENJELANG akhir tahun 2016, refleksi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang tahun menjadi diskursus dalam berbagai ruang untuk menghadapi tahun 2017. Peristiwa politik pilkada serentak 2017 relasinya dengan peran media merupakan salah satu topik yang mengundang perhatian berbagai kalangan.

Irisan media dengan pilkada menjadi tema dalam forum refleksi akhir tahun pada ruang diskusi kalangan intelektual, pemerhati politik-media, apalagi di media massa televisi. Seperti apa relasi media dengan hajatan lima tahunan baik secara teori maupun dalam panggung realitas politik kontemporer.

Jika membaca logika publik akhir-akhir ini, masyarakat sesungguhnya memberi perhatian pada penggunaan media massa dalam menyampaikan pesan-pesan politik jelang awal tahun depan.

Itu karena saluran media digunakan sebagai sarana kampanye baik yang akan dilakukan pada masa kampanye di media massa pada 29 Januari-11 Februari 2017, maupun adanya kalangan tertentu yang secara eksplisit maupun implisit telah melakukan pesan-pesan politik melalui channel media massa.

Dalam konteks itu, pertanyaan penting diajukan bagaimana posisi media dalam peta politik Pilkada. Bagaimana jurnalis menjalankan tugas profesinya sebagai wartawan yang objektif di tengah lingkungan media yang memiliki afiliasi dengan kepentingan partai politik? Dapatkah idealisme jurnalis terbebas dari kepentingan-kepentingan politik praktis?

Posisi Media
Di era kebebasan pers, memang tak ada larangan bagi jurnalis meliput kegiatan politik partai tertentu. Namun posisi media harus jelas dalam arus politik Pilkada.

Apakah media itu secara terbuka turut menjadi sarana politik praktis karena kedekatan calon pemimpin daerah dengan media. Atau media memainkan peran berada di balik layar teater politik Pilkada. Mungkinkan media bersikap netral atau justru berpihak kepada kelompok tertentu.

Sekadar mengingatkan saja, sesungguhnya media massa tidak boleh bersikap partisan, apalagi hanya mementingkan golongan tertentu. Dengan kata lain, media harus independen meskipun mereka memiliki kedekatan dengan pasangan calon Pilkada.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Hari Pers Nasional 2013 di Manado sempat memberikan sindiran agar pers tetap di rel ideal, yakni mampu menjaga independensi dan memberi pencerahan kepada rakyat. Pers milik rakyat bukan milik kepentingan atau kelompok tertentu.

Oleh karena itu, dibutuhkan prinsip-prinsip dasar yang perlu mendapat perhatian, yakni (1) kebebasan dan independensi. (2) keterlibatan dan solidaritas. (3) Keanekaragaman dan akses. (4) Objektivitas dan kualitas informasi. (McQuail, 1987: 125).

Menjelang tahun politik Pilkada, independensi media; radio, koran, TV, majalah, media online, dan media sosial harusnya dapat dijaga dari pengaruh maupun bias-bias politik praktis. Terlebih lagi televisi yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat. Pers khususnya televisi menggunakan ranah publik (publik domain) sehingga kepentingan individu dan golongan ditanggalkan dengan mengutamakan kepentingan bersama.

Secara normati-regulatif independensi Lembaga Penyiaran sesungguhnya diatur dengan jelas. Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI khususnya Pasal (2) Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Ayat (3) Lembaga penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Ayat (4) Lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan program siaran yang dibiayai atau disponsori oleh peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Sementara itu dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) terutama Pasal (1) Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Bill Kovach & Tom Rosenstiel dalam 9 Elemen Jurnalisme (2006) menjelaskan posisi jurnalis yang tetap harus dijaga. Di antaranya: Kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian kebenaran, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.

Jurnalis menjaga indepedensi dari objek liputanya, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi, jurnalis harus berusaha membuat hal yang penting menjdi menarik dan relevan.

Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan jurnalis harus diperbolehkan untuk mendengarkan hati nurani pribadinya

Posisi media dan jurnalis tidak partisan dalam konteks kontestasi politik. Jelas sekali, rambu-rambu regulatif-etis sebagai pegangan teguh insan media. Inilah tantangan penyebaran informasi Pilkada, yakni bagaimana menjaga independensi, netralitas, proporsionalitas, objektivitas, dan akurasi informasi politik.

Spirit Demokrasi
Secara ideal maupun praktis, posisi media pada tahun-tahun politik sejatinya media tidak terjebak pada kepentingan pribadi atau golongan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dan bangsa. Sebagai pilar demokrasi keempat, media dalam momen Pilkada punya andil menjaga spirit demokrasi.

Apa makna media sebagai pilar demokrasi, media berperan sebagai penyeimbang (checks and balances) agar pihak yang berkontestasi dapat on the track. Di sinilah media meminjam istilah Cater, media sebagai The Fourth Branch of Government—menemukan momentumnya.

Dengan demikian media turut memberi pendidikan politik serta mendewasakan masyarakat ke arah demokrasi subtansial melalui saluran Pilkada. Media mendorong praktek demokrasi yang tidak saja prosedural, namun juga membangun kesadaran serta partisipasi publik akan arti penting pesta demokrasi: Pilkada. Catatannya, independensi media dikedepankan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0685 seconds (0.1#10.140)