Meredam Kerawanan Kampanye

Jum'at, 28 Oktober 2016 - 14:12 WIB
Meredam Kerawanan Kampanye
Meredam Kerawanan Kampanye
A A A
SAATNYA kampanye telah tiba. Sebanyak 153 pasangan kandidat yang bakal bertarung di 101 daerah di seluruh Tanah Air pada Pilkada Serentak 2017 nanti memiliki kesempatan emas untuk mengenalkan diri, mengadu gagasan, dan merayu publik agar memberikan suaranya.

Pentingnya tahapan pilkada ini selalu beriringan dengan risiko yang akan terjadi. Di fase inilah pergesekan antarkandidat, tim sukses maupun pendukung kerap terjadi. Adu program yang disampaikan sering kali bertabrakan satu sama lain hingga berpotensi memicu pergesekan fisik di antara massa pendukung.

Di antara daerah yang terlibat Pilkada Serentak 2017 nanti, berdasarkan indeks kerawanan yang dirilis Bawaslu, DKI Jakarta merupakan daerah paling rawan selain Banten, Aceh, Papua, dan Gorontalo. Inilah yang harus diantisipasi peserta pemilu, penyelenggara pemilu, juga masyarakat luas. Jangan sampai pesta demokrasi berubah menjadi konflik fisik yang justru mencederai substansi demokrasi itu sendiri.

Kerawanan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017 memang sangat terasa sejak jauh hari sebelum tahapan pilkada dimulai. Harus diakui kondisi demikian tercipta karena berbagai kontroversi yang ditunjukkan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menjadi petahana dalam pilkada, baik terkait dengan kebijakan maupun pernyataannya seperti tentang Al- Maidah 51.

Sejumlah kebijakan Ahok, terutama terkait dengan penggusuran sejumlah kawasan yang inkonsisten karena ada kawasan lain yang tidak digusur bahkan malah di reklamasi, memicu antipati mereka yang menjadi korban dan masyarakat yang berempati terhadap nasib masyarakat tergusur. Bagi mereka, pilkada harus menjadi momentum untuk menghentikan sepak terjang Ahok yang maju bersama Djarot Saiful Hidayat.

Kerawanan semakin meningkat terkait kontroversi Al-Maidah 51. Seperti bola salju, antipati yang sudah berbentuk ini semakin menggelinding dan membesar, bahkan diwarnai dengan aksi turun ke jalan. Ahok, oleh pihak-pihak yang kontra, bukan dianggap lagi sebagai musuh kepentingan, tetapi juga musuh ideologi.

Efek pertarungan ideologi tentu jauh lebih berat daripada sekadar pertarungan kepentingan. Jika pertarungan kepentingan yang bertautan dengan ideologi dibiarkan menggelinding begitu saja, tentu akan sangat berbahaya. Karena itu berbagai persaingan, persinggungan, pergesekan, atau tabrakan kepentingan yang terjadi harus dikelola dengan baik.

Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Panwaslu, Bawaslu, KPU, atau kepolisian saja, tetapi juga para kandidat, tim sukses, dan pendukung masing-masing. Pasangan kandidat sebagai pusat gravitasi pertarungan politik berperan penting untuk memberi contoh dan mengendalikan tim sukses dan para pendukungnya agar tidak destruktif.

Hal ini bisa diwujudkan jika mereka bisa berkampanye secara sehat dan mendidik dengan sebisa mungkin menahan diri mengeluarkan pernyataan yang memicu kegaduhan, menghindari black campaign, hate speech, dan/atau memfitnah. Sebaliknya mereka beradu gagasan untuk membangun Jakarta secara utuh.

Berbagai persoalan dan riak yang muncul selama kepemimpinan Ahok menunjukkan masih terbuka lebarnya ruang untuk mempertarungkan visi, misi, atau strategi membangun Jakarta yang lebih komprehensif dan beradab. Gagasan akan model pembangunan yang lebih baik inilah yang harus dikupas dan dijadikan dagangan untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat.

Peran penyelenggara pemilu juga tak kalah penting. Mereka harus menegakkan disiplin aturan yang sudah ditetapkan, mengawasi implementasi aturan main kampanye, termasuk menjamin pertarungan bisa berlangsung secara fair dan netral serta menegakkan hukum terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran. Sejauh mana mereka mampu melaksanakan tugasnya secara maksimal akan menentukan kualitas pilkada.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5385 seconds (0.1#10.140)