Kiai As'ad dan Revitalisasi Nilai Kepahlawanan
A
A
A
A Halim Iskandar
Ketua DPRD Jawa Timur
TANGGAL 9 November lalu pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Al-Maghfurullah KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo. Gelar tersebut diberikan atas kontribusi besar beliau dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kedaulatan NKRI.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Kiai As’ad merupakan komandan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah untuk kawasan timur Indonesia. Dalam buku KH As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1994) yang ditulis oleh Hasan Basri dkk dijelaskan bahwa salah satu tanggung jawab yang diemban Kiai As’ad saat itu adalah melawan penetrasi kolonial di wilayah Karesidenan Besuki (Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi, dan sekitarnya).
Beberapa peristiwa heroik yang melibatkan Kiai As’ad dan pasukannya adalah penyerbuan markas tentara Jepang di Garahan, Silo, Jember pada awal 1945 dan pelucutan senjata pasukan Belanda di wilayah Dabasah, Bondowoso. Ketika Indonesia baru saja memproklamirkan diri sebagai republik yang berdaulat pada 1945, Kiai As’ad termasuk salah satu tokoh yang mewaspadai kembalinya unsur-unsur kolonialisme di Nusantara.
Karena itu, Kiai As’ad menjadi salah satu peserta aktif dalam forum pertemuan para ulama se-Jawa dan Madura yang digagas Haddratus Syekh KH Hasyim Asy’ari guna mengantisipasi kembalinya pasukan Belanda yang membonceng tentara Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA). Sebagaimana kita tahu, ouput dari pertemuan tersebut adalah dicetuskannya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang menjadi pangkal dari serentetan peristiwa penting, termasuk pertempuran 10 November 1945.
Seusai Resolusi Jihad dikumandangkan, Kiai As’ad adalah sosok yang bergerilya ke beberapa kiai di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda untuk mempersiapkan santri-santrinya menghadapi pertempuran melawan NICA. Setelah itu, Kiai As’ad kembali ke kediamannya sendiri di Sukorejo, Situbondo untuk mengumpulkan seluruh santrinya guna berjihad ke Surabaya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Kiai As’ad adalah salah satu aktor penting mobilisasi massa-pejuang di sekitar Surabaya akhir Oktober hingga November 1945 yang saat ini kita peringatisebagaiHari Pahlawan.
Kiprah kenegarawanan Kiai As’ad kembali muncul ketika Indonesia dihadapkan pada tantangan resistensi beberapa kalangan Islam yang meragukan kompabilitas Pancasila dengan aqidah Islam sebagai konsekuensi pendekatan pemerintah Orba yang top-down (represif) dalam proses pengamalan Pancasila.
Saat itu Kiai As’ad bersedia menjadi ahlul bait (tuan rumah) pelaksanaan Munas Alim Ulama 1983 di Ponpes Salafiyah Syafiiyah yang kemudian menjadi arena penyampaian hasil ijtihad brilian KH Ahmad Shiddiq dan sekretarisnya KH Muchith Muzadi tentang Pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bertentangan dengan aqidah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sejarah mencatat, setelah Munas Alim Ulama tersebut, Pancasila lebih mudah diterima kalangan Islam.
Pengakuan Peran Pesantren
Gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Kiai As’ad sesungguhnya tidak hanya bermakna kepada sosok Kiai Asad pribadi, tetapi menjadi representasi atas rekognisi peran pesantren dalam perjuangan merebut dan mempertahankan NKRI. Hal tersebut penting digarisbawahi mengingat sejauh ini persepsi sebagian ilmuwan dan masyarakat luas terhadap sejarah 10 November 1945 masih belum holistis. Misalnya, barubaru ini terbit buku Surabaya 1945: Sakral Tanahku (2016) yang ditulis Frank Palmos, sejarawan Australia.
Dalam buku tersebut Frank Palmos sama sekali tidak menyinggung linieritas peristiwa 22 Oktober 1945 dengan perang 10 November 1945. Palmos hanya menyinggung bergabungnya tentara pemuda Tionghoa dalam pertempuran 10 November yang selama ini jarang dibahas dalam buku sejarah.
