Aktualisasi Keteladanan Nabi
A
A
A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
NABI Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang “dilantik” Allah SWT menjadi rasul-Nya untuk menjadi teladan terbaik (role model) bagi kehidupan manusia. Dalam memaknai maulid (hari kelahiran) beliau, yang terpenting bukan upacaranya karena itu hanya “bungkus” belaka, melainkan spirit dan substansi pencerahan moral, mental, dan spiritual beliau sebagai pemimpin teladan sepanjang masa.
Memperingati maulid Nabi juga bukan untuk mengultuskan beliau, karena pengultusan itu dilarang, melainkan menumbuhkan rasa cinta kepadanya dalam rangka meneguhkan spirit dan komitmen spiritual. Dengan cinta Nabi, umat Islam memiliki apresiasi tinggi untuk selalu meneladani dan memperjuangkan visi dan misi profetiknya, yaitu membumikan Islam rahmatan lil rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta raya).
Agenda utama kenabiannya adalah meluruskan akidah masyarakatnya yang rusak dan memperbaiki akhlak kaumnya yang sudah biadab.
Keteladanan profetik Nabi dapat ditelusuri dari sirah beliau (perjalanan hidup dan rekam jejaknya), sejak lahir hingga diangkat menjadi nabi dan rasul. Sebagai pemimpin umat dan dunia, jejak rekam moral beliau sangat jelas.
Sejak kecil, Nabi dikenal sebagai pribadi jujur, bersih, sederhana, pemberani, dan berhati mulia. Beliau mampu menjaga kehormatan dirinya di tengah arus budaya jahiliah yang membiadabkan tatanan kehidupan masyarakat saat itu.
Substansi maulid Nabi adalah kelahiran seorang pemimpin pembangun peradaban, bukan sekadar pembangun masyarakat dan bangsa. Keteladanan profetik beliau dalam membangun peradaban sungguh relevan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di saat bangsa dan masyarakat dunia pada umumnya mengalami krisis keteladanan.
Sebagai warga bangsa, kita merasa prihatin karena banyak dari anggota legislatif maupun eksekutif yang miskin keteladanan dan prestasi, tetapi kaya intrik politik dan keserakahan. Lalu, bagaimana umat dan warga bangsa ini mengaktualisasikan keteladanan profetik beliau dalam kehidupan?
Kesalehan Multidimensi
Setidaknya, ada empat kesalehan yang perlu dimiliki dan dikembangkan warga bangsa ini agar bisa meneladani keluhuran akhlak beliau. Pertama, kesalehan niat (shalih an-niyyat). Dalam bahasa psikologi dan politik, kita perlu memiliki kemauan kuat untuk mencontoh dan mengikuti mindset (pola pikir), pola komunikasi, pola sikap dan perbuatan, dan pola hidup beliau.
Kedua, kesalehan dalam mematuhi aturan hukum (shalih as-syarishalih as-syariat). Beliau tidak pernah “menelan ludahnya” sendiri. Apa yang telah ditetapkan ditaatinya, bahkan beliaulah yang terdepan dalam memberi contoh penegakan hukum. Sedemikian hebat ketaatannya, sehingga beliau memberi “keteladanan plus” yang melebihi apa yang dibebankan kepada umatnya.
Ketiga, kesalehan dalam mencapai tujuan yang baik dan benar (shalih al-ghayat). Ketika hendak berhijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa “Kinerja itu ditentukan oleh niatnya. Siapa yang tujuan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju jalan Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang berhijrah karena hendak men-dapatkan perempuan untuk dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya sebatas mendapatkan apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim). Korupsi yang masih mewabah di negeri ini boleh jadi disebabkan oleh tujuan yang keliru dari para “petualang politik”.
Keempat, kesalehan dalam mengikuti prosedur dan mekanisme yang benar (shalih al-kaifiyyat wal ijrawal ijraat). Banyak orang mengambil jalan pintas karena tidak saleh dalam mengikuti prosedur dan mekanisme yang benar.
Mereka tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi kaya, meskipun mekanisme yang ditempuh itu menghalalkan segala cara. Mereka tidak tahan “menderita” di luar pemerintahan, sehingga begitu berkuasa, nafsu serakahnya dilampiaskan dengan berlomba-lomba korupsi.
Aktualisasi keteladanan profetik mengharuskan kita belajar menjadi saleh multidimensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita merindukan teladan kehidupan sejati dari Nabi.
Dalam The Art of Leadership karya Muhammad Fathi (2009) dijelaskan bahwa dalam waktu yang sangat singkat, 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah), beliau sukses mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang cerdas secara mental-spiritual, dari masyarakat paganisme yang primitif menjadi komunitas bertauhid yang madani.
Beliau juga berhasil mengubah masyarakat berkarakter kasar dan bengis menjadi berkarakter santun dan beradab. Dari masyarakat yang tidak dikenal oleh peradaban, beliau mampu menjadikan umatnya memimpin peradaban.
Rahasia di balik semua itu adalah kepemimpinan profetik beliau yang jujur, amanah, tabligh (komunikatif dan transparan), dan fathanah (cerdas dan profesional) sekaligus visi kenabiannya yang mulia, yaitu mewujudkan Islam sebagai agama rahmat dan cinta kasih bagi semua.
