Jangan Anggap Partai Politik Baru sebagai Musuh
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah menjegal partai politik (parpol) baru agar tidak bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Pemilu 2019 terus menuai kritik.
Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Pipit R Kartawidajaja mengatakan, kehadiran parpol baru yang ingin memunculkan kadernya menjadi pejabat eksekutif tidak bisa dipersempit dengan regulasi.
"Karena itu di manapun selalu tumbuh partai baru. Jadi itu tidak bisa dihalangi dengan regulasi semacam apapun kayak di Indonesia," ujar Pipit usai berbicara dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/10/2016).
Sebagaimana diketahui, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan adanya aturan dalam revisi Undang-undang Pemilu yang menetapkan parpol pengusung capres dan cawapres didasarkan atas hasil Pemilu 2014.
Usulan tersebut disoroti berbagai pihak karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD termasuk pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 harus dilaksanakan bersamaan.
Putusan tersebut merupakan jawaban MK atas gugatan uji materi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Atas putusan itu, setiap parpol berhak mengusung capres-cawapres pada 2019. (Baca juga: Yusril: Pemerintah Cari Akal Batasi Parpol Usung Capres)
Menurut Pipit, kehadiran parpol baru tidak bisa dimusuhi apalagi dihadang dengan senjata berupa persyaratan ambang batas.
Dia mengatakan, kecenderungan kultur politik di Indonesia selalu berubah. Jadi hak untuk mendirikan parpol tidak bisa dibatasi. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah dan DPR tidak bisa melarang parpol baru mengusung capres dan cawapres.
Bahkan, Pipit menilai sah saja jika di suatu daerah dibentuk partai lokal untuk mengusung kader daerah yang dianggap mumpuni memimpin daerahnya.
"Setiap warga negara kan punya hak untuk ikut berpartisipasi," katanya. (Baca juga: Parpol Baru Dilarang Nyapres, Parpol Besar Merajalela)
Peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Pipit R Kartawidajaja mengatakan, kehadiran parpol baru yang ingin memunculkan kadernya menjadi pejabat eksekutif tidak bisa dipersempit dengan regulasi.
"Karena itu di manapun selalu tumbuh partai baru. Jadi itu tidak bisa dihalangi dengan regulasi semacam apapun kayak di Indonesia," ujar Pipit usai berbicara dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (9/10/2016).
Sebagaimana diketahui, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan adanya aturan dalam revisi Undang-undang Pemilu yang menetapkan parpol pengusung capres dan cawapres didasarkan atas hasil Pemilu 2014.
Usulan tersebut disoroti berbagai pihak karena dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD termasuk pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2019 harus dilaksanakan bersamaan.
Putusan tersebut merupakan jawaban MK atas gugatan uji materi Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Atas putusan itu, setiap parpol berhak mengusung capres-cawapres pada 2019. (Baca juga: Yusril: Pemerintah Cari Akal Batasi Parpol Usung Capres)
Menurut Pipit, kehadiran parpol baru tidak bisa dimusuhi apalagi dihadang dengan senjata berupa persyaratan ambang batas.
Dia mengatakan, kecenderungan kultur politik di Indonesia selalu berubah. Jadi hak untuk mendirikan parpol tidak bisa dibatasi. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah dan DPR tidak bisa melarang parpol baru mengusung capres dan cawapres.
Bahkan, Pipit menilai sah saja jika di suatu daerah dibentuk partai lokal untuk mengusung kader daerah yang dianggap mumpuni memimpin daerahnya.
"Setiap warga negara kan punya hak untuk ikut berpartisipasi," katanya. (Baca juga: Parpol Baru Dilarang Nyapres, Parpol Besar Merajalela)
(dam)