Agama, Idealitas, dan Realitas

Jum'at, 18 November 2016 - 07:49 WIB
Agama, Idealitas, dan...
Agama, Idealitas, dan Realitas
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat

PADA tataran idealitas dan konsep, semua agama itu bagus, indah, dan menarik dibicarakan. Misalnya ketika mendiskusikan hubungan antarsesama manusia.

Dikatakan seseorang tidaklah sempurna imannya jika tak menghormati tetangganya. Seseorang tidaklah sempurna imannya jika tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya dibiarkan lapar. Jika tidak mampu berbicara yang baik, diam adalah sikap terbaik.

Janganlah mudah percaya dan menyebarkan berita tentang keburukan seseorang, siapa tahu itu fitnah belaka. Sesama orang beriman itu saudara, janganlah bertikai. Demikianlah, banyak sekali ajaran agama yang tertuang dalam Alquran maupun sabda Rasul menyangkut etika sosial. Itu semua merupakan ajaran normatif, sebuah idealitas yang selalu dikhotbahkan dalam berbagai kesempatan.

Semua ajaran agama yang diyakini berasal dari Allah kenyataannya sulit untuk mengelak dari intervensi dan penafsiran para ulama serta pemeluknya ketika membumi dan masuk ranah sejarah.

Misalnya kitab suci Alquran, ketika menjangkau komunitas di luar tanah Arab, harus dilakukan penerjemahan. Sebuah karya penerjemahan pasti mengalami deviasi, pemiskinan atau kira-kira. Ini beralasan karena banyak diksi Alquran yang tidak memiliki padanan dalam bahasa lain, terlebih bahasa Indonesia yang tidak sekaya bahasa Arab atau Inggris.

Andaikan seseorang paham dan mendalami ajaran agama, tidak mungkin dia bisa menampung dan melaksanakan sepenuhnya ajaran agamanya. Jadi antara idealitas dan realitas sebuah agama selalu terdapat jarak.

Yang ideal selalu indah dibicarakan dan mudah dibela, bahkan dalam konteks ini agama tak membutuhkan pembelaan manusia karena Allah sendiri yang akan menjaganya dan mengingat ajarannya yang sudah bagus, apanya yang mau dibela?

Pembelaan terhadap eksistensi Islam yang fenomenal adalah pada masa-masa pembentukan awal (formative period), ketika proses pewahyuan belum selesai. Sementara itu umatnya masih sedikit sehingga ketika orang-orang kafir Quraish ingin membunuh benih Islam yang tengah disemai, pembelaan dengan senjata tak terelakkan lagi.

Makanya banyak ayat jihad yang berkonotasi perang membela agama meskipun secara ideal Islam diwahyukan dengan misi pembawa rahmat kasih sayang dan perdamaian bagi semesta. Alquran mengizinkan perang, tetapi Islam bukan agama mesin perang.

Bahkan Alquran juga mencela pemaksaan dalam beragama, apakah seseorang hendak memilih jalan iman atau jalan kufur, Allah memberikan kebebasan memilih dengan risiko dan konsekuensi masing-masing.

Realitas Islam yang merupakan refleksi keberagamaan umatnya pasti bercampur dengan agenda politik dan pengaruh budaya seseorang. Ini terlihat pada kenyataan betapa banyaknya aliran mazhab dan institusi sosial serta politik yang dibangun umat Islam.

Semuanya mengatasnamakan atau diasosiasikan dengan Islam, tetapi kenyataannya tidak selalu sinergis. Bahkan banyak yang terlibat konflik dan perang, padahal kedua pihak mengaku sama-sama beragama Islam. Inilah realitas Islam yang tidak seindah idealitas Islam. Islam yang menyejarah berbeda dari Islam normatif-idealistis yang ada dalam kitab sucinya.

Jadi misi Islam sebagai rahmat dan pembangun peradaban mesti dibuktikan pada realitas empiriknya. Jika kondisi umat Islam selalu disibukkan konflik dan terjerat kemiskinan serta kebodohan, logis kalau orang mempertanyakan apa keunggulan Islam? Bukankah kehebatan sebuah teori akan dilihat dalam implementasinya?

Alquran sendiri memuji kemuliaan akhlak Muhammad dan banyak orang tertarik pada Islam karena akhlak para tokoh dan umatnya. Kalau menyangkut kehebatan Islam, itu tak perlu lagi didiskusikan dan dibela. Yang mesti dibela adalah umatnya yang menyandang simbol dan label Islam, tetapi perilakunya sangat tidak Islamis.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0540 seconds (0.1#10.140)