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ
NABI Muhammad SAW adalah manusia pilihan yang “dilantik” Allah SWT menjadi rasul-Nya untuk menjadi teladan terbaik (role model) bagi kehidupan manusia. Dalam memaknai maulid (hari kelahiran) beliau, yang terpenting bukan upacaranya karena itu hanya “bungkus” belaka, melainkan spirit dan substansi pencerahan moral, mental, dan spiritual beliau sebagai pemimpin teladan sepanjang masa.
Memperingati maulid Nabi juga bukan untuk mengultuskan beliau, karena pengultusan itu dilarang, melainkan menumbuhkan rasa cinta kepadanya dalam rangka meneguhkan spirit dan komitmen spiritual. Dengan cinta Nabi, umat Islam memiliki apresiasi tinggi untuk selalu meneladani dan memperjuangkan visi dan misi profetiknya, yaitu membumikan Islam rahmatan lil rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta raya).
Agenda utama kenabiannya adalah meluruskan akidah masyarakatnya yang rusak dan memperbaiki akhlak kaumnya yang sudah biadab.
Keteladanan profetik Nabi dapat ditelusuri dari sirah beliau (perjalanan hidup dan rekam jejaknya), sejak lahir hingga diangkat menjadi nabi dan rasul. Sebagai pemimpin umat dan dunia, jejak rekam moral beliau sangat jelas.
Sejak kecil, Nabi dikenal sebagai pribadi jujur, bersih, sederhana, pemberani, dan berhati mulia. Beliau mampu menjaga kehormatan dirinya di tengah arus budaya jahiliah yang membiadabkan tatanan kehidupan masyarakat saat itu.
Substansi maulid Nabi adalah kelahiran seorang pemimpin pembangun peradaban, bukan sekadar pembangun masyarakat dan bangsa. Keteladanan profetik beliau dalam membangun peradaban sungguh relevan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di saat bangsa dan masyarakat dunia pada umumnya mengalami krisis keteladanan.
Sebagai warga bangsa, kita merasa prihatin karena banyak dari anggota legislatif maupun eksekutif yang miskin keteladanan dan prestasi, tetapi kaya intrik politik dan keserakahan. Lalu, bagaimana umat dan warga bangsa ini mengaktualisasikan keteladanan profetik beliau dalam kehidupan?
Kesalehan Multidimensi
Setidaknya, ada empat kesalehan yang perlu dimiliki dan dikembangkan warga bangsa ini agar bisa meneladani keluhuran akhlak beliau. Pertama, kesalehan niat (shalih an-niyyat). Dalam bahasa psikologi dan politik, kita perlu memiliki kemauan kuat untuk mencontoh dan mengikuti mindset (pola pikir), pola komunikasi, pola sikap dan perbuatan, dan pola hidup beliau.
Kedua, kesalehan dalam mematuhi aturan hukum (shalih as-syarishalih as-syariat). Beliau tidak pernah “menelan ludahnya” sendiri. Apa yang telah ditetapkan ditaatinya, bahkan beliaulah yang terdepan dalam memberi contoh penegakan hukum. Sedemikian hebat ketaatannya, sehingga beliau memberi “keteladanan plus” yang melebihi apa yang dibebankan kepada umatnya.
Ketiga, kesalehan dalam mencapai tujuan yang baik dan benar (shalih al-ghayat). Ketika hendak berhijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau mengingatkan kepada para sahabatnya bahwa “Kinerja itu ditentukan oleh niatnya. Siapa yang tujuan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju jalan Allah dan Rasul-Nya.
Siapa yang berhijrah karena hendak men-dapatkan perempuan untuk dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya sebatas mendapatkan apa yang ditujunya.” (HR Bukhari dan Muslim). Korupsi yang masih mewabah di negeri ini boleh jadi disebabkan oleh tujuan yang keliru dari para “petualang politik”.
Keempat, kesalehan dalam mengikuti prosedur dan mekanisme yang benar (shalih al-kaifiyyat wal ijrawal ijraat). Banyak orang mengambil jalan pintas karena tidak saleh dalam mengikuti prosedur dan mekanisme yang benar.
Mereka tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi kaya, meskipun mekanisme yang ditempuh itu menghalalkan segala cara. Mereka tidak tahan “menderita” di luar pemerintahan, sehingga begitu berkuasa, nafsu serakahnya dilampiaskan dengan berlomba-lomba korupsi.
Aktualisasi keteladanan profetik mengharuskan kita belajar menjadi saleh multidimensi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita merindukan teladan kehidupan sejati dari Nabi.
Dalam The Art of Leadership karya Muhammad Fathi (2009) dijelaskan bahwa dalam waktu yang sangat singkat, 23 tahun (13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah), beliau sukses mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang cerdas secara mental-spiritual, dari masyarakat paganisme yang primitif menjadi komunitas bertauhid yang madani.
Beliau juga berhasil mengubah masyarakat berkarakter kasar dan bengis menjadi berkarakter santun dan beradab. Dari masyarakat yang tidak dikenal oleh peradaban, beliau mampu menjadikan umatnya memimpin peradaban.
Rahasia di balik semua itu adalah kepemimpinan profetik beliau yang jujur, amanah, tabligh (komunikatif dan transparan), dan fathanah (cerdas dan profesional) sekaligus visi kenabiannya yang mulia, yaitu mewujudkan Islam sebagai agama rahmat dan cinta kasih bagi semua.
(poe)