Batas Harga Pangan
A
A
A
TERNYATA, pulsa seluler salah satu pemicu utama tingkat inflasi sepanjang September 2016. Publikasi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat inflasi bulan lalu tercetak sekitar 0,22%, yang disumbang lima kelompok pengeluaran, meliputi biaya sewa rumah, biaya kuliah baik tingkat akademi maupun perguruan tinggi, harga cabai merah, tarif listrik, serta pembelian pulsa seluler.
Dari lima kelompok pengeluaran yang mendongkrak angka inflasi paling dominan adalah biaya sewa rumah sekitar 0,03%, diikuti tarif listrik sebesar 0,02%. Saat ini posisi tingkat inflasi untuk tahun kalender Januari hingga September 2016 tercetak sekitar 1,97%.
Dalam memantau perkembangan inflasi tersebut, BPS melakukan observasi terhadap 82 kota. Hasil observasi menunjukkan sebanyak 58 kota mengalami inflasi dan 24 kota terjadi deflasi. Lembaga statistik milik negara itu mencatat inflasi tertinggi terjadi di Sibolga yang mencapai 1,85%.
Sebaliknya, di Purwokerto dan Banyuwangi mengalami inflasi terendah sekitar 0,02%. Adapun deflasi tertinggi terjadi di luar Pulau Jawa yakni di Pontianak, Kalimantan Barat sekitar 1,06%. Kelompok pengeluaran yang menyumbangkan deflasi adalah harga beras dan harga telur ayam. Dan, secara umum harga bahan makanan mengalami deflasi sekitar 0,07%.
Dengan melihat perkembangan angka inflasi dalam sembilan bulan tahun ini, pihak BPS optimistis dalam tiga bulan ke depan angka inflasi terkendali sehingga target inflasi 4% yang dipatok pemerintah sepanjang tahun ini bisa terealisasi. Memang untuk menekan angka inflasi agar bisa terkontrol dengan baik sejumlah kebijakan siap diterbitkan pemerintah. Di antaranya Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sepakat menetapkan batas atas (ceiling price) untuk harga jual eceran dan batas bawah (floor price) untuk harga pembelian ke petani. Kebijakan tersebut untuk menutupi kelemahan kebijakan terkait penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) beras dan gabah yang dinilai tidak efektif.
Sebelumnya Kementan bersama Kemendag, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kemeterian Koperasi dan UKM telah duduk bersama pengusaha dan petani membicarakan bagaimana menjaga stabilitas dan pasokan pangan strategis sebagai bagian dari upaya menekan angka inflasi dengan memotong rantai pasok distribusi pangan yang panjang dari sembilan titik menjadi empat titik. Pemerintah berharap pemotongan rantai pasok distribusi itu dapat dirasakan langsung dampak positifnya terhadap petani.
Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat disparitas yang sangat lebar antara harga di tingkat petani dan harga di pasaran. Selain itu, disepakati pula agar produksi petani ada jaminan terserap oleh pasar.
Akankah efektif kebijakan batas harga pangan untuk mengendalikan tingkat inflasi? Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai langkah pemerintah untuk meredam inflasi melalui acuan harga pangan jauh dari efektif.
Masalahnya, penetapan harga hanya sebagai referensi, petani sebatas tahu harga referensi terendah, sedangkan konsumen paham harga referensi tertinggi untuk sebuah komoditas. Idealnya, bila tercipta harga di luar batas yang ditetapkan, pihak terlibat dapat bersikap. Persoalan yang muncul, tidak ada jaminan untuk mendapatkan harga yang adil sesuai harga referensi pemerintah.
Selama ini tata niaga pangan di Indonesia di luar kontrol pemerintah. Tata niaga yang ada berdasarkan mekanisme pasar di mana dipenuhi kartel. Akibat itu, setiap terjadi kenaikan harga pangan pemerintah tidak punya kuasa mengontrol harga.
Selain itu, INDEF juga mempertanyakan seputar sanksi kepada para pedagang yang menjual di luar batas referensi harga pangan yang ditetapkan pemerintah. Jadi, instrumen pengawas itu penting untuk menjaga keadilan dalam penetapan batas harga pangan tersebut.
Memang, pemerintah harus selalu memutar akal untuk menerbitkan kebijakan yang tepat, terutama dalam mengantisipasi perkembangan inflasi di negeri ini. Sebuah kebijakan harus teruji saat implementasi sehingga peluang untuk dilakukan revisi terhadap aturan yang tidak tepat sasaran selalu terbuka lebar. Mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo bahwa menjaga inflasi di negeri yang memiliki puluhan ribu pulau memang bukan persoalan gampang terkait distribusi dan ketersediaan pasokan pangan setiap saat.
