Trump adalah Kita
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
ADA satu kutipan lama yang saat ini banyak diingat kembali dari Newton Lee penulis buku Disney Stories: Getting Digital yang mengatakan bahwa ada “…garis tipis antara kebebasan berpendapat (free speech) dan pendapat yang penuh kebencian (hate speech). Free speech mendorong perdebatan sementara hate speech mendorong kekerasan.”
Kalimat itu mengingatkan kita bahwa dalam zaman yang serbadigital dan informasi yang mudah dijangkau, masyarakat khususnya para politisi harus berhati-hati dalam menggunakan haknya untuk berpendapat karena bila kebencian yang kita ucapkan maka kekerasan yang akan kita dapatkan.
Kutipan tersebut relevan ketika pascaterpilihnya Presiden Amerika Serikat ke 45 Donald Trump, secara sengaja maupun tidak, politik Amerika Serikat (AS) justru makin ramai dibicarakan. Ini menarik untuk direnungkan di dalam negeri.
Perbedaan antara kita dan Amerika Serikat adalah bahwa satu letupan sosial di Indonesia mungkin hanya berdampak sedikit di negara sekitarnya. Namun apabila itu terjadi di AS maka dampaknya bisa meluas ke negara-negara yang lain, bahkan di luar kawasan.
Saya yang kebetulan punya kesempatan berkunjung ke negara tetangga dan memiliki jaringan kawan di kawasan dapat menangkap beragam suasana batin. Mereka yang biasanya tidak peduli hubungan internasional pun kini seakan punya amunisi untuk bicara banyak tentang nasib diri dan bangsanya dalam konteks terpilihnya Donald Trump.
Beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama terkait dengan apakah yang akan terjadi di Amerika Serikat akan memengaruhi hidup kita di belahan bumi yang lain ini.
Secara politik sebenarnya Indonesia, seperti juga negara-negara lain yang berdaulat, punya banyak alasan subjektif untuk tidak terpengaruh dengan suasana yang berkembang dan pilihan kebijakan di AS. Kita tidak perlu ikut hanyut memihak kubu Trump atau non-Trump.
Kita tidak perlu larut dalam ketakutan akan berkembangnya sektarianisme di Amerika Serikat. Bahkan tidak ada keharusan untuk bersimpati pada kelompok-kelompok yang bersitegang akibat pilihan calon presidennya di masa pemilu yang lalu.
Namun secara psikologis, proses demokrasi di Amerika Serikat yang terbuka dan diliput luas oleh media massa telah membangun kedekatan emosional tertentu bagi mereka yang mengikuti perkembangan sosial politik di Negeri Paman Sam.
Hal ini menjadi penting untuk disampaikan karena penting juga bagi Indonesia sebagai “orang luar” untuk dapat berjarak dalam memantau perkembangan sosial-politik dan sosial-ekonomi di AS. Jarak dalam melihat suatu kebijakan adalah alat yang baik untuk membuat perencanaan yang lebih matang.
Dalam konteks pengambilan kebijakan, jaraklah yang membuat seseorang memiliki helicopter view tentang suatu masalah. Tanpa jarak yang cukup, kita menjadi terlalu fokus pada personalita masalah tersebut, bahkan parahnya akan terlibat dalam suasana like and dislike alias suasana berpihak yang tidak dilandasi pada pertimbangan objektif.
Demokrasi selalu berevolusi. Tantangan terbesar demokrasi masa kini adalah akses pada jaringan informasi yang meluas sehingga siapa pun dan kapan pun bisa ikut urun bicara dalam forum-forum maya yang bisa dilihat dan disebarluaskan oleh siapa pun. Padahal di sisi lain, demokrasi selalu membutuhkan substansi (content).
