Rakyat Menunggu Penyelesaian Kasus Century-BLBI
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/Inisiator Hak Angket Kasus Century
SISA persoalan dari dua kasus besar, megaskandal Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), masih berserakan. Bangsa ini masih menanggung malu karena belum bisa menuntaskan proses hukum dua kasus tersebut. Maka, jangan terburu-buru menutup buku dua kasus besar itu sebab pemerintah dan semua institusi penegak hukum memiliki sejumlah instrumen yang mampu menuntaskan proses hukumnya.
Kasus Bank Century dan BLBI masih dan akan terus menjadi perhatian masyarakat. Dan, sudah bertahun-tahun pula masyarakat menunggu kesungguhan semua institusi penegak hukum menuntaskan proses hukum dua kasus besar ini demi terwujudnya keadilan. Jika proses hukum dua kasus itu dihentikan, rasa keadilan rakyat akan terluka. Rakyat akan menilai penegak hukum melakukan tebang pilih. Pisau hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Sejauh yang dipahami publik, tidak cukup alasan untuk menghentikan proses hukum dua kasus itu. Pertama, mengacu pada catatan historis Bank Century dan BLBI yang menggambarkan masih ada sejumlah potongan kasus yang belum selesai. Kedua, melihat upaya semua institusi penegak hukum membangun sinergi. Sinergi antarinstitusi penegak hukum yang makin solid saat ini sebenarnya mampu menuntaskan proses hukum kasus Bank Century maupun kasus BLBI.
Misalnya, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bersepakat melakukan investigasi bersama pada sejumlah kasus korupsi skala besar. Kesepakatan itu diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo pada 19 Agustus 2016. Memang, prioritas kesepakatan itu hanya fokus pada kebocoran pengeluaran negara dan kebocoran penerimaan negara.
Selain kesepakatan itu, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri juga mulai meningkatkan koordinasi supervisi (korsup) dengan KPK dan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi. Selain itu, rencana KPK menambah penyidik dari unsur kepolisian juga sudah disepakati.
Karena kasus Century dan BLBI berskala besar, kesepakatan investigasi bersama KPK-Polri seharusnya juga bisa mendorong kelanjutan proses hukum dua kasus besar tersebut. Apalagi, Polri bisa memanfaatkan kekuatan dan jaringan Interpol untuk mengintai para buron pada dua kasus ini. Seperti diketahui, masih ada sejumlah orang berstatus buron dari kasus Bank Century dan BLBI.
Selain instrumen kesepakatan Polri-KPK, masih ada instrumen lain yang sampai saat ini masih bekerja, yakni Tim Terpadu Pencari Tersangka, Terpidana, dan Aset (TTPTTA) dalam perkara tindak pidana. Tim terpadu yang beranggotakan unsur BIN, Polri, kejaksaan, dan lainnya itu dipimpin wakil jaksa agung. Adalah TTPTTA yang berhasil mengintai dan menangkap buron BLBI di China, Samadikun Hartono.
Jika instrumen-instrumen ini bisa bersinergi, tidak sulit untuk melanjutkan proses hukum kasus Bank Century dan Kasus BLBI. Dalam kasus penggelapan dana BLBI, kerugian negara sangat besar. Dari total dana BLBI Rp147,7 triliun kepada 48 bank, sebagian besar atau 95,878% digelapkan. Negara pun rugi Rp138,4 triliun.
Untuk memperkecil kerugian negara dan mempercepat proses pengembalian dana BLBI yang disalahgunakan itu, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2002 yang memberi wewenang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) bagi debitur BLBI yang kooperatif. SKL ini populer dengan sebutan inpres release and discharge. Debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang kendati hanya 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3). Belasan debitur sudah mengantongi SKL BLBI.
Di kemudian hari, Inpres Nomor 8/2002 itu dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum, termasuk UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan inilah yang kemudian didalami KPK karena muncul dugaan terjadi penyimpangan dalam penerbitan SKL BLBI. Jika proses penerbitan SKL BLBI tidak sesuai ketentuan, KPK akan merekomendasikan agar kasusnya dibuka kembali. Ketika mendalami kasus ini, KPK antara lain sudah meminta keterangan mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan sejumlah pejabat lain pada era kepresidenan Megawati Soekarnoputri.
Dalam kasus BLBI, masyarakat mendapatkan informasi tentang ada yang debitur belum membayar dan debitur yang pembayarannya belum lunas. Beberapa debitur BLBI bahkan masih berstatus buron. Untuk itu, KPK dan Kejaksaan Agung perlu memperjelas lagi konstruksi kasus BLBI agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam memahami kasus ini. Karena itu, dugaan penyimpangan dalam proses penerbitan SKL BLBI patut dilanjutkan.
