Hasrat Politik TNI

Kamis, 08 Desember 2016 - 08:15 WIB
Hasrat Politik TNI
Hasrat Politik TNI
A A A
Muradi
Direktur Program Pascasarjana Ilmu Politik dan Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran

DALAM kurun waktu dua bulan terakhir, agresivitas TNI terkait dinamika politik di Tanah Air mencerminkan sesuatu yang berbeda dari pola hubungan sipil-militer yang selama ini berkembang. Aksi massa yang menginginkan agar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditahan karena diduga menista agama yang berlangsung sejak pertengahan Oktober hingga awal Desember 2016. Dengan nama aksi 1410, 411, hingga 212 menjadi bagian dari agresivitas TNI dalam bentuk mengambil inisiatif untuk terlibat aktif.

Bahkan TNI, melalui panglimanya, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, menggagas acara sendiri dengan nama Parade Nusantara Bersatu yang dilaksanakan secara serentak pada 30 November 2016 di seluruh Indonesia. Langkah inilah sesungguhnya yang membuat wajah TNI tampak agresif dari biasanya, karena pada acara tersebut personel TNI secara aktif dikerahkan untuk menghadiri acara tersebut dan membaur dengan masyarakat yang berdatangan dari berbagai instansi.

Skema hubungan sipil militer yang selama ini menjadi pakem dalam menata kelola TNI yang profesional kemudian sedikit banyak tergerus oleh acara yang digagas panglima TNI tersebut.

Ada dua alasan mengapa kemudian acara tersebut menjadi titik masuk TNI dalam politik praktis sebagaimana yang tergambar dalam acara Parade Nusantara Bersatu. Pertama, pengerahan personel TNI dalam acara terkait politik praktis baru terjadi kembali sejak Peristiwa 17 Oktober 1952.

Hal ini mengindikasikan bahwa langkah tersebut secara sadar ingin melibatkan TNI dalam politik praktis. Bahkan di masa Orde Baru saja pengerahan anggota TNI aktif dalam aktivitas politik disamarkan melalui jalur birokrasi dan Golkar sebagaimana dalam trisula politik Orde Baru, yakni: ABRI, birokrasi, dan Golkar (ABG).

Kedua, pemanfaatan sejumlah momentum politik terkait dengan dinamika politik oleh TNI, dalam hal ini oleh Panglima TNI, mencerminkan bahwa praktik politik yang tengah dilakukan bukan politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami selama ini, tapi sudah mengarah ke politik praktis, yang mana kemudian menekankan pijakan politik TNI seolah-olah berhadap-hadapan dengan pemerintah.

Tiga kata kunci yang selama ini ditegaskan oleh Panglima TNI dalam sejumlah pernyataannya selama kurun waktu tiga bulan terakhir, yakni rakyat, kebinekaan, dan negara, namun jarang sekali menyebutkan hakikat pemerintahan yang kuat dan efektif, Pancasila, dan UUD 1945. Hal ini menguatkan dugaan sebagian publik bahwa TNI seolah membangun jarak dengan pemerintah terkait dengan tuntutan publik atas dugaan penistaan terhadap Ahok.

Dalam konteks ini, Donald S Inbody (2008) menegaskan bahwa sikap dan perasaan personel dan institusi militer menjadi bagian dari dinamika politik nasional adalah semata-mata dipengaruhi oleh sejarah militer suatu negara dan kepemimpinan di institusi militer tersebut. Dengan kata lain, meski sejarah TNI dipahami sebagai bagian dari militer yang aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan, sejak 2010 penekanan bahwa TNI adalah bagian dari institusi militer yang modern yang menegaskan hakikat tentara profesional adalah pilihan sadar internal TNI pasca-Orde Baru.

Artinya, bisa saja analisis Inbody ini mengarah kepada hasrat politik dari Panglima TNI untuk tetap berkiprah aktif dalam dinamika politik kebangsaan. Akan tetapi, meski memiliki hasrat dan keinginan politik yang lebih tinggi, akan baik juga agar pimpinan militer dalam perspektif Inbody untuk tetap memastikan bahwa politik yang terbangun bukan dalam konteks politik praktis, tapi politik kebangsaan.

Penekanan ini menjadi bagian dari tata kelola hubungan sipil-militer yang efektif dan objektif. Jika tidak, Inbody menegaskan bahwa seyogianya para pemimpin militer yang merasa mampu secara politik untuk segera pensiun dan melepaskan atribut kemiliterannya untuk turun penuh dalam politik praktis. Hal ini dilakukan agar secara institusi militernya tidak terganggu oleh manuver dan hasrat politik para pemimpinnya dan fokus pada penguatan kelembagaan dan profesionalisme militer.

Karena itu, seyogianya hasrat politik TNI harus ditempatkan pada konteks kebangsaan. Menjadi membingungkan publik jika hasrat politik tersebut kemudian menegasikan pula hakikat TNI sebagai tentara pejuang yang profesional, namun beririsan dengan kepentingan sejumlah ormas yang selama ini menyuarakan semangat anti-Pancasila dan mereduksi keberadaan NKRI dengan kampanye kekhalifahan.

Karenanya, semangat menjaga keutuhan NKRI, Pancasila dan UUD 1945 dan kebinekaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan menegaskan keberadaan dari pemerintahan yang sedang berjalan dan memastikan bahwa pemerintah yang bekerja adalah satu-satunya cara untuk memperkuat NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika sebagai satu kesatuan yang utuh, di mana TNI menjadi salah satu garda terdepan untuk memastikannya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8493 seconds (0.1#10.140)