Muhammad, Kemajemukan, dan Ijmak Keindonesiaan

Selasa, 13 Desember 2016 - 16:32 WIB
Muhammad, Kemajemukan, dan Ijmak Keindonesiaan
Muhammad, Kemajemukan, dan Ijmak Keindonesiaan
A A A
Jazilul Fawaid
Ketua Kornas Nusantara Mengaji, Ketum Ikatan Alumni PTIQ Jakarta

SENIN, 12 Desember, bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1438 H adalah momentum spesial bagi umat Islam di seluruh dunia. Betapa tidak di hari itulah kita laik menumpahkan segenap sukacita sebagai wujud atas telah dilahirkannya seorang utusan, panutan, juga pembawa misi kenabian yaitu Kanjeng Rasul Muhammad SAW.

Kelahiran Muhammad SAW yang lazim disebut dengan Maulid Nabi merupakan salah satu tonggak kita, umat muslim, untuk selalu berintrospeksi diri, bermuhasabah, dan selalu metani segenap perbuatan yang telah kita lakukan di muka bumi ini, terutama terkait kesalahan-kesalahan yang terus membalut hari-hari kita dewasa ini.

Empat Karakter
Sifat Muhammad SAW itu paten hierarki dan urutannya shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah . Kejujuran menempati posisi pertama. Untuk menjadi manusia yang manusiawi, pertama kali yang harus dipenuhi adalah sifat kejujuran. Kejujuran adalah fondasi utama dalam menjalani kehidupan.

Jika manusia sudah bisa mengamalkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari, tahapan selanjutnya adalah amanah. Amanah adalah sikap untuk selalu bisa dipercaya. Jika dia diberi kepercayaan, dengan sepenuh hati dia akan menjaganya apa pun risikonya. Dalam konteks kekinian, kita bisa mendapatkan banyak contoh bahwa sikap amanah ini sudah sangat jarang bisa ditemui. Sikap amanah menjadi semacam barang yang boleh dikatakan langka ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Jack Snyder (2000) mengatakan bahwa erosi amanah ini menjadi semakin mengkristal saat kehidupan memasuki dunia digital. Ada semacam distrust syndrome. Virus saling tidak percaya satu sama lain.

Hal itu terbukti dengan banyak cacian dan makian yang meluber di media sosial. Pengguna media sosial sekarang bahkan sudah tidak mengenal lagi sopan santun sehingga sebagaimana yang kita saksikan dalam kejadian seorang anak muda mencaci maki ulama atau kiai panutan.

Setelah manusia tersebut bisa diberi amanah, ia baru boleh untuk menjadi "penyampai". Dia baru boleh menjadi juru dakwah. Dalam lanskap yang lebih luas makna penyampai atau tabligh ini bukan tersekat sebatas soal agama, namun kecuali itu termasuk juga urusan-urusan kehidupan sehari-hari.

Jika orang sudah jujur, amanah, berita yang akan disampaikan pun tidak akan pernah ngawur dan mengandung unsur gosip apalagi kebohongan. Apa yang kita sebut sebagai berita hoax sesungguhnya tidak akan pernah terjadi jika kualifikasi manusianya adalah kualifikasi manusia yang memiliki karakter jujur, amanah, tabligh, baru kemudian cerdas sebagai urutan terakhir.

Sekali lagi, manusia yang paripurna adalah dia harus jujur terlebih dahulu, baru kemudian dipungkasi dengan kecerdasan. Urutannya tegas. Jika kemudian terdapat seseorang yang mempunyai etos dan paradigma hidup yang terbalik semisal kecerdasannya didahulukan, bisa dipastikan ia akan sulit untuk memenuhi nilai-nilai kejujuran. Kejujuran itu persoalan naluri hati, sedangkan kecerdasan adalah soal intelegensi, akal.

Konseptor Negara Majemuk
Alquran mengatakan innamal mu’minuna ihkwatun, faashlihu baina kahowaikum wattaqullah laallakum tattaqun. Sesungguhnya sesama mukmin adalah saudara. Maka saling berbuat baiklah di antara saudaramu dan bertakwalah supaya kalian termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung.

Ayat di atas sangat relevan untuk dijadikan referensi bagaimana membangun kemajemukan menjadi sebuah energi untuk mencapai kemajuan bersama. Utamanya menyangkut konteks kebinekaan Indonesia yang belakangan tak henti-hentinya dikoyak oleh usaha-usaha yang sistematis dan terstruktur.

Khalil Ahmad (1987) mengatakan bahwa ada tiga jenis persaudaraan. Pertama, ukhuwwah diniyyah atau ukhuwwah islamiyyah. Persaudaraan yang menjadikan kepercayaan, keyakinan, dan agama sebagai basis dari sikap dan tindakan kepada sesamanya.

Kedua, ukhuwwah wathoniyyah. Persaudaraan kebangsaan. Persaudaraan jenis ini lebih mengedepankan nilai-nilai kebangsaan sebagai pijakan untuk bahu-membahu dalam bersaudara. Dunia modern mengenal konsep ukhuwwah wathoniyyah sebagai nasionalisme. Rasa cinta kepada bangsa dan segenap unsur yang ada di dalamnya.

Ketiga, ukhuwwah insaniyyah. Persaudaraan kemanusiaan. Persaudaraan ini adalah persaudaraan yang paling mendasar sebab yang dijadikan landasan utama adalah kemanusiaan. Kemanusiaan atau humanity adalah nilai paling dasar yang dijadikan sebagai pijakan dalam setiap tindakan yang diambil.

Sangat penting untuk dikemukakan bahwa, meminjam Khalil Ahmad, sebetulnya jika ada yang mengatakan bahwa ukhuwwah insaniyyah itu sama dengan ukhuwwah basyariyah, hal tersebut bisa dipastikan adalah kekeliruan dalam memahami sebuah konsep. Ukhuwwah insaniyah itu lebih kepada sifat kemanusiaan, sedang ukhuwwah basyariah itu lebih didominasi oleh kesamaan kulit (ras). Ukhuwah basyariah diambil dari kata basyar yang artinya adalah kulit. Maka itu, sama sekali beda antara ukhuwwah insyaniyyah dengan ukhuwwah basyariah.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia dewasa ini? Tenunan kebinekaan bangsa kita beberapa kali terancam, terkoyak. Banyak pihak yang secara serius menginginkan agar Indonesia terpecah.

Namun, kecuali itu semuanya, pada kenyataannya sampai saat ini kita masih bisa berdiri kokoh. Persaudaraan sesama anak bangsa, terutama persaudaraan kemanusiaan, bisa berdiri di atas persaudaraan antaragama. Inilah resep rahasia tetap berdiri kokohnya NKRI. Hal itulah sesungguhnya yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW saat mendirikan negara Madinah.

Nabi Muhammad tidak membangun fanatisme kesukuan. Nabi Muhammad tidak membangun fanatisme keyakinan. Namun, Nabi Muhammad membangun negara yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang berdiri tegak di atas kemajemukan. Demikian pulalah seharusnya kita mengambil teladan agar tegak dalam ijmak keindonesiaan. Selamat Maulid Nabi Muhammad SAW.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.2173 seconds (0.1#10.140)