Agama dan Politik
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Hubungan agama dan politik selalu heboh. Ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Adapun politik menekankan aturan main yang mengarah pada perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara.
Kedua aspek itu pada praktiknya saling memengaruhi, bahkan tak terpisahkan. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang senantiasa menyatu.
Ini berbeda dari ajaran Kristen yang memisahkan antara hak gereja dan negara. Makanya dalam masyarakat kristiani di Barat, agama itu menjadi urusan pribadi. Negara tidak boleh intervensi. Negara melindungi dan mengatur seseorang sebagai warga negara, tetapi bukan penggembala umat yang beriman.
Jika ditarik pada sosok pembawanya, riwayat hidup Yesus dan Muhammmad memang berbeda. Jadi, ingatan kolektif umat Islam dan Kristen mengenai agama dan politik memang berbeda. Peran sosial politik yang dicontohkan Yesus dan Muhammad tidaklah sama.
Makanya ketika bicara hubungan agama dan politik, umat kristiani akan memilih teori sekularisme. Agama jangan dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral baik dalam ranah individu maupun sosial.
Namun ini tidak berarti agama tak memiliki pengaruh dalam proses politik. Misalnya saja Amerika Serikat (AS), meskipun pemerintahannya selalu membela demokrasi dan hak asasi manusia, masih tidak terbayangkan seorang muslim bisa terpilih sebagai presiden di sana hari ini. Jangankan Islam, dari kalangan Katolik pun berat.
Jadi, kalau isu agama masih muncul di Indonesia, itu wajar-wajar saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah muslim. Kedua, dalam sejarah Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu, sekalipun hal ini juga menimbulkan problem politik sangat serius.
Konflik dan perseteruan antarsesama dinasti Islam tak pernah surut, bahkan sampai hari ini. Yang terjadi adalah kepentingan politik yang dibumbui dan dicarikan legitimasinya pada agama.
Contoh paling kasatmata adalah perseteruan antara sekutu Arab Saudi dan sekutu Iran yang memiliki andil besar bagi munculnya kekacauan di Timur Tengah. Sama-sama muslim, tetapi berbeda agenda politiknya.
Lebih parah lagi konflik Israel dan Palestina yang berbeda agama dan agenda politiknya. Ratusan ribu umat Islam berhijrah ke Eropa mencari tempat yang aman, menyalahi memori kita ketika dulu Rasulullah dan sahabat yang hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Jadi, dalam dunia politik sesungguhnya tak ada yang terbebaskan dari pengaruh agama. Hanya formula peran dan keterlibatan agama dalam politik berbeda antara masyarakat Islam dan Kristen. Di AS misalnya, berdasarkan penelitian sosial, masyarakatnya jauh lebih religius ketimbang Eropa. Pengaruh kekristenannya diekspresikan dalam penguatan etika publik dan pada pribadi-pribadi pejabat publik, bukan pada sistem maupun undang-undang kenegaraan. Makanya tidak dikenal istilah "negara Kristen".
Dalam masyarakat Islam, masih ada obsesi untuk mendirikan "negara Islam" dengan mengacu pada negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi. Lalu ayat-ayat Alquran dan Hadis dijadikan rujukan undang-undang dan peraturan bernegara.
Pendeknya, agama harus masuk pada ruang dan sistem politik dan kenegaraan. Sampai-sampai muncul "Perda Syariah". Karena masih kuatnya pengaruh simbol-simbol keagamaan terhadap politik, maka di dunia Islam, termasuk Indonesia, peranan para ulama sangat signifikan dalam setiap pemilu.
Partai politik pun perlu menempelkan identitas keagamaan pada Anggaran Dasar atau logo parpolnya seperti gambar Kakbah pada PPP. Menjadi problem ketika partai-partai keagamaan itu tidak berprestasi lalu kalah dalam pilkada atau pemilu. Seakan posisi agamanya ikut kalah.
Problem lain juga muncul ketika kader dari parpol keagamaan itu gagal ketika mengemban jabatan publik. Sentimen agama sangat efektif untuk membangun solidaritas massa sesaat yang bersifat reaktif, bahkan radikal. Namun sering kali gagal ketika mengambil peran eksekutif melakukan pembangunan untuk memberikan pelayanan publik yang diharapkan konstituen.
Di Indonesia saat ini tengah heboh menghadapi pilkada. Berbagai ayat kitab suci pun dimunculkan untuk mendukung atau menolak calon. Terlalu mulia kalau martabat agama dan kitab suci dimanfaatkan dengan harga dan cara terlalu murah dan vulgar.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Hubungan agama dan politik selalu heboh. Ajaran agama menekankan keimanan, ritual peribadatan, dan moralitas. Adapun politik menekankan aturan main yang mengarah pada perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara.
