Kenaikan UMP Adilkah?
A
A
A
HARI ini, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2017 serentak diumumkan oleh seluruh gubernur se-Indonesia. Kenaikan UMP sebesar 8,25% secara merata dengan pertimbangan tingkat inflasi nasional sekitar 3,07% dan pertumbuhan ekonomi nasional 5,18%, dan dinyatakan berlaku secara resmi per 1 Januari 2017.
Gubernur yang tidak memberlakukan standar kenaikan UMP tersebut akan dikenakan sanksi. Hal itu berlandaskan pada Undang Undang (UU) No 23 tahun 2014, di mana pasal 68 berbunyi, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional bisa dikenai sanksi administratif yang bisa berujung pada pemberhentian dari jabatan.
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan kenaikan UMP untuk tahun depan telah dihitung secara cermat dari berbagai sisi dengan menggunakan payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Berdasarkan pasal 44 PP tersebut penetapan UMP tahun depan menggunakan formula yang meliputi asumsi inflasi nasional sekitar 3,07 %, angka PDB, dan asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 sekitar 5,18%.
Bicara soal kenaikan UMP biasanya kalangan pengusaha sangat sensitif. Namun, penetapan angka UMP kali ini mendapat apresiasi dari para pengusaha. Salah satu alasan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani menyambut positif kenaikan tahunan upah pekerja itu karena formula perhitungannya yang tepat, sehingga pengusaha mendapat kepastian untuk menaikkan upah.
Persentase kenaikan UMP sesuai harapan dunia usaha yang tidak memberatkan. Rosan membandingkan aturan sebelumnya yang memungkinkan setiap provinsi menetapkan UMP dengan perhitungan masing-masing.
Suara senada juga dilontarkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani yang menilai besaran kenaikan UMP yang berlaku sama untuk setiap provinsi tidak begitu memberatkan pengusaha. Bahkan Hariyadi berani memprediksi bahwa besaran kenaikan UMP jelas akan memperkecil jumlah perusahaan yang menangguhkan kenaikan upah tahun depan.
Meski kalangan pengusaha sudah merasa cocok dengan formulasi kenaikan UMP 2017, namun belum tentu sejalan dengan keinginan para pekerja. Riak-riak pekerja yang mulai menyoalkan formula kenaikan upah versi pemerintah sepertinya sebentar lagi akan ditumpahkan di jalan sebagai protes karena menilai angka kenaikan upah masih rendah.
Biasanya, perumusan kenaikan UMP diwarnai perdebatan segitiga, yakni pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Namun, sampai pengumuman serentak kenaikan UMP pada hari ini cenderung sepi saja alias minim protes. Tengok saja, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama telah menetapkan UMP sebesar Rp3.355.750 berdasarkan PP No 78 Tahun 2015 yang lebih tinggi dari tahun ini sebesar Rp 3,1 juta.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengusulkan UMP 2017 sebesar Rp3.831.690 namun Gubernur Basuki yang lebih akrab dipanggil Ahok tetap berpatokan pada aturan perhitungan UMP nasional.
Bagi KSPI angka UMP yang sudah diteken Ahok tidak mencerminkan keberpihakan pada pekerja. Kenaikan UMP sekitar Rp 250.000 jelas tidak bisa mendongkrak daya beli pekerja.
Karena itu, Ketua KSPI Said Iqbal mengecam formula angka UMP berdasarkan aturan pengupahan sebab banyak elemen yang tidak masuk dalam komponen kebutuhan hidup layak. Tanggapan senada datang dari Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat yang menilai angka kenaikan UMP jauh dari layak bila dikaitkan komponen biaya hidup riil.
Memang, menetapkan UMP yang bisa mengakomodir keinginan semua pihak adalah langkah yang ideal. Tetapi faktanya tentu tidak semudah yang dibayangkan seperti menyamakan keinginan pemberi dan penerima upah.
Karena itu, peran pemerintah sebagai penengah harus tegas dan lugas. Aturan pengupahan yang diberlakukan saat ini diklaim Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebagai aturan paling fair yang bisa mendekatkan keinginan pengusaha dan pekerja.
