Komitmen Kesetiaan TNI

Sabtu, 26 November 2016 - 08:49 WIB
Komitmen Kesetiaan TNI
Komitmen Kesetiaan TNI
A A A
Sabartain Simatupang
Akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan Alumnus Magister KSKN UI

PASCA-aksi Demo 411 yang lalu, Presiden Jokowi melontarkan isu "aktor politik yang menunggangi timbulnya ekses rusuh di akhir demo". Timbul sikap reaktif dari berbagai politikus menanggapi tuduhan ini. Lalu di media sosial juga tidak ketinggalan disebarkan rumor politik provokatif.

Menarik kemudian Presiden melakukan berbagai safari politik ke berbagai pihak, termasuk ke markas TNI. Beliau merasa ada pihak tertentu semakin memanaskan situasi politik.

Muncul pula isu "pergantian Panglima TNI dan penggulingan pemerintah" yang mencoba membenturkan Presiden dan TNI. Malahan terakhir pihak Mabes Polri melansir sinyalemen "kemungkinan makar" pada rencana demo lanjutan pada 25 November atau 2 Desember.

Perlu dicatat sepanjang dua tahun terakhir banyak isu politik yang dialamatkan kepada TNI. Mulai dari komitmennya terhadap pemerintahan Jokowi-JK, profesionalisme prajurit, sikapnya terhadap upaya mengatasi teror, isu kembali berpolitik dalam revisi UU Pilkada, polemik Panglima TNI dengan anggota DPR, sampai kepada isu "kemungkinan kudeta" yang disinyalir di berbagai media.

Pertanyaannya apakah TNI akan melakukan tindakan "kudeta" (pengambilalihan kekuasaan secara paksa) di negara ini bila kondisi keamanan nasional chaos akibat pemerintah gagal untuk mengatasinya? Apakah mungkin elite politik sipil yang menentang Presiden akan "memanfaatkan" TNI menggulingkan pemerintah?

Uraian berikut berupaya memberikan penjelasan yang proporsional dan objektif agar keberadaan dan komitmen TNI kepada negara, pemerintahan, dan bangsa ini tidak dibiaskan pada interpretasi yang kurang tepat.

Kesetiaan TNI kepada Negara
Reformasi internal TNI yang dilaksanakan hampir dua dasawarsa ini secara faktual sudah banyak merespons dinamika tuntutan masyarakat. Saat ini pihak TNI masih terus berupaya melanjutkannya secara bertahap, meliputi baik aspek struktural maupun kultural. Upaya gradual ini bertujuan mewujudkan postur TNI yang solid, andal, dan profesional.

Reformasi aspek struktural sudah dilaksanakan melalui pembenahan organisasi, doktrin, pendidikan dan pelatihan serta pemenuhan kesejahteraan prajurit. Meski demikian harus jujur diakui reformasi struktural sulit diwujudkan secara optimal bila tidak didukung reformasi kultural.

Dengan demikian setelah reformasi internalnya berhasil diwujudkan, seyogianya sudah menjadi konsensus nasional bahwa "TNI tidak akan pernah berpolitik kembali" seperti di masa Orde Baru. Dalam implementasi di lapangan sesungguhnya TNI secara kelembagaan telah menunjukkan kerelaan dan konsistensinya melaksanakan kebijakan "tidak berpolitik praktis" tersebut sampai sekarang ini.

Oleh karena itulah sesungguhnya isu yang dikemukakan oleh berbagai pihak perlu diletakkan pada paradigma dan kepentingan nasional tersebut. Termasuk dalam menanggapi rumor-rumor politik yang "memanasi" Panglima TNI pasca-aksi Demo 411 yang sempat rusuh.

Dalam kaitan ini, komitmen Presiden Jokowi dan DPR untuk mendorong "agar TNI benar-benar tidak berpolitik praktis lagi sehingga tidak memihak (netral)" perlu diangkat kembali. Hal krusial bagi TNI untuk meningkatkan keseriusannya menjaga komitmen ini antara lain dengan pembuktian konsistensi "netralitas politik TNI" dalam setiap pemilu dan pilkada.

Pembuktian ini jelas bermanfaat bagi pemahaman transisi kekuasaan dalam setiap pergantian pemerintahan di negara kita. Demikian juga pembuktiannya dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok dan rivalitasnya dalam Pilkada DKI (apalagi salah seorang kandidat pesaingnya mantan perwira menengah TNI).

Penekanan yang mengharuskan "netralitas politik TNI" ini merupakan penjabaran doktrin TNI untuk selalu bersikap yuridis konstitusional dan lebih mengutamakan kepentingan nasional pada setiap suksesi pemerintahan.

Sepanjang sejarah perkembangannya, TNI secara kultural selama ini dinilai tidak memiliki "tradisi kudeta". Karena sesuai dengan doktrinnya (Sumpah Prajurit dan Sapta Marga), TNI didirikan oleh the founding fathers-nya agar tetap setia pada ideologi Pancasila, konstitusi, dan pemerintahan yang konstitusional.

