Mosul Paska ISIS

Rabu, 19 Oktober 2016 - 07:46 WIB
Mosul Paska ISIS
Mosul Paska ISIS
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
Co-founder, Paramadina Graduate School of Diplomacy
@dinnawisnu

PEMERINTAH Irak telah mengumumkan akan memulai operasi pembebasan kota Mosul dari ISIS Senin lalu. Sebanyak 30 ribu anggota pasukan Irak ditambah pasukan Kurdi serta dukungan serangan udara dari Amerika Serikat (AS) telah ambil bagian dalam perang yang mungkin akan berlangsung antara satu sampai tiga bulan.

Pemerintah Irak mungkin dapat membersihkan ISIS dari Mosul secara militer tetapi belum tentu dapat membersihkan kota itu dari kepentingan-kepentingan yang terlibat seperti Turki, negara Kurdi, beberapa kelompok milisi baik dari kelompok Sunni maupun Shiah dan AS sendiri. Pembebasan Mosul dari ISIS tidak akan menjamin tercapainya pemerintahan yang stabil apabila negara-negara yang terlibat tidak menahan diri dan menghormati kedaulatan Pemerintah Irak.

Seperti halnya Kota Aleppo di negara Suriah, kota Mosul yang dikuasai oleh ISIS sulit untuk direbut sejak bulan Juni 2014. Hal ini karena di dalam kota itu terdapat sekitar 1,5 juta masyarakat sipil yang dapat menjadi korban jika perang dilakukan tanpa rencana. Sebanyak 5.000 sampai 6.000 teroris yang mendiami kota ini menggunakan warga sipil dan fasilitas umum untuk bersembunyi. Akibatnya, operasi militer lewat udara tidak dapat dilakukan kecuali melalui serangan darat.

Serangan udara juga memiliki risiko besar mengenai sasaran sipil. Apalagi ISIS membakar sebagian tangki-tangki minyak mentah untuk menciptakan kabut hitam yang menganggu satelit atau pun pesawat nir-awak kekuatan militer Barat.

Meski begitu, serangan darat juga memiliki risiko yang besar. Karena ISIS telah memasang ribuan ranjau darat yang disebar tidak hanya di jalan tetapi di dalam rumah-rumah penduduk sehingga kemungkinan akan jatuhnya korban sipil bisa jauh lebih besar dari pada teroris itu sendiri. Praktis aksi militer di Mosul memerlukan rencana yang strategis dari seluruh pihak yang memiliki keinginan untuk menyingkirkan ISIS dari kota tersebut.

Kota ini penting bagi semua pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam konflik yang bertujuan untuk menumpas ISIS. Bagi pemerintah Irak, kota ini adalah kota terbesar kedua setelah Baghdad.

Pada masa sebelum perang, Mosul adalah sebuah kota industri dan juga provinsi yang menghubungkan perdagangan antara Turki dan Suriah. Kota ini juga menjadi jalur perdagangan dan dekat dengan ladang-ladang minyak yang menyumbang pendapatan untuk pemerintahan Irak. Ladang-ladang minyak itu disalurkan melalui jalur pipa menuju Turki.

Kekayaan kota Mosul baik dari cadangan minyak hingga ratusan juta dollar AS yang tersimpan di bank-bank baik swasta maupun pemerintah jatuh ke tangan ISIS ketika para prajurit Irak menyerah dan meninggalkan kota tersebut pada Juni 2014. Selain kekayaan ekonomi, ISIS juga menguasai peralatan dan amunisi senjata yang kemudian digunakan untuk melawan pemerintah Irak yang berkuasa.

Sementara bagi ISIS, kota ini menjadi simbol perlawanan dan perjuangan Negara Islam Irak dan Suriah. Abu Bakr al-Baghdadi telah mendeklarasikan kota ini sebagai ibu kota negara khilafah yang sedang dibangun. Kota ini juga penting bagi ISIS karena menjadi salah satu jalur untuk menyuplai senjata, dana atau tenaga ke wilayah Suriah yang saat ini masih dikuasai oleh ISIS. Kehilangan kota Mosul akan membuat perlawanan ISIS terhadap Suriah juga menjadi berat.

