Menebak Safari Politik Jokowi
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Politik UIN Jakarta dan
Peneliti The Political Literacy Institute
BEBERAPA waktu belakangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat sibuk melakukan safari politik dengan mendatangi sejumlah tokoh Islam dan blusukan ke institusi keamanan negara.
Setelah menyambangi Kantor NU, Muhammadiyah, dan pertemuan dengan para ulama, Jokowi kemudian melakukan kunjungan ke markas Kopassus, Marinir, dan Brimob. Sulit dipungkiri, safari politik Jokowi itu bukan sekadar silaturahmi biasa. Pasti ada agenda serius yang dibahas. Terutama menyangkut situasi politik mutakhir di jantung Ibu Kota. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditebak.
Pertama, safari politik Jokowi jelas untuk membahas situasi terkini pascademonstrasi 4 November lalu. Meski isu utama aksi yang dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) itu soal penistaan agama, gelembung isunya dikhawatirkan bisa merembet menjadi isu SARA yang mengancam keutuhan NKRI.
Tak mengherankan jika Jokowi kemudian melakukan kunjungan ke markas Kopassus, Brimob, dan Marinir. Mantan wali Kota Solo itu hanya ingin memastikan pasukan elite tersebut bisa disiagakan setiap saat. Mengantisipasi gerakan massa yang tak terkendali. Pada titik ini, Jokowi patut khawatir meski tidak harus berlebihan.
Dengan safari politik, Jokowi berharap tokoh NU, Muhammadiyah, dan ormas lain turun tangan mendinginkan suasana gaduh tak menentu. Meski begitu, sejatinya demonstrasi dimaknai sebagai aktivitas politik sukarela warga negara biasa untuk menyalurkan aspirasi politik mereka. Tak perlu direspons berlebihan.
Apalagi aksi demonstrasi dilakukan dengan damai dan tertib. Gabriel A Almond dalam Comparative Politics Today (2008) menyebut demonstrasi sebagai bagian dari partisipasi nonkonvensional warga negara guna menyuarakan hak politik. Sementara partisipasi konvensional berupa pemberian suara (voting) dalam pemilu.
Meski demonstrasi merupakan hak setiap warga negara (citizen), pesan politik yang disampaikan harus elegan dan beradab. Tindakan anarkistis, chaos, dan serupa kekerasan lain hanya akan mereduksi makna substansial partisipasi politik yang demokratis. Dalam dunia aktivis, banyak pilihan menentukan strategi berdemonstrasi.
Para aktivis ”kiri” yang terinspirasi perjuangan Karl Max dalam memperjuangkan kaum proletar kerap menjadikan kekerasan sebagai pilihan utama menyalurkan aspirasi. Revolusi dengan kekerasan sangat dianjurkan bagi penganut mazhab ini. Di luar itu, kalangan aktivis lain menyampaikan pesan aksinya dengan damai.
Bagi aktivis pengikut aliran ini, tokoh India, Mahatma Ghandi, menjadi panutan utama yang menghindari kekerasan. Revolusi tak harus anarkistis. Kedua, terkait dengan pilkada di DKI Jakarta. Sebagai presiden, Jokowi berkepentingan perhelatan pilkada di DKI Jakarta berlangsung damai dan jurdil.
Selain sebagai barometer politik nasional, Pilkada DKI melibatkan para elite politik dominan yang mampu memengaruhi konstelasi politik nasional dewasa ini. Dalam konteks ini menjadi penting membaca arah komunikasi politik Jokowi dengan sejumlah tokoh Islam sebagai upaya mendinginkan tensi pilkada yang terus memanas.
Sementara satuan keamanan sengaja dipersiapkan jika terjadi perubahan situasi yang tak terkendali. Pada saat bersamaan, bukan hanya pada Prabowo Subianto, publik juga berharap Jokowi mampu membangun harmoni politik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi aktor utama pasangan Agus Harimutri Yudhoyono dan Sylviana Murni. Apa pun itu, ketika bicara soal keberlangsungan Pilkada DKI Jakarta, tak bisa dilepaskan dari sosok mantan presiden keenam ini.
Merawat Kebinekaan
Safari politik Jokowi harus diletakkan dalam konteks meredam situasi politik kekinian yang bergerak liar. Terutama soal situasi politik pascademonstrasi 4 November yang berpotensi bergulir menjadi isu SARA. Apa pun motif pesan yang disampaikan, sebagai implementasi dari nilai demokratis, demonstrasi mesti disampaikan dengan cara persuasif. Apalagi, kran kebebasan berpendapat cukup terbuka bebas.
Semua kalangan sepakat bahwa hukum harus ditegakkan menjangkau semua lapisan sosial. Jika isu utama adalah mengusut pelaku penista agama yang dilakukan Ahok, biarkanlah aparat kepolisian bekerja tanpa intervensi kekuasaan politik mana pun. Hukum harus jadi panglima.