Tanpa sama sekali menyebut peran pesantren. Fenomena tersebut seperti membenarkan hipotesis yang pernah saya jelaskan sebelumnya di harian ini (Pesantren dan Agenda Rekonstruksi ”Jihad Modern”, KORAN SINDO, 22 Oktober 2016), bahwa sudah sekian lama sepak terjang pesantren dalam merebut dan mempertahankan NKRI cenderung ”dikebiri” dari narasi sejarah mainstream, termasuk narasi sejarah yang masuk dalam kurikulum pendidikan sejarah di sekolah.
Akibat itu, generasi demi generasi seolah dibuat ”buta sejarah” terhadap kontribusi pesantren dalam revolusi kemerdekaan. Bahkan muncul ironi dari sebagian kalangan yang menganggapIslamdannasionalisme adalah dua hal yang berseberangan sehingga lahirlah ekstremisme dan radikalisme keagamaan yang masih memimpikan Indonesia sebagai negara Islam.
Maka itu, afirmasi sejarah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 sebagai Hari Santri Nasional serta penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai As’ad menjadi upaya untuk menyingkap secara bertahap terkait tabir bias sejarah pesantren dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Revitalisasi Semangat Kepahlawanan Kaum Santri
Sebagai generasi yang dituntut untuk senantiasa belajar dan berjuang, kaum santri tidak boleh terlena dengan diorama tekstualitas sejarah kepahlawanan pesantren masa lampau. Seluruh kaum santri di Nusantara dituntut untuk terus berjihad dan berijtihad (berpikir, menggugat, dan menggagas format baru) dalam hal beragama, bermasyarakat, dan berbangsa agar tidak terkungkung dalam kejumudan, tapi justru berdialektis secara cerdas untuk merangkai sintesis-sintesis mutakhir dalam tradisi Islam Nusantara yang selalu meruang dan mewaktu dalam balutan sejarah peradaban bangsa.
Artinya, saat ini kaum santri tetap harus menjadi pahlawan-pahlawan baru di wilayahnya masing-masing untuk mengusir kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan yang masih menjadi problem serius bagi bangsa ini.
Ketua DPRD Jawa Timur
TANGGAL 9 November lalu pemerintah resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Al-Maghfurullah KH Raden As’ad Syamsul Arifin (1897-1990), Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo. Gelar tersebut diberikan atas kontribusi besar beliau dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kedaulatan NKRI.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Kiai As’ad merupakan komandan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah untuk kawasan timur Indonesia. Dalam buku KH As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1994) yang ditulis oleh Hasan Basri dkk dijelaskan bahwa salah satu tanggung jawab yang diemban Kiai As’ad saat itu adalah melawan penetrasi kolonial di wilayah Karesidenan Besuki (Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi, dan sekitarnya).
Beberapa peristiwa heroik yang melibatkan Kiai As’ad dan pasukannya adalah penyerbuan markas tentara Jepang di Garahan, Silo, Jember pada awal 1945 dan pelucutan senjata pasukan Belanda di wilayah Dabasah, Bondowoso. Ketika Indonesia baru saja memproklamirkan diri sebagai republik yang berdaulat pada 1945, Kiai As’ad termasuk salah satu tokoh yang mewaspadai kembalinya unsur-unsur kolonialisme di Nusantara.
Karena itu, Kiai As’ad menjadi salah satu peserta aktif dalam forum pertemuan para ulama se-Jawa dan Madura yang digagas Haddratus Syekh KH Hasyim Asy’ari guna mengantisipasi kembalinya pasukan Belanda yang membonceng tentara Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA). Sebagaimana kita tahu, ouput dari pertemuan tersebut adalah dicetuskannya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang menjadi pangkal dari serentetan peristiwa penting, termasuk pertempuran 10 November 1945.
Seusai Resolusi Jihad dikumandangkan, Kiai As’ad adalah sosok yang bergerilya ke beberapa kiai di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda untuk mempersiapkan santri-santrinya menghadapi pertempuran melawan NICA. Setelah itu, Kiai As’ad kembali ke kediamannya sendiri di Sukorejo, Situbondo untuk mengumpulkan seluruh santrinya guna berjihad ke Surabaya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Kiai As’ad adalah salah satu aktor penting mobilisasi massa-pejuang di sekitar Surabaya akhir Oktober hingga November 1945 yang saat ini kita peringatisebagaiHari Pahlawan.
