Dimas Kanjeng dan Gatot Brajamusti

Kamis, 27 Oktober 2016 - 09:10 WIB
Dimas Kanjeng dan Gatot...
Dimas Kanjeng dan Gatot Brajamusti
A A A
M Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Jakarta/Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, Banten

INDONESIA adalah negeri penuh keajaiban. Legenda, mitos, dan fenomena gaib selalu mengiringi perjalanan sejarah bangsa ini.

Alasan-alasan rasional tidak cukup untuk mendidik anak bangsa agar membangun negerinya dengan perhitungan yang matang, jernih, transparan, dan akuntabel. Sebagian rakyat negeri ini masih tetap membutuhkan mitos, legenda, dan lain-lain agar yakin bahwa perjalanan hidup bangsa ini tetap mendapat restu penjaga langit dan restu penjaga bumi.

Di Jawa Timur, misalnya, banyak tokoh legenda yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib dan menjadi mediator manusia dengan sang gaib. Kisah-kisah perjalanan tokoh legenda bernama Panji, misalnya, sering menjadi acuan rakyat Jawa Timur yang masih hidup dalam budaya tradisional.

Panji, nama tokoh legenda di Kerajaan Kediri, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan lain di Jawa Timur itu kemudian muncul dalam dongeng, legenda, mitologi, bahkan "sejarah" dengan berbagai versi. Belakangan nama Panji pun kerap muncul sebagai nama gelar.

Begitu juga nama Dimas dan Kanjeng. Dua nama ini sangat populer dalam dongeng-dongeng rakyat di Jawa, khususnya Jawa Timur. Belakangan nama Dimas pun sangat populer karena banyak film nasional yang bintang utamanya bernama Dimas.

Sebut saja film Bukan Bintang Biasa The Movie (2007); Foto, Kotak dan Jendela (2006); Simfoni Luar Biasa ( 2011); Hari Ini Pasti Menang (2013); Duel: The Last Choice (2014); Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh (2014); 99% Muhrim: Get Married 5 (2015); Stay with Me (2016). Nama Dimas juga muncul dalam sinetron Badai (2014).

Seperti halnya Dimas, nama Kanjeng ini pun sangat populer di masyarakat Jawa. Kanjeng adalah gelar kehormatan untuk kesatria Jawa. Jika Dimas (yang artinya adik laki-laki atau saudara termuda yang mengundang simpati dan kasih), maka kanjeng artinya sama dengan gusti atau tuan terhormat.

Maka, bisa kita bayangkan bila seseorang punya nama Dimas Kanjeng. Ini gabungan nama mitos dan legenda yang luar biasa, yang bisa mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat tradisional di Jawa.

Begitulah, dari aspek nama saja --Dimas Kanjeng Taat Pribadi-- sudah mampu "menyihir" masyarakat Indonesia yang mayoritas orang Jawa. Cerdiknya lagi Dimas Kanjeng mengasosiasikan dirinya sebagai "raja kahyangan" dengan gelar Raja Anom dan Sri Raja Prabu Rajasa Nagara. Dan lebih hebat lagi, sang Raja Anom ini mengaku mampu menggandakan uang beratus bahkan beribu kali lipat dari uang pancingannya.

Para pengikut Dimas Kanjeng di Jakarta seperti Harun, Somad, dan Siti percaya Dimas Kanjeng Taat Pribadi mewarisi kesaktian Sunan Bonang. Jika Sunan Bonang dengan karimahnya bisa mengubah batu menjadi emas, Dimas Kanjeng bisa mengubah kertas koran menjadi uang. Ia pun mengaku sebagai turunan raja-raja Jawa yang kelak dengan uang yang dibuatnya melalui "ritual-ritual tertentu" akan mewujudkan kerajaan besar di Jawa yang rakyatnya hidup makmur, sejahtera, tenteram tata raharja.

Dari sudut inilah, kata pakar sejarah kebudayaan Jawa dari Malang, Sri Utami, kita melihat kenapa Dimas Kanjeng Taat Pribadi, pria asal Dusun Cangkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Probolinggo benar-benar hebat mampu menghipnotis masyarakat Jawa tradisional.

Fenomena gaib, pengakuan genealogis, dan klaim superstitious -nya berhasil membuat masyarakat percaya dan yakin bahwa Dimas Kanjeng adalah seorang yang mumpuni, tokoh masa depan yang pinjam kata-kata Dr. Marwah Daud, salah seorang pengikutnya mampu mengarungi transdimensi yang berbeda, sehingga ia mempunyai mukjizat seperti Nabi Sulaiman.

Selama lebih dari 10 tahun, Dimas Kanjeng malang melintang menikmati kepatuhan para pengikutnya yang percaya bahwa ia adalah seorang mahdi, seorang raja, seorang wali, dan seorang yang mempunyai kekuatan gaib.

Harun, salah seorang pengikut Dimas Kanjeng di Cikarang, Bekasi, misalnya, yakin betul ia adalah seorang wali masa kini yang punya kesaktian seperti Nabi Sulaiman. Harun menunjukkan arloji mahalnya yang ia peroleh dari Dimas Kanjeng.

Harun juga mengaku, dengan mata kepalanya sendiri, melihat bagaimana Dimas Kanjeng menghadirkan sepeda motor sport baru di kamar pribadinya. Padahal sebelum melaksanakan ritual, kamar itu kosong.