Kedua aspek itu pada praktiknya saling memengaruhi, bahkan tak terpisahkan. Terlebih dalam ajaran dan sejarah Islam, agama dan politik sejak masa Rasulullah sampai sekarang senantiasa menyatu.
Ini berbeda dari ajaran Kristen yang memisahkan antara hak gereja dan negara. Makanya dalam masyarakat kristiani di Barat, agama itu menjadi urusan pribadi. Negara tidak boleh intervensi. Negara melindungi dan mengatur seseorang sebagai warga negara, tetapi bukan penggembala umat yang beriman.
Jika ditarik pada sosok pembawanya, riwayat hidup Yesus dan Muhammmad memang berbeda. Jadi, ingatan kolektif umat Islam dan Kristen mengenai agama dan politik memang berbeda. Peran sosial politik yang dicontohkan Yesus dan Muhammad tidaklah sama.
Makanya ketika bicara hubungan agama dan politik, umat kristiani akan memilih teori sekularisme. Agama jangan dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral baik dalam ranah individu maupun sosial.
Namun ini tidak berarti agama tak memiliki pengaruh dalam proses politik. Misalnya saja Amerika Serikat (AS), meskipun pemerintahannya selalu membela demokrasi dan hak asasi manusia, masih tidak terbayangkan seorang muslim bisa terpilih sebagai presiden di sana hari ini. Jangankan Islam, dari kalangan Katolik pun berat.
Jadi, kalau isu agama masih muncul di Indonesia, itu wajar-wajar saja. Pertama, penduduk mayoritas warganya adalah muslim. Kedua, dalam sejarah Islam, hubungan agama dan politik itu senantiasa menyatu, sekalipun hal ini juga menimbulkan problem politik sangat serius.
Konflik dan perseteruan antarsesama dinasti Islam tak pernah surut, bahkan sampai hari ini. Yang terjadi adalah kepentingan politik yang dibumbui dan dicarikan legitimasinya pada agama.
Contoh paling kasatmata adalah perseteruan antara sekutu Arab Saudi dan sekutu Iran yang memiliki andil besar bagi munculnya kekacauan di Timur Tengah. Sama-sama muslim, tetapi berbeda agenda politiknya.
Lebih parah lagi konflik Israel dan Palestina yang berbeda agama dan agenda politiknya. Ratusan ribu umat Islam berhijrah ke Eropa mencari tempat yang aman, menyalahi memori kita ketika dulu Rasulullah dan sahabat yang hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Jadi, dalam dunia politik sesungguhnya tak ada yang terbebaskan dari pengaruh agama. Hanya formula peran dan keterlibatan agama dalam politik berbeda antara masyarakat Islam dan Kristen. Di AS misalnya, berdasarkan penelitian sosial, masyarakatnya jauh lebih religius ketimbang Eropa. Pengaruh kekristenannya diekspresikan dalam penguatan etika publik dan pada pribadi-pribadi pejabat publik, bukan pada sistem maupun undang-undang kenegaraan. Makanya tidak dikenal istilah "negara Kristen".
Dalam masyarakat Islam, masih ada obsesi untuk mendirikan "negara Islam" dengan mengacu pada negara Madinah di bawah kepemimpinan Nabi. Lalu ayat-ayat Alquran dan Hadis dijadikan rujukan undang-undang dan peraturan bernegara.
Pendeknya, agama harus masuk pada ruang dan sistem politik dan kenegaraan. Sampai-sampai muncul "Perda Syariah". Karena masih kuatnya pengaruh simbol-simbol keagamaan terhadap politik, maka di dunia Islam, termasuk Indonesia, peranan para ulama sangat signifikan dalam setiap pemilu.
Partai politik pun perlu menempelkan identitas keagamaan pada Anggaran Dasar atau logo parpolnya seperti gambar Kakbah pada PPP. Menjadi problem ketika partai-partai keagamaan itu tidak berprestasi lalu kalah dalam pilkada atau pemilu. Seakan posisi agamanya ikut kalah.
Problem lain juga muncul ketika kader dari parpol keagamaan itu gagal ketika mengemban jabatan publik. Sentimen agama sangat efektif untuk membangun solidaritas massa sesaat yang bersifat reaktif, bahkan radikal. Namun sering kali gagal ketika mengambil peran eksekutif melakukan pembangunan untuk memberikan pelayanan publik yang diharapkan konstituen.
Di Indonesia saat ini tengah heboh menghadapi pilkada. Berbagai ayat kitab suci pun dimunculkan untuk mendukung atau menolak calon. Terlalu mulia kalau martabat agama dan kitab suci dimanfaatkan dengan harga dan cara terlalu murah dan vulgar.
(poe)