Seseorang sesungguhnya hanya omong kosong saja bila meneriakkan keberpihakan pada kelompok atau isu tertentu padahal cara mencapai tujuan tersebut tidak memikirkan konteks sosial yang utuh. Di sinilah terjadi kesenjangan yang besar. Formulasi cara-cara mencapai tujuan dalam konteks sosial yang utuh selalu membutuhkan waktu olah yang cukup, membutuhkan konsultasi sosial yang memadai, juga kerja sama antarlembaga dan kelompok masyarakat. Proses ini hampir selalu nihil dibahas dalam arus informasi dalam ruang-ruang demokrasi masa kini
Kasus Amerika Serikat pasca Trump sebenarnya menarik untuk mengenali kelemahan arah evolusi demokrasi masa kini tersebut. Kata “love” alias kasih sayang sekarang menjadi tag-line bagi kelompok yang anti Trump untuk memprotes pilihan kelompok yang pro-Trump.
Bagi kelompok yang pro-Trump, hal ini dianggap menyinggung karena mereka mengatakan bahwa pilihan mereka pada Trump bukan terkait urusan kasih sayang tetapi terkait efektivitas menyelesaikan masalah sosial. Sayangnya tidak ada upaya membangun konsensus tentang apa sebenarnya masalah sosial yang dianggap mengganggu di AS. Masing-masing masih dalam tahap menegasikan masalah itu sendiri sehingga rasa antipati antar kelompok saja yang justru berkembang.
Demokrasi menghargai kebebasan berekspresi, tetapi yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa demokrasi menghargai proses dialog mencapai suatu kesepakatan arah kebijakan. Nyaris tidak pernah terjadi dalam sejarah pengambilan kebijakan di negara mana pun bahwa solusi tercapai semata dengan menajamkan perbedaan posisi antar kelompok. Saling menyuarakan posisi memang perlu tetapi proses membangun arah bersama itu yang lebih penting dalam mencapai tujuan tertentu.
Sektarianisme adalah salah satu wujud kelemahan demokrasi yang kini justru menguat di Amerika Serikat. Selayaknya kita di Indonesia mewaspadai bahwa kelemahan itu dengan mudah menular ke dalam cara kita berdemokrasi.
Kesulitan menggalang massa pada saat kampanye hendaknya tidak membuat para pemimpin lupa bahwa hakikat dari politik adalah meyakinkan pihak-pihak yang tidak sepaham untuk bergerak bersama-sama. Kata-kata yang saling merendahkan dan mengucilkan justru tak akan membuahkan hasil yang bermanfaat.
Kedua adalah bahwa terpilihnya Trump mengingatkan kita akan kemungkinan menguatnya suara-suara yang tidak puas terhadap cara-cara politisi menyelesaikan masalah. Ketika pemilih punya kesempatan untuk unjuk keinginan, saat itu pula bisa muncul tokoh “baru” yang berpotensi mengubah cara-cara lama. Hal ekonomi khususnya harapan akan penghidupan yang lebih layak dengan mudah menggerakkan pemilih, khususnya mereka yang kurang beruntung, untuk mencari alternatif pemimpin.
Dalam konteks relasi bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, ketidakpuasan kalangan pemilih di Amerika Serikat adalah peluang bagi Indonesia untuk menawarkan bentuk-bentuk kerja sama baru yang berbeda dari biasanya. Kecenderungan Donald Trump untuk keluar dari kebiasaan yang mudah ditebak menjadi kesempatan untuk menawarkan bentuk-bentuk dan bidang kerja sama baru yang saling menguntungkan.
Bukan mustahil dari sisi Indonesia juga lebih menguntungkan bila dibuka jalan bagi tokoh-tokoh baru yang lebih cocok cara dan ide-idenya dalam merespons suara-suara pemilih yang kurang puas. Selain itu, ketidakpastian ekonomi akibat pasar yang menunggu pilihan kebijakan Trump adalah peluang bagi Indonesia untuk mengonsolidasi relasi bilateral, regional dan multilateral yang dapat mengimbangi Amerika Serikat.
