Revisi UU Pemilu Dinilai Kebiri Partai Baru
A
A
A
JAKARTA - Usulan revisi Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilu yang digulirkan pemerintah untuk dibahas di DPR mendapat sorotan berbagai pihak.
Adapun salah satunya dari Ketua Umum DPP Lembaga Bantuan Hukum Perindo, Ricky K Margono yang mengkritisi beberapa pasal dalam revisi UU tersebut, antara lain Pasal 192 dan Pasal 190.
Menurut dia, dalam Pasal 192 menjelaskan partai peserta pemilu yang tidak menjadi peserta pemilu pada pemilu periode sebelumnya, dalam mengusung pasangan calon wajib bergabung dengan partai peserta pemilu yang menjadi peserta pemilu pada periode sebelumnya.
“Dengan kata lain partai-partai baru tidak dapat mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden," ucap Ricky dalam pernyataan tertulis kepada MNC Media, Kamis (13/10/2016).
Ricky juga mengkritisi Pasal 190 yang menjelasakan pasangan capres dan cawapres hanya boleh diusulkan oleh partai politik atau gabungannya dengan perolehan kursi paling sedikit 20% dari perolehan kursi DPR atau 25% dari suara sah pemilu anggota dpr periode sebelumnya. (Baca juga: Partai Baru Dilarang Nyapres, Partai Lama Merajalela)
Politisi Perindo ini menjelaskan, hal di atas menimbulkan kontraproduktif dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menjelaskan, MK telah memutuskan Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak, dalam hal ini pemilu legislatif dan pemilu presiden.
“Kalimat pasal tersebut yang menyatakan partai peserta pemilu dengan perolehan suara 20 % pada saat Pemilu 2019 nanti tidak mungkin dapat terlaksana akibat dari pelaksanaan pemilu yang serentak tadi,” tuturnya. (Baca juga: Yusril: Pemerintah Cari Akal Batasi Parpol Usung Capres)
Bila merujuk kedua pasal tersebut, Ricky melihat ada upaya mengebiri partai-partai baru. Dia mensinyalir revisi UU Pemilu sebagai bentuk ketakutan partai-partai lama menyikapi kehadiran partai-partai baru pada Pemilu 2019 mendatang.
“Kenapa saya mengatakan pengkebirian? Karena jelas di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pasangan capres dan cawapres diajukan oleh partai politik ataupun gabungan partai politik serta terlihat tendensi kekhawatiran partai-partai lama akan hadirnya partai-partai baru,” tutur Ricky.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai revisi UU Pemilu merupakan strategi partai-partai pemenang pemilu 2014 untuk mengunci parpol-parpol baru agar tidak memunculkan calon presiden.
Menurut dia, partai lama tak ingin setiap parpol baru mengusulkan orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi dan disukai rakyat.
“Ini adalah kepentingan dari partai-partai politik lama untuk membatasi peluang partai baru, jika parpol baru mengusung tokoh-tokoh alternative ini akan menjadi pilihan bagi masyarkatkan,” katanya kepada MNC Media, Kamis (13/10/2016).
Kehadiran partai-partai baru pada Pemilu 2019 nanti diduga akan menjadi batu sandungan bagi partai-partai lama yang tidak memiliki tokoh-tokoh yang menjadi pilihan bagi masyarakat.
Untuk itu, kata Tigor, hadirnya partai politik baru yang memiliki figur yang disukai oleh masyarakat sebagai calon presiden menjadi ketakutan tersendiri bagi partai-partai lama.
“Partai baru ini mendukung sosok idola bagi masyarakat, dukungan masyarkat kepada parpol juga ditentukan siapa capres yang didukunganya,” ujar Tigor.
Adapun salah satunya dari Ketua Umum DPP Lembaga Bantuan Hukum Perindo, Ricky K Margono yang mengkritisi beberapa pasal dalam revisi UU tersebut, antara lain Pasal 192 dan Pasal 190.
Menurut dia, dalam Pasal 192 menjelaskan partai peserta pemilu yang tidak menjadi peserta pemilu pada pemilu periode sebelumnya, dalam mengusung pasangan calon wajib bergabung dengan partai peserta pemilu yang menjadi peserta pemilu pada periode sebelumnya.
“Dengan kata lain partai-partai baru tidak dapat mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden," ucap Ricky dalam pernyataan tertulis kepada MNC Media, Kamis (13/10/2016).
Ricky juga mengkritisi Pasal 190 yang menjelasakan pasangan capres dan cawapres hanya boleh diusulkan oleh partai politik atau gabungannya dengan perolehan kursi paling sedikit 20% dari perolehan kursi DPR atau 25% dari suara sah pemilu anggota dpr periode sebelumnya. (Baca juga: Partai Baru Dilarang Nyapres, Partai Lama Merajalela)
Politisi Perindo ini menjelaskan, hal di atas menimbulkan kontraproduktif dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menjelaskan, MK telah memutuskan Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak, dalam hal ini pemilu legislatif dan pemilu presiden.
“Kalimat pasal tersebut yang menyatakan partai peserta pemilu dengan perolehan suara 20 % pada saat Pemilu 2019 nanti tidak mungkin dapat terlaksana akibat dari pelaksanaan pemilu yang serentak tadi,” tuturnya. (Baca juga: Yusril: Pemerintah Cari Akal Batasi Parpol Usung Capres)
Bila merujuk kedua pasal tersebut, Ricky melihat ada upaya mengebiri partai-partai baru. Dia mensinyalir revisi UU Pemilu sebagai bentuk ketakutan partai-partai lama menyikapi kehadiran partai-partai baru pada Pemilu 2019 mendatang.
“Kenapa saya mengatakan pengkebirian? Karena jelas di dalam UUD 1945 dikatakan bahwa pasangan capres dan cawapres diajukan oleh partai politik ataupun gabungan partai politik serta terlihat tendensi kekhawatiran partai-partai lama akan hadirnya partai-partai baru,” tutur Ricky.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos menilai revisi UU Pemilu merupakan strategi partai-partai pemenang pemilu 2014 untuk mengunci parpol-parpol baru agar tidak memunculkan calon presiden.
Menurut dia, partai lama tak ingin setiap parpol baru mengusulkan orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi dan disukai rakyat.
“Ini adalah kepentingan dari partai-partai politik lama untuk membatasi peluang partai baru, jika parpol baru mengusung tokoh-tokoh alternative ini akan menjadi pilihan bagi masyarkatkan,” katanya kepada MNC Media, Kamis (13/10/2016).
Kehadiran partai-partai baru pada Pemilu 2019 nanti diduga akan menjadi batu sandungan bagi partai-partai lama yang tidak memiliki tokoh-tokoh yang menjadi pilihan bagi masyarakat.
Untuk itu, kata Tigor, hadirnya partai politik baru yang memiliki figur yang disukai oleh masyarakat sebagai calon presiden menjadi ketakutan tersendiri bagi partai-partai lama.
“Partai baru ini mendukung sosok idola bagi masyarakat, dukungan masyarkat kepada parpol juga ditentukan siapa capres yang didukunganya,” ujar Tigor.
(dam)