Ujian sejarah ini telah dibuktikan oleh pimpinan TNI dalam beberapa periode masa pemerintahan. Meskipun dalam beberapa dekade pemerintahan Orde Baru TNI sempat "terpolitisasi" dari koridor doktrinnya, ternyata naluri berpolitik para perwira tidak sampai tergoda pada "upaya kudeta".

Malahan terbukti di akhir pemerintahan Orde Baru dan di masa awal pemerintahan era Reformasi, TNI tidak "tergoda" menggunakan peluang yang ada untuk melakukannya (menyikapi kasus lengsernya Presiden Suharto dan Presiden Abdurrahmad Wahid).

Terakhir Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dihadapkan kembali dengan panggilan tugas bersejarah dalam ketegasannya mengantisipasi keamanan DKI Jakarta pada saat aksi Demo 411. Dalam acara talkshow di salah satu stasiun televisi 3 November malam Panglima TNI dengan gamblang menegaskan bahwa "TNI menjadi garda terdepan" untuk menindak siapa pun yang bertindak anarkistis pada saat demo tersebut.

Dalam kesempatan ini beliau juga menandaskan bahwa prajurit TNI adalah patriot sejati yang setia kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan benteng terakhir bagi keutuhan NKRI. Keteguhan komitmen TNI ini tentunya sangatlah tepat, baik secara doktrinal ideologis maupun secara yuridis konstitusional.

Hanya saja dalam menyikapi "blunder politik" yang memanas setelahnya, Panglima TNI tertantang untuk secara tepat dan hati-hati memosisikan TNI pada koridor doktrin dan jati dirinya serta komitmen awal pendirian TNI.

Khusus dalam menyikapi isu "kudeta", baik yang dituduhkan kepada elite politik sipil (mungkin saja "bersikap kritis dan antipati" terhadap pemerintahan sekarang) maupun yang dibiaskan kepada TNI, perlu adanya tanggapan dan sikap yang arif dari Panglima TNI.

TNI secara kelembagaan harus menyadari dirinya bukanlah "alat pemerintahan/partai yang berkuasa" (dengan dukungan koalisi politik yang pragmatis dan spekulatif), tetapi secara ideologis dan yuridis konstitusional sedari awal pendiriannya TNI merupakan "alat negara" yang implementasinya dalam konteks kontrol demokratik oleh supremasi sipil. Pembuktian konsistensi sikap ini bertumpu pada sikap "kenegarawanan" para pemimpin TNI untuk tegas menolak "kudeta".

Kearifan Semua Pihak
Kebijakan pemerintah tentang reformasi internal TNI yang menegaskan "agar TNI tidak berpolitik" secara konsepsional hendaknya dipahami dalam konteks penataan hubungan sipil-militer dalam suatu negara demokrasi.

Dalam hal ini Samuel P Huntington (1957) menegaskan perlu kontrol sipil yang objektif (objective civilian control) dengan mensyaratkan secara seimbang antara "minimalisasi intervensi militer dalam politik" dan "minimalisasi intervensi politik dalam militer". Oleh karena itu untuk tetap menjaga "netralitas TNI dalam pelaksanaan pilkada/pemilu" berikutnya, harus diawali dari komitmen politisi di DPR untuk tidak menggiring "TNI masuk ke dalam kancah politik praktis".

Adanya ulasan berbagai pihak yang tendensius pada "keberadaan TNI" yang seolah-olah masih berpotensi "kembali berpolitik" atau "tidak netral" sesungguhnya perlu disikapi dengan arif oleh semua pihak. Justru yang dikhawatirkan penulis adalah kemungkinan bila elite politik sipil terlalu jauh bisa "merusak" soliditas TNI dengan menjerumuskannya pada "pemihakan atau penggulingan kekuasaan pemerintah yang sah secara yuridis konstitusional".

Oleh karena itu komitmen TNI untuk "tetap netral dalam pelaksanaan pemilu/pilkada" hendaknya agar didukung secara objektif oleh para aktivis LSM/akademis/politisi. Janganlah sikap-sikap yang selalu apriori dari sebagian pihak sampai membuat opini masyarakat menjadi bias terhadap iktikad TNI dalam mereformasi dirinya.

Dengan kata lain perlu ditandaskan di sini bahwa keberhasilan kebijakan reformasi internal TNI tergantung pada kontrol objektif dari semua pihak. Pertama, adanya iktikad internal TNI untuk tetap melanjutkan upaya penuntasan reformasi kultural TNI secara kondusif bagi penegakan supremasi sipil yang demokratis. Kedua, adanya sikap yang arif dan konsisten dari penguatan otoritas sipil yang benar-benar "demokratis, tidak korup, dan menjunjung tinggi hukum" sesuai dengan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945.

Harapan kita ke depan adalah bahwa kekhawatiran akan kemungkinan "upaya kudeta" yang tidak konstitusional dan demokratis tidak akan pernah terjadi dalam tradisi TNI untuk mengawal kondisi stabilitas keamanan nasional dan proses demokrasi di Indonesia. Semoga!
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0664 seconds (0.1#10.140)