Betulkah? Indikatornya sederhana kalau pekerja tidak turun ke jalan pasca pengumuman UMP berarti formula angka kenaikan upah sudah tepat.
Gubernur yang tidak memberlakukan standar kenaikan UMP tersebut akan dikenakan sanksi. Hal itu berlandaskan pada Undang Undang (UU) No 23 tahun 2014, di mana pasal 68 berbunyi, kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tidak melaksanakan program strategis nasional bisa dikenai sanksi administratif yang bisa berujung pada pemberhentian dari jabatan.
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan kenaikan UMP untuk tahun depan telah dihitung secara cermat dari berbagai sisi dengan menggunakan payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Berdasarkan pasal 44 PP tersebut penetapan UMP tahun depan menggunakan formula yang meliputi asumsi inflasi nasional sekitar 3,07 %, angka PDB, dan asumsi pertumbuhan ekonomi 2017 sekitar 5,18%.
Bicara soal kenaikan UMP biasanya kalangan pengusaha sangat sensitif. Namun, penetapan angka UMP kali ini mendapat apresiasi dari para pengusaha. Salah satu alasan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani menyambut positif kenaikan tahunan upah pekerja itu karena formula perhitungannya yang tepat, sehingga pengusaha mendapat kepastian untuk menaikkan upah.
Persentase kenaikan UMP sesuai harapan dunia usaha yang tidak memberatkan. Rosan membandingkan aturan sebelumnya yang memungkinkan setiap provinsi menetapkan UMP dengan perhitungan masing-masing.
Suara senada juga dilontarkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani yang menilai besaran kenaikan UMP yang berlaku sama untuk setiap provinsi tidak begitu memberatkan pengusaha. Bahkan Hariyadi berani memprediksi bahwa besaran kenaikan UMP jelas akan memperkecil jumlah perusahaan yang menangguhkan kenaikan upah tahun depan.
Meski kalangan pengusaha sudah merasa cocok dengan formulasi kenaikan UMP 2017, namun belum tentu sejalan dengan keinginan para pekerja. Riak-riak pekerja yang mulai menyoalkan formula kenaikan upah versi pemerintah sepertinya sebentar lagi akan ditumpahkan di jalan sebagai protes karena menilai angka kenaikan upah masih rendah.
Biasanya, perumusan kenaikan UMP diwarnai perdebatan segitiga, yakni pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Namun, sampai pengumuman serentak kenaikan UMP pada hari ini cenderung sepi saja alias minim protes. Tengok saja, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama telah menetapkan UMP sebesar Rp3.355.750 berdasarkan PP No 78 Tahun 2015 yang lebih tinggi dari tahun ini sebesar Rp 3,1 juta.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengusulkan UMP 2017 sebesar Rp3.831.690 namun Gubernur Basuki yang lebih akrab dipanggil Ahok tetap berpatokan pada aturan perhitungan UMP nasional.
Bagi KSPI angka UMP yang sudah diteken Ahok tidak mencerminkan keberpihakan pada pekerja. Kenaikan UMP sekitar Rp 250.000 jelas tidak bisa mendongkrak daya beli pekerja.
Karena itu, Ketua KSPI Said Iqbal mengecam formula angka UMP berdasarkan aturan pengupahan sebab banyak elemen yang tidak masuk dalam komponen kebutuhan hidup layak. Tanggapan senada datang dari Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat yang menilai angka kenaikan UMP jauh dari layak bila dikaitkan komponen biaya hidup riil.
Memang, menetapkan UMP yang bisa mengakomodir keinginan semua pihak adalah langkah yang ideal. Tetapi faktanya tentu tidak semudah yang dibayangkan seperti menyamakan keinginan pemberi dan penerima upah.
Karena itu, peran pemerintah sebagai penengah harus tegas dan lugas. Aturan pengupahan yang diberlakukan saat ini diklaim Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebagai aturan paling fair yang bisa mendekatkan keinginan pengusaha dan pekerja.
Betulkah? Indikatornya sederhana kalau pekerja tidak turun ke jalan pasca pengumuman UMP berarti formula angka kenaikan upah sudah tepat.
(poe)