Turki juga merasa dirinya menjadi bagian dari Kota Mosul. Oleh sebab itu, ketika Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, mengumumkan akan melakukan operasi untuk mengambil alih kota Mosul, Presiden Turki Erdogan, menyatakan akan ikut serta dalam operasi pembebasan di Mosul. Dan tidak ada satu pihak pun yang dapat menahan keinginan itu termasuk Pemerintah Irak sekalipun.

Pemerintah Irak sudah meminta Turki untuk tidak ikut campur dan menarik pasukannya dari wilayah Bashiqa di Irak namun seruan itu tidak diindahkan. Turki menggunakan alasan untuk mempertahankan dominasi demografi Sunni di Kota Mosul untuk terlibat dalam pembebasan. Dalam pernyataannya di media, Erdogan mengatakan bahwa setelah Mosul dapat dibebaskan dari ISIS maka hanya Arab-Sunni, Bangsa Turki and Kurdi-Sunni yang harus tetap disana (Aljazeera, 14 Oktober 2016).

Pernyataan ini dilontarkan karena kekhawatiran bahwa gelombang milisi Shiah akan memasuki kota Mosul dan mengubah pertempuran ISIS menjadi pertempuran antara Sunni dan Shiah. Apabila demografi di Kota Mosul yang dulu didominasi oleh Sunni berubah menjadi kekuatan non-Sunni, maka kota itu dapat digunakan bagi organisasi teroris untuk mengancam kedaulatan di wilayah Turki. Seperti kita ketahui bahwa organisasi teroris yang diperangi di wilayah Irak dan Suriah bukan hanya ISIS, tetapi juga bangsa Kurdi yang menuntut otonomi wilayah.

Namun demikian, usaha pembebasan itu dapat menumbuhkan rasa optimis terhadap munculnya perdamaian. Pemerintahan Otonomi Bangsa Kurdi telah bersedia membantu membebaskan kota Mosul tanpa ada keinginannya menjadikan kota itu bagian dari wilayahnya.

Pemerintah Irak juga dikatakan telah berjanji untuk tidak melibatkan kekuatan lain, yaitu kekuatan milisi Shiah, untuk membebaskan kota Mosul. Sebagai gantinya, Amerika Serikat telah berkomitmen membantu Irak dalam pelatihan militer dan serangan udara. Keterlibatan milisi Shiah diramalkan memang akan mengurangi rasa percaya penduduk setempat akan Pemerintah Irak yang saat ini memang didominasi oleh faksi Shiah.

Pemerintah Irak sendiri secara internal sebenarnya belum stabil. Selain karena lemahnya militer mereka, terutama juga disebabkan karena perselisihan antara faksi-faksi di dalamnya terutama faksi Sunni dan Shiah yang juga melibatkan kepentingan negara-negara lain di kawasan.

Sebagai kesimpulan kita dapat menarik pelajaran dari kasus di Mosul dan kota-kota lain yang dikuasai oleh ISIS bahwa usaha penanggulangan teroris sebetulnya dapat berhasil dengan baik apabila semua pihak memiliki rasa kepercayaan satu dengan lain. Kita beruntung berada di wilayah Asia Tenggara yang satu sama lain masih mengedepankan penghormatan atas kedaulatan betapapun antar kita kerap terjadi perbedaan pendapat yang tajam.

Tidak dapat dibayangkan jika di kawasan ini sudah terjadi intervensi ini dan itu oleh pihak asing. Karena intervensi macam itu memunculkan rasa tidak percaya dan itulah yang mempertajam gerakan perpecahan dari dalam.

Indonesia juga perlu mengantisipasi dampak-dampak dari pembebasan kota Mosul dari ISIS terutama mengantisipasi para anggota teroris yang kemungkinan akan kembali pulang saat dan setelah perang berakhir. ISIS telah berhasil membangun diaspora teroris di berbagai negara yang dapat digunakan untuk menyerang pemerintahan yang dianggap menentang kepemimpinan ISIS. Berbagai negara di dunia saat ini juga mengantisipasi serangan ISIS yang biasanya dilakukan ketika mereka terdesak.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2983 seconds (0.1#10.140)