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu
ADA satu kutipan lama yang saat ini banyak diingat kembali dari Newton Lee penulis buku Disney Stories: Getting Digital yang mengatakan bahwa ada “…garis tipis antara kebebasan berpendapat (free speech) dan pendapat yang penuh kebencian (hate speech). Free speech mendorong perdebatan sementara hate speech mendorong kekerasan.”
Kalimat itu mengingatkan kita bahwa dalam zaman yang serbadigital dan informasi yang mudah dijangkau, masyarakat khususnya para politisi harus berhati-hati dalam menggunakan haknya untuk berpendapat karena bila kebencian yang kita ucapkan maka kekerasan yang akan kita dapatkan.
Kutipan tersebut relevan ketika pascaterpilihnya Presiden Amerika Serikat ke 45 Donald Trump, secara sengaja maupun tidak, politik Amerika Serikat (AS) justru makin ramai dibicarakan. Ini menarik untuk direnungkan di dalam negeri.
Perbedaan antara kita dan Amerika Serikat adalah bahwa satu letupan sosial di Indonesia mungkin hanya berdampak sedikit di negara sekitarnya. Namun apabila itu terjadi di AS maka dampaknya bisa meluas ke negara-negara yang lain, bahkan di luar kawasan.
Saya yang kebetulan punya kesempatan berkunjung ke negara tetangga dan memiliki jaringan kawan di kawasan dapat menangkap beragam suasana batin. Mereka yang biasanya tidak peduli hubungan internasional pun kini seakan punya amunisi untuk bicara banyak tentang nasib diri dan bangsanya dalam konteks terpilihnya Donald Trump.
Beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama terkait dengan apakah yang akan terjadi di Amerika Serikat akan memengaruhi hidup kita di belahan bumi yang lain ini.
Secara politik sebenarnya Indonesia, seperti juga negara-negara lain yang berdaulat, punya banyak alasan subjektif untuk tidak terpengaruh dengan suasana yang berkembang dan pilihan kebijakan di AS. Kita tidak perlu ikut hanyut memihak kubu Trump atau non-Trump.
Kita tidak perlu larut dalam ketakutan akan berkembangnya sektarianisme di Amerika Serikat. Bahkan tidak ada keharusan untuk bersimpati pada kelompok-kelompok yang bersitegang akibat pilihan calon presidennya di masa pemilu yang lalu.
Namun secara psikologis, proses demokrasi di Amerika Serikat yang terbuka dan diliput luas oleh media massa telah membangun kedekatan emosional tertentu bagi mereka yang mengikuti perkembangan sosial politik di Negeri Paman Sam.
Hal ini menjadi penting untuk disampaikan karena penting juga bagi Indonesia sebagai “orang luar” untuk dapat berjarak dalam memantau perkembangan sosial-politik dan sosial-ekonomi di AS. Jarak dalam melihat suatu kebijakan adalah alat yang baik untuk membuat perencanaan yang lebih matang.
Dalam konteks pengambilan kebijakan, jaraklah yang membuat seseorang memiliki helicopter view tentang suatu masalah. Tanpa jarak yang cukup, kita menjadi terlalu fokus pada personalita masalah tersebut, bahkan parahnya akan terlibat dalam suasana like and dislike alias suasana berpihak yang tidak dilandasi pada pertimbangan objektif.
Demokrasi selalu berevolusi. Tantangan terbesar demokrasi masa kini adalah akses pada jaringan informasi yang meluas sehingga siapa pun dan kapan pun bisa ikut urun bicara dalam forum-forum maya yang bisa dilihat dan disebarluaskan oleh siapa pun. Padahal di sisi lain, demokrasi selalu membutuhkan substansi (content).
