Abu Batu Bara, Cinderella yang Tak Dirindukan

Rabu, 14 Desember 2016 - 13:02 WIB
Abu Batu Bara, Cinderella...
Abu Batu Bara, Cinderella yang Tak Dirindukan
A A A
dr Eng Januarti Jaya Ekaputri, ST, MT
Peneliti/Dosen ITS

INI adalah kenyataan masa kini, bukan kisah dongeng masa lalu. Pada 2015, Presiden Jokowi mencanangkan target pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt dalam lima tahun.

Kebijakan ini dibuat untuk mengimbangi pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tidak terjadi krisis listrik. Khususnya pada 2024, diperlukan kapasitas listrik secara nasional minimal 70.000 MW.

Data dari PLN menunjukkan bahwa akhir 2024, tidak kurang dari 60% pembangkit tenaga listrik yang dibangun untuk keperluan itu menggunakan energi batu bara (PLTU). Batu bara tampaknya tetap akan menjadi andalan energi Indonesia, negeri cantik yang sebetulnya dikaruniai limpahan cahaya matahari, panas bumi, sumber air, dan angin.

Jika berbicara tentang pembakaran batu bara untuk menghasilkan uap, selalu saja ada permasalahan dengan limbahnya. Komposisi limbah ini, baik berupa abu yang terbang ke udara maupun yang menumpuk di dasar tanur, sedikitnya 5% dari berat batu bara yang terbakar.

Jika dibiarkan begitu saja, diprediksi pada 2024 sedikitnya 17 juta ton per tahun, abu batu bara akan menumpuk di area sekitar PLTU. Tentu saja ini menimbulkan masalah baru yang tidak kalah rumitnya, yaitu pencemaran lingkungan karena jumlahnya luar biasa banyak.

Berdasarkan PP Nomor 101/2014, bahan yang terdiri atas abu terbang (flu ash) dan abu dasar (bottom ash) dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3). Hal ini jelas akan memerlukan izin khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam mengatasi pengelolaan abu batu bara. Limbah ini tidak boleh langsung bersentuhan dengan sumber mata air dan tanah, ditumpuk dalam waktu lama, dipindah-pindahkan dan diolah tanpa kontrol yang ketat.

Walaupun demikian, hasil penelitian di Indonesia ataupun di berbagai negara sebetulnya menunjukkan bahwa abu batu bara tidak mengandung bahan racun yang mematikan makhluk hidup. Pertanian di Jepang, misalnya, menggunakan abu batu bara untuk pupuk di sawah.

Saat ini Jepang menduduki peringkat pertama dalam daftar pengolah limbah batu bara dengan tingkat pemanfaatan 96%. Di India, Amerika, Korea, Australia, dan China, bahan ini tidak dinyatakan sebagai limbah berbahaya, tetapi sebagai limbah khusus yang terkontrol penggunaannya.

Fakta lain menunjukkan bahwa limbah batu bara memiliki banyak potensi karena keunggulan karakternya. Selain sebagai pupuk, di negara lain, material ini dimanfaatkan sebagai bahan dasar perkerasan jalan raya, bahan stabilisasi tanah, pasir buatan, bahan campuran semen, dan bahan beton padat maupun beton ringan.

Sayang sekali, di Indonesia hanya fly ash yang dimanfaatkan dalam industri semen, itu pun maksimal hanya mengganti 20% berat semen. Sisa yang tidak dimanfaatkan, termasuk bottom ash akan terus menjadi masalah, ke mana lagi harus ditumpuk, sedangkan lahan sudah semakin terbatas.

Saya jadi teringat kisah Cinderella yang konon berasal dari kata cinder atau terak. Alkisah Cinderella, Si Upik Abu yang lusuh akhirnya bisa menjadi cantik dan hidup bahagia. Si Upik Abu menemukan manajer bernama Ibu Peri yang bisa menata dan menampilkan Cinderella sehingga tampil mencengangkan banyak orang.

Sebaliknya, abu batu bara di negeri ini bagaikan kisah Cinderella yang tidak akan pernah berakhir bahagia. Meskipun punya keutamaan, tidak bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena dianggap beracun, tidak disukai dan akhirnya tidak ada yang meminang apalagi memperebutkan.