Lebih jauh lagi Harun bercerita, Dimas Kanjeng bisa membuat kotak ajaib yang bisa mengeluarkan uang jutaan rupiah setiap hari. "Bagaimana saya tidak percaya pada Dimas Kanjeng jika saya bisa melihat keajaiban-keajaiban dengan mata kepala sendiri?" ujar Harun kepada wartawan beberapa tahun lalu di Cikarang.

Seperti halnya Sunan Bonang yang punya karimah mengagumkan, kata Harun, Dimas Kanjeng mempunyai hal yang sama. Karimahnya mampu membuat uang dengan kertas koran, membuat emas dari besi, dan membuat orang bodoh jadi pintar seketika (dengan pulpen laduni made in Dimas).

Saya tidak tahu, kenapa pinjam istilah Guru Besar Psikologi UI Sarlito Wirawan orang gila seperi Dimas Kanjeng mampu bertahan dan tidak terendus aparat keamanan selama 10 tahun lebih. Ada apa? Ada backing orang berkuasa? Entahlah.

Yang jelas di negeri ini hal-hal gila dan mustahil sering berlangsung bertahun-tahun tanpa ada penyelidikan pihak berwajib. Bahkan sering terjadi, ia mendapat perlindungan dari oknum-oknum penguasa.

Mungkin, karena secara bawah sadar masyarakat terbiasa melihat "banyak orang" yang gajinya hanya beberapa juta rupiah per bulan, tapi mampu mengumpulkan uang ratusan miliar rupiah selama menjabat posisi tertentu di pemerintahan lima atau 10 tahun, maka "penumpukan uang" model Dimas pun dibiarkan saja.

Dalam hati kecil sebagian masyarakat, apa bedanya Dimas Kanjeng dengan Gayus, Nazarudin, dan lainnya? Bedanya, kalau mereka mampu "menciptakan uang" dengan manipulasi dan korupsi, Dimas Kanjeng mampu menciptakan uang dengan penipuan ala superstisi. Memang beda, tapi hasilnya sama-bikin publik geleng-geleng kepala.

Tapi apa itu superstisi, kegaiban, dan semacamnya yang diusung Dimas Kanjeng? Ternyata kemudian, terkuak kebohongannya. Semua itu terjadi setelah Dimas ditetapkan polisi sebagai tersangka pembunuhan dua orang cantriknya yang membelot, Abdul Gani dan Ismail Hidayah beberapa bulan sebelumnya.

Menurut Polda Jatim (2/10/016), dalang dari dua kasus pembunuhan itu adalah Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang takut rahasia penipuannya terkuak. Dua cantrik ini, memang membelot dan berjanji akan menceritakan kebohongan dan kebusukan Dimas Kanjeng kepada polisi.

Itulah balada Dimas Kanjeng, Sang Raja Anom dan Prabu Rajasa Nagara yang mengaku mendapat karimah seperti Sunan Bonang. Dalam acara Indonesia Lawyers Club di TVOne , mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, mempertanyakan: Jika Dimas Kanjeng mampu menggandakan uang ribuan kali lipat dari uang yang ada, kenapa ia perlu mengumpulkan uang masyarakat? Bukankah dengan uangnya sendiri, Dimas Kanjeng akan menjadi kaya raya dan menikmati uang tanpa gangguan orang lain?

Kiai Hasyim menyatakan, Dimas Kanjeng jelas telah melakukan penipuan dengan kedok ritual-ritual agama yang menyesatkan. Tidak ada bedanya penipuan gaya Dimas Kanjeng dengan Gatot Brajamusti yang mengelabuhi para artis di padepokannya di Sukabumi.

Jika Dimas Kanjeng mengelabui masyarakat yang haus harta dengan iming-iming penggandaan uang yang membuat orang bisa kaya mendadak, Gatot Brajamusti mengelabui para artis dengan iming-iming memperoleh kesenangan mendadak dengan mengonsumsi obat-obat psikotropika dan eksploitasi nafsu seks.

Obsesi Dimas dan Gatot sepintas memang berbeda, tapi hakikatnya sama. Keduanya mengeksploitasi nafsu-nafsu manusia yang paling asali: harta dan seksualitas.

Di pihak lain, baik Dimas maupun Gatot sama-sama mempunyai klaim, mengamalkan ilmu para wali dengan karimahnya. Padahal, karimah hanya dimiliki orang-orang suci yang bersih hati dan karimah hanya muncul karena kehendak Allah semata-bukan sesuatu yang muncul karena kehendak hawa nafsu mereka.

Pada akhirnya, kasus seperti Dimas dan Gatot akan terus muncul di tengah masyarakat selagi bangsa dan negara kita masih "hidup" jauh dari keadilan. Hidup berkeadilan dalam arti, hidup dengan jujur, transparan, bertanggung jawab, dan menghargai prestasi dan kapabilitas orang lain.

Bukan hidup dengan menyandarkan koneksi, nepotisme, dan konspirasi dengan kekuasaan untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan sepihak dan merugikan pihak lain. Hidup seperti hal terakhir itu, hanya akan memunculkan inspirasi buruk dari orang-orang tertentu sehingga memunculkan kasus Dimas, Gatot, dan lainnya. Wallahu a’lam.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7489 seconds (0.1#10.140)