Kiprah kenegarawanan Kiai As’ad kembali muncul ketika Indonesia dihadapkan pada tantangan resistensi beberapa kalangan Islam yang meragukan kompabilitas Pancasila dengan aqidah Islam sebagai konsekuensi pendekatan pemerintah Orba yang top-down (represif) dalam proses pengamalan Pancasila.
Saat itu Kiai As’ad bersedia menjadi ahlul bait (tuan rumah) pelaksanaan Munas Alim Ulama 1983 di Ponpes Salafiyah Syafiiyah yang kemudian menjadi arena penyampaian hasil ijtihad brilian KH Ahmad Shiddiq dan sekretarisnya KH Muchith Muzadi tentang Pancasila sebagai asas tunggal yang tidak bertentangan dengan aqidah Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sejarah mencatat, setelah Munas Alim Ulama tersebut, Pancasila lebih mudah diterima kalangan Islam.
Pengakuan Peran Pesantren
Gelar Pahlawan Nasional yang diberikan kepada Kiai As’ad sesungguhnya tidak hanya bermakna kepada sosok Kiai Asad pribadi, tetapi menjadi representasi atas rekognisi peran pesantren dalam perjuangan merebut dan mempertahankan NKRI. Hal tersebut penting digarisbawahi mengingat sejauh ini persepsi sebagian ilmuwan dan masyarakat luas terhadap sejarah 10 November 1945 masih belum holistis. Misalnya, barubaru ini terbit buku Surabaya 1945: Sakral Tanahku (2016) yang ditulis Frank Palmos, sejarawan Australia.
Dalam buku tersebut Frank Palmos sama sekali tidak menyinggung linieritas peristiwa 22 Oktober 1945 dengan perang 10 November 1945. Palmos hanya menyinggung bergabungnya tentara pemuda Tionghoa dalam pertempuran 10 November yang selama ini jarang dibahas dalam buku sejarah.
Tanpa sama sekali menyebut peran pesantren. Fenomena tersebut seperti membenarkan hipotesis yang pernah saya jelaskan sebelumnya di harian ini (Pesantren dan Agenda Rekonstruksi ”Jihad Modern”, KORAN SINDO, 22 Oktober 2016), bahwa sudah sekian lama sepak terjang pesantren dalam merebut dan mempertahankan NKRI cenderung ”dikebiri” dari narasi sejarah mainstream, termasuk narasi sejarah yang masuk dalam kurikulum pendidikan sejarah di sekolah.
Akibat itu, generasi demi generasi seolah dibuat ”buta sejarah” terhadap kontribusi pesantren dalam revolusi kemerdekaan. Bahkan muncul ironi dari sebagian kalangan yang menganggapIslamdannasionalisme adalah dua hal yang berseberangan sehingga lahirlah ekstremisme dan radikalisme keagamaan yang masih memimpikan Indonesia sebagai negara Islam.
Maka itu, afirmasi sejarah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 sebagai Hari Santri Nasional serta penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai As’ad menjadi upaya untuk menyingkap secara bertahap terkait tabir bias sejarah pesantren dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Revitalisasi Semangat Kepahlawanan Kaum Santri
Sebagai generasi yang dituntut untuk senantiasa belajar dan berjuang, kaum santri tidak boleh terlena dengan diorama tekstualitas sejarah kepahlawanan pesantren masa lampau. Seluruh kaum santri di Nusantara dituntut untuk terus berjihad dan berijtihad (berpikir, menggugat, dan menggagas format baru) dalam hal beragama, bermasyarakat, dan berbangsa agar tidak terkungkung dalam kejumudan, tapi justru berdialektis secara cerdas untuk merangkai sintesis-sintesis mutakhir dalam tradisi Islam Nusantara yang selalu meruang dan mewaktu dalam balutan sejarah peradaban bangsa.
Artinya, saat ini kaum santri tetap harus menjadi pahlawan-pahlawan baru di wilayahnya masing-masing untuk mengusir kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan yang masih menjadi problem serius bagi bangsa ini.
(poe)