Bukannya tidak ada upaya untuk mengurangi limbah ini. Para peneliti di Indonesia sudah banyak yang menyampaikan hasil riset yang luar biasa bagus.

Masalahnya, bagaimana mengaplikasikan hasil penelitian di laboratorium ke skala industri. Banyak industri yang enggan memanfaatkan hasil riset karena terkendala label B3 pada abu batu bara.

Upaya pemanfaatan abu batu bara di skala laboratorium sejak 2005 di Indonesia bahkan menunjukkan bahwa fly ash bisa menggantikan semen 100%, tidak hanya 20% seperti yang selama ini diaplikasikan pada industri beton. Teknologi ini dikenal dengan sebutan geopolimer, material berbahan dasar silika dan alumina.

Sifat-sifat baik yang dimiliki oleh fly ash menghasilkan beton yang tahan terhadap serangan asam dan garam serta mempunyai keawetan lebih baik dibandingkan beton konvensional. Hasil riset bahkan menunjukkan beton geopolimer tahan terhadap api sehingga bisa digunakan sebagai bahan pelapis bangunan yang rawan kebakaran. Di China, percobaan beton geopolimer dilakukan dengan uji ledakan untuk aplikasi struktur pelindung antibakar dan antiterorisme.

Di Malaysia, riset skala laboratorium menunjukkan bahwa bahan geopolimer bisa dimanfaatkan untuk melapisi bagian dalam pesawat. Di Korea, sejak 1998, pemerintahnya merekomendasi penggunaan silika sebagai tambahan pupuk untuk tanaman padi.

Silika ini bisa mengurangi penggunaan tambahan pupuk N pada tanaman. Sebagai alternatif sumber silika, kombinasi antara fly ash dan gipsum memberikan peningkatan panen 0,5 ton per hektare.

Di Australia, pemanfaatan abu batu bara sejak 2010 telah mencapai lebih dari 55%. Sebagian besar dimanfaatkan untuk campuran semen dalam beton, pengisi dalam beton, agregat buatan, remediasi tanah bekas tambang, bahan dasar perkerasan jalan, dan pupuk tanaman produktif. Oleh Zeobond Group yang dimotori oleh Prof Van Deventer, beton geopolimer sebagai bahan pengganti 100% semen Portland telah diaplikasikan untuk jalan tol dan bangunan gedung.

Di Indonesia, total pemanfaatan fly ash hingga 2016 masih di bawah 20%. Sisa fly ash dan bottom ash masih menumpuk di lapangan, bahkan dilaporkan bahwa pemanfaatan abu batu bara di Pulau Sulawesi sangat kecil sehingga dianggap nol.

Diawali dari Kampus ITS, sejak 2005 telah dimulai riset bertopik geopolimer yang memanfaatkan fly ash dari berbagai PLTU di Indonesia. Pada 2016 ini, paving geopolimer pertama kali bisa diproduksi di skala industri dalam lingkungan laboratorium. Hasil inovasi ini telah diakui lembaga inovasi dunia (World Invention and Intellectual Property Associations) di Tokyo, Agustus 2016.

Dengan menggunakan fly ash berkualitas, kuat tekan paving geopolimer (GEOPAV) yang tercapai di umur tujuh hari adalah 500 kg/cm2 dengan kuat tekan maksimal 600 kg/cm2 di umur 28 hari. Dengan harga yang bersaing dengan harga paving konvensional, tentu saja ada titik terang pemanfaatan abu batu bara ke skala besar. Sekarang, hasil penelitian ini seakan-akan bagaikan Cinderella menunggu pangeran tampannya datang meminang.

Abu batu bara di beberapa negara sudah jadi primadona. Di Indonesia, sepertinya diperlukan mak comblang untuk mempertemukan Cinderella dengan pangeran impiannya.

Label B3 yang diberikan untuk limbah ini ternyata membuat Si Upik Abu masih terlihat sangat buruk rupa. Saya berharap pemerintah melalui Kementerian ESDM dan Kementerian Ristek-Dikti dapat menjadi perantara ini. Selain itu, tampaknya KLHK adalah satu-satunya ibu peri yang mampu mengantarkan abu batu bara menjadi primadona Indonesia.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0804 seconds (0.1#10.140)