Dari lima kelompok pengeluaran yang mendongkrak angka inflasi paling dominan adalah biaya sewa rumah sekitar 0,03%, diikuti tarif listrik sebesar 0,02%. Saat ini posisi tingkat inflasi untuk tahun kalender Januari hingga September 2016 tercetak sekitar 1,97%.
Dalam memantau perkembangan inflasi tersebut, BPS melakukan observasi terhadap 82 kota. Hasil observasi menunjukkan sebanyak 58 kota mengalami inflasi dan 24 kota terjadi deflasi. Lembaga statistik milik negara itu mencatat inflasi tertinggi terjadi di Sibolga yang mencapai 1,85%.
Sebaliknya, di Purwokerto dan Banyuwangi mengalami inflasi terendah sekitar 0,02%. Adapun deflasi tertinggi terjadi di luar Pulau Jawa yakni di Pontianak, Kalimantan Barat sekitar 1,06%. Kelompok pengeluaran yang menyumbangkan deflasi adalah harga beras dan harga telur ayam. Dan, secara umum harga bahan makanan mengalami deflasi sekitar 0,07%.
Dengan melihat perkembangan angka inflasi dalam sembilan bulan tahun ini, pihak BPS optimistis dalam tiga bulan ke depan angka inflasi terkendali sehingga target inflasi 4% yang dipatok pemerintah sepanjang tahun ini bisa terealisasi. Memang untuk menekan angka inflasi agar bisa terkontrol dengan baik sejumlah kebijakan siap diterbitkan pemerintah. Di antaranya Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sepakat menetapkan batas atas (ceiling price) untuk harga jual eceran dan batas bawah (floor price) untuk harga pembelian ke petani. Kebijakan tersebut untuk menutupi kelemahan kebijakan terkait penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) beras dan gabah yang dinilai tidak efektif.
Sebelumnya Kementan bersama Kemendag, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kemeterian Koperasi dan UKM telah duduk bersama pengusaha dan petani membicarakan bagaimana menjaga stabilitas dan pasokan pangan strategis sebagai bagian dari upaya menekan angka inflasi dengan memotong rantai pasok distribusi pangan yang panjang dari sembilan titik menjadi empat titik. Pemerintah berharap pemotongan rantai pasok distribusi itu dapat dirasakan langsung dampak positifnya terhadap petani.
Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat disparitas yang sangat lebar antara harga di tingkat petani dan harga di pasaran. Selain itu, disepakati pula agar produksi petani ada jaminan terserap oleh pasar.
Akankah efektif kebijakan batas harga pangan untuk mengendalikan tingkat inflasi? Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai langkah pemerintah untuk meredam inflasi melalui acuan harga pangan jauh dari efektif.
Masalahnya, penetapan harga hanya sebagai referensi, petani sebatas tahu harga referensi terendah, sedangkan konsumen paham harga referensi tertinggi untuk sebuah komoditas. Idealnya, bila tercipta harga di luar batas yang ditetapkan, pihak terlibat dapat bersikap. Persoalan yang muncul, tidak ada jaminan untuk mendapatkan harga yang adil sesuai harga referensi pemerintah.
Selama ini tata niaga pangan di Indonesia di luar kontrol pemerintah. Tata niaga yang ada berdasarkan mekanisme pasar di mana dipenuhi kartel. Akibat itu, setiap terjadi kenaikan harga pangan pemerintah tidak punya kuasa mengontrol harga.
Selain itu, INDEF juga mempertanyakan seputar sanksi kepada para pedagang yang menjual di luar batas referensi harga pangan yang ditetapkan pemerintah. Jadi, instrumen pengawas itu penting untuk menjaga keadilan dalam penetapan batas harga pangan tersebut.
Memang, pemerintah harus selalu memutar akal untuk menerbitkan kebijakan yang tepat, terutama dalam mengantisipasi perkembangan inflasi di negeri ini. Sebuah kebijakan harus teruji saat implementasi sehingga peluang untuk dilakukan revisi terhadap aturan yang tidak tepat sasaran selalu terbuka lebar. Mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo bahwa menjaga inflasi di negeri yang memiliki puluhan ribu pulau memang bukan persoalan gampang terkait distribusi dan ketersediaan pasokan pangan setiap saat.
(poe)