Karena itu, untuk menghindari terjadi gelombang massa besar yang berpotensi makar, kepolisian harus bekerja profesional. Jangan ada kesan melindungi salah satu kekuatan politik tertentu. Sebab, jika keliatan berpihak, gerakan massa aksi bisa berujung keributan. Pada titik ini, penting kiranya meneguhkan kembali bahwa fokus isunya adalah penegakan hukum bagi penista agama.
Bukan malah dialihkan menjadi isu yang justru merusak fondasi kebinekaan yang sudah kokoh. Demonstrasi 4 November dan suasana Pilkada Jakarta yang rentan dengan isu SARA sesungguhnya membangkitkan trauma masa lalu soal berbagai peristiwa yang mengancam kekokohan fondasi Pancasila dan keutuhan NKRI.
Sebut saja misalnya maraknya kekerasan dan tindakan radikal bernuansa agama cukup mengkhawatirkan. Betapa tidak, negara yang dibangun di atas heterogenitas SARA ini digoyang oleh semangat primordialisme sempit. Sebagai implikasi dari pengakuan terhadap Pancasila, sejatinya setiap warga melaksanakan harmoni terutama dengan memupuk rasa persaudaraan antarsesama golongan guna membangun Indonesia beradab.
Ucapan-ucapan yang menyinggung agama lain harus dihindari. Meski begitu, sikap arogan, superior, rasialistik, dan pengotak- kotakan manusia berdasarkan dugaan keunggulan ras, bangsa, keturunan, bahkan agama seringkali terjadi. Banyak kekerasan dan pertikaian disebabkan oleh perasaan lebih unggul dari yang lain.
Tak terkecuali di Indonesia, sejumlah tragedi kemanusiaan masa lalu terjadi akibat perasaan superior dan rasialistik atas kelompok lain. Konflik antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan; konflik agama di Ambon, Maluku, dan Poso; kerusuhan antietnis China di Jakarta, Solo, dan Medan; serta diskriminasi terhadap penganut agama minoritas menjadi bukti betapa perasaan superior masih menjadi pemicu terjadi tragedi kemanusiaan.
Dalam konteks ini, penting menginternalisasi nilai-nilai kebinekaan. Yaitu, semangat menghapus mental model dan sikap rasialisitik memandang rendah kelompok lain yang didasarkan suku, agama, ras, dan keturunan.
Agama mana pun pastinya mengajarkan kesetaraan, yakni memosisikan manusia setara memiliki harkat dan martabat sama. Sebab itu, segala tindakan diskriminatif harus dimusnahkan. Agama memberikan legitimasi moral etis untuk membangun masyarakat yang egaliter.
Dosen Politik UIN Jakarta dan
Peneliti The Political Literacy Institute
BEBERAPA waktu belakangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat sibuk melakukan safari politik dengan mendatangi sejumlah tokoh Islam dan blusukan ke institusi keamanan negara.
Setelah menyambangi Kantor NU, Muhammadiyah, dan pertemuan dengan para ulama, Jokowi kemudian melakukan kunjungan ke markas Kopassus, Marinir, dan Brimob. Sulit dipungkiri, safari politik Jokowi itu bukan sekadar silaturahmi biasa. Pasti ada agenda serius yang dibahas. Terutama menyangkut situasi politik mutakhir di jantung Ibu Kota. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditebak.
Pertama, safari politik Jokowi jelas untuk membahas situasi terkini pascademonstrasi 4 November lalu. Meski isu utama aksi yang dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) itu soal penistaan agama, gelembung isunya dikhawatirkan bisa merembet menjadi isu SARA yang mengancam keutuhan NKRI.
Tak mengherankan jika Jokowi kemudian melakukan kunjungan ke markas Kopassus, Brimob, dan Marinir. Mantan wali Kota Solo itu hanya ingin memastikan pasukan elite tersebut bisa disiagakan setiap saat. Mengantisipasi gerakan massa yang tak terkendali. Pada titik ini, Jokowi patut khawatir meski tidak harus berlebihan.
Dengan safari politik, Jokowi berharap tokoh NU, Muhammadiyah, dan ormas lain turun tangan mendinginkan suasana gaduh tak menentu. Meski begitu, sejatinya demonstrasi dimaknai sebagai aktivitas politik sukarela warga negara biasa untuk menyalurkan aspirasi politik mereka. Tak perlu direspons berlebihan.
Apalagi aksi demonstrasi dilakukan dengan damai dan tertib. Gabriel A Almond dalam Comparative Politics Today (2008) menyebut demonstrasi sebagai bagian dari partisipasi nonkonvensional warga negara guna menyuarakan hak politik. Sementara partisipasi konvensional berupa pemberian suara (voting) dalam pemilu.
Meski demonstrasi merupakan hak setiap warga negara (citizen), pesan politik yang disampaikan harus elegan dan beradab. Tindakan anarkistis, chaos, dan serupa kekerasan lain hanya akan mereduksi makna substansial partisipasi politik yang demokratis. Dalam dunia aktivis, banyak pilihan menentukan strategi berdemonstrasi.