Seseorang sesungguhnya hanya omong kosong saja bila meneriakkan keberpihakan pada kelompok atau isu tertentu padahal cara mencapai tujuan tersebut tidak memikirkan konteks sosial yang utuh. Di sinilah terjadi kesenjangan yang besar. Formulasi cara-cara mencapai tujuan dalam konteks sosial yang utuh selalu membutuhkan waktu olah yang cukup, membutuhkan konsultasi sosial yang memadai, juga kerja sama antarlembaga dan kelompok masyarakat. Proses ini hampir selalu nihil dibahas dalam arus informasi dalam ruang-ruang demokrasi masa kini
Kasus Amerika Serikat pasca Trump sebenarnya menarik untuk mengenali kelemahan arah evolusi demokrasi masa kini tersebut. Kata “love” alias kasih sayang sekarang menjadi tag-line bagi kelompok yang anti Trump untuk memprotes pilihan kelompok yang pro-Trump.
Bagi kelompok yang pro-Trump, hal ini dianggap menyinggung karena mereka mengatakan bahwa pilihan mereka pada Trump bukan terkait urusan kasih sayang tetapi terkait efektivitas menyelesaikan masalah sosial. Sayangnya tidak ada upaya membangun konsensus tentang apa sebenarnya masalah sosial yang dianggap mengganggu di AS. Masing-masing masih dalam tahap menegasikan masalah itu sendiri sehingga rasa antipati antar kelompok saja yang justru berkembang.
Demokrasi menghargai kebebasan berekspresi, tetapi yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa demokrasi menghargai proses dialog mencapai suatu kesepakatan arah kebijakan. Nyaris tidak pernah terjadi dalam sejarah pengambilan kebijakan di negara mana pun bahwa solusi tercapai semata dengan menajamkan perbedaan posisi antar kelompok. Saling menyuarakan posisi memang perlu tetapi proses membangun arah bersama itu yang lebih penting dalam mencapai tujuan tertentu.
Sektarianisme adalah salah satu wujud kelemahan demokrasi yang kini justru menguat di Amerika Serikat. Selayaknya kita di Indonesia mewaspadai bahwa kelemahan itu dengan mudah menular ke dalam cara kita berdemokrasi.
Kesulitan menggalang massa pada saat kampanye hendaknya tidak membuat para pemimpin lupa bahwa hakikat dari politik adalah meyakinkan pihak-pihak yang tidak sepaham untuk bergerak bersama-sama. Kata-kata yang saling merendahkan dan mengucilkan justru tak akan membuahkan hasil yang bermanfaat.
Kedua adalah bahwa terpilihnya Trump mengingatkan kita akan kemungkinan menguatnya suara-suara yang tidak puas terhadap cara-cara politisi menyelesaikan masalah. Ketika pemilih punya kesempatan untuk unjuk keinginan, saat itu pula bisa muncul tokoh “baru” yang berpotensi mengubah cara-cara lama. Hal ekonomi khususnya harapan akan penghidupan yang lebih layak dengan mudah menggerakkan pemilih, khususnya mereka yang kurang beruntung, untuk mencari alternatif pemimpin.
Dalam konteks relasi bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat, ketidakpuasan kalangan pemilih di Amerika Serikat adalah peluang bagi Indonesia untuk menawarkan bentuk-bentuk kerja sama baru yang berbeda dari biasanya. Kecenderungan Donald Trump untuk keluar dari kebiasaan yang mudah ditebak menjadi kesempatan untuk menawarkan bentuk-bentuk dan bidang kerja sama baru yang saling menguntungkan.
Bukan mustahil dari sisi Indonesia juga lebih menguntungkan bila dibuka jalan bagi tokoh-tokoh baru yang lebih cocok cara dan ide-idenya dalam merespons suara-suara pemilih yang kurang puas. Selain itu, ketidakpastian ekonomi akibat pasar yang menunggu pilihan kebijakan Trump adalah peluang bagi Indonesia untuk mengonsolidasi relasi bilateral, regional dan multilateral yang dapat mengimbangi Amerika Serikat.
(poe)