Para aktivis ”kiri” yang terinspirasi perjuangan Karl Max dalam memperjuangkan kaum proletar kerap menjadikan kekerasan sebagai pilihan utama menyalurkan aspirasi. Revolusi dengan kekerasan sangat dianjurkan bagi penganut mazhab ini. Di luar itu, kalangan aktivis lain menyampaikan pesan aksinya dengan damai.
Bagi aktivis pengikut aliran ini, tokoh India, Mahatma Ghandi, menjadi panutan utama yang menghindari kekerasan. Revolusi tak harus anarkistis. Kedua, terkait dengan pilkada di DKI Jakarta. Sebagai presiden, Jokowi berkepentingan perhelatan pilkada di DKI Jakarta berlangsung damai dan jurdil.
Selain sebagai barometer politik nasional, Pilkada DKI melibatkan para elite politik dominan yang mampu memengaruhi konstelasi politik nasional dewasa ini. Dalam konteks ini menjadi penting membaca arah komunikasi politik Jokowi dengan sejumlah tokoh Islam sebagai upaya mendinginkan tensi pilkada yang terus memanas.
Sementara satuan keamanan sengaja dipersiapkan jika terjadi perubahan situasi yang tak terkendali. Pada saat bersamaan, bukan hanya pada Prabowo Subianto, publik juga berharap Jokowi mampu membangun harmoni politik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjadi aktor utama pasangan Agus Harimutri Yudhoyono dan Sylviana Murni. Apa pun itu, ketika bicara soal keberlangsungan Pilkada DKI Jakarta, tak bisa dilepaskan dari sosok mantan presiden keenam ini.
Merawat Kebinekaan
Safari politik Jokowi harus diletakkan dalam konteks meredam situasi politik kekinian yang bergerak liar. Terutama soal situasi politik pascademonstrasi 4 November yang berpotensi bergulir menjadi isu SARA. Apa pun motif pesan yang disampaikan, sebagai implementasi dari nilai demokratis, demonstrasi mesti disampaikan dengan cara persuasif. Apalagi, kran kebebasan berpendapat cukup terbuka bebas.
Semua kalangan sepakat bahwa hukum harus ditegakkan menjangkau semua lapisan sosial. Jika isu utama adalah mengusut pelaku penista agama yang dilakukan Ahok, biarkanlah aparat kepolisian bekerja tanpa intervensi kekuasaan politik mana pun. Hukum harus jadi panglima.
Karena itu, untuk menghindari terjadi gelombang massa besar yang berpotensi makar, kepolisian harus bekerja profesional. Jangan ada kesan melindungi salah satu kekuatan politik tertentu. Sebab, jika keliatan berpihak, gerakan massa aksi bisa berujung keributan. Pada titik ini, penting kiranya meneguhkan kembali bahwa fokus isunya adalah penegakan hukum bagi penista agama.
Bukan malah dialihkan menjadi isu yang justru merusak fondasi kebinekaan yang sudah kokoh. Demonstrasi 4 November dan suasana Pilkada Jakarta yang rentan dengan isu SARA sesungguhnya membangkitkan trauma masa lalu soal berbagai peristiwa yang mengancam kekokohan fondasi Pancasila dan keutuhan NKRI.
Sebut saja misalnya maraknya kekerasan dan tindakan radikal bernuansa agama cukup mengkhawatirkan. Betapa tidak, negara yang dibangun di atas heterogenitas SARA ini digoyang oleh semangat primordialisme sempit. Sebagai implikasi dari pengakuan terhadap Pancasila, sejatinya setiap warga melaksanakan harmoni terutama dengan memupuk rasa persaudaraan antarsesama golongan guna membangun Indonesia beradab.
Ucapan-ucapan yang menyinggung agama lain harus dihindari. Meski begitu, sikap arogan, superior, rasialistik, dan pengotak- kotakan manusia berdasarkan dugaan keunggulan ras, bangsa, keturunan, bahkan agama seringkali terjadi. Banyak kekerasan dan pertikaian disebabkan oleh perasaan lebih unggul dari yang lain.
Tak terkecuali di Indonesia, sejumlah tragedi kemanusiaan masa lalu terjadi akibat perasaan superior dan rasialistik atas kelompok lain. Konflik antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan; konflik agama di Ambon, Maluku, dan Poso; kerusuhan antietnis China di Jakarta, Solo, dan Medan; serta diskriminasi terhadap penganut agama minoritas menjadi bukti betapa perasaan superior masih menjadi pemicu terjadi tragedi kemanusiaan.
Dalam konteks ini, penting menginternalisasi nilai-nilai kebinekaan. Yaitu, semangat menghapus mental model dan sikap rasialisitik memandang rendah kelompok lain yang didasarkan suku, agama, ras, dan keturunan.
Agama mana pun pastinya mengajarkan kesetaraan, yakni memosisikan manusia setara memiliki harkat dan martabat sama. Sebab itu, segala tindakan diskriminatif harus dimusnahkan. Agama memberikan legitimasi moral etis untuk membangun masyarakat yang egaliter.
(poe)