Apalagi, penegak hukum masih harus mengejar buronan BLBI lain yang diduga bersembunyi di Singapura, China, Amerika Serikat, dan Australia. Buron BLBI yang belum tertangkap antara lain Lesmana Basuki, Eko Budi Putranto, Hary Matalata, Bambang Sumantri, dan beberapa nama lain. Itulah beberapa sisa persoalan dalam kasus BLBI yang masih harus dituntaskan.
Aset Century
Begitu juga terhadap berapa potongan persoalan dalam kasus Bank Century. Upaya merebut aset Bank Century (kini Bank Mutiara) di beberapa negara tidak memperlihatkan perkembangan yang jelas, khususnya setelah majelis arbitrase pada International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) dan United Nations Commission on International Trade Law (UNICTRAL) pada akhir 2014, menolak gugatan mantan pemegang saham Bank Century Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvi.
Berdasarkan catatan, aset Century yang disimpan di Swiss sekitar USD156 juta, tercatat sebagai milik mantan Komisaris Utama Bank Century Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi di LGT Bank. Belum jelas benar apakah dana itu masih dalam pengawasan Pengadilan Zurich karena ada gugatan perdata. Di Hong Kong, aset Century diperkirakan Rp86 miliar plus surat berharga senilai Rp3,5 triliun. Aset itu tersimpan di sejumlah bank dalam beberapa rekening antara lain di Standard Chartered Bank dan Ing Bank Arlington Assets Investment.
Seharusnya TTPTTA segera mengambil alih penanganan persoalan ini, bekerja sama dengan Kedubes RI di Swiss dan perwakilan RI di Hong Kong. Perburuan aset Century di Swiss sempat berantakan karena akses Duta Besar dan staf Kedubes RI di Swiss diputus oleh tim pemburu aset dari Jakarta. Padahal, sebelum direcoki tim pemburu aset dari Jakarta, upaya itu sudah sampai pada kesepakatan mutual legal assistance (MLA). Namun, pihak berwenang di Swiss mementahkan MLA karena akses Kedubes RI dipotong oleh tim dari Jakarta. Selain itu, pekerjaan tim menjadi makin tidak jelas karena pemerintah juga menggunakan jasa International Centre for Asset Recovery (ICAR). Lalu, karena status aset-aset itu dibekukan, otomatis tidak bisa dialihkan dengan cara apa pun.
Di dalam negeri, uang Century sudah dikonversi menjadi sejumlah aset bernilai triliunan rupiah, termasuk sebuah areal tanah di sekitar Cilandak yang bernilai Rp2 triliun. Sebagian besar dari aset itu belum berhasil disita kendati pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 9/2012 untuk menyita aset Century. Perpres ini menugaskan menkumham, mensesneg, menkeu, dan jaksa agung menangani pengembalian aset hasil tindak pidana Bank Century.
Seharusnya tidak ada keraguan untuk menuntaskan proses hukum kasus BLBI dan kasus Century. Ada kesepakatan Polri-KPK tentang investigasi bersama dan ada pula TTPTTA yang terbukti mampu mendeteksi posisi Samadikun Hartono di China. Jika semua instrumen ini bergerak dan bekerja konsisten, kasus BLBI dan kasus Century diyakini bisa dituntaskan.
Ketua Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar/Inisiator Hak Angket Kasus Century
SISA persoalan dari dua kasus besar, megaskandal Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), masih berserakan. Bangsa ini masih menanggung malu karena belum bisa menuntaskan proses hukum dua kasus tersebut. Maka, jangan terburu-buru menutup buku dua kasus besar itu sebab pemerintah dan semua institusi penegak hukum memiliki sejumlah instrumen yang mampu menuntaskan proses hukumnya.
Kasus Bank Century dan BLBI masih dan akan terus menjadi perhatian masyarakat. Dan, sudah bertahun-tahun pula masyarakat menunggu kesungguhan semua institusi penegak hukum menuntaskan proses hukum dua kasus besar ini demi terwujudnya keadilan. Jika proses hukum dua kasus itu dihentikan, rasa keadilan rakyat akan terluka. Rakyat akan menilai penegak hukum melakukan tebang pilih. Pisau hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Sejauh yang dipahami publik, tidak cukup alasan untuk menghentikan proses hukum dua kasus itu. Pertama, mengacu pada catatan historis Bank Century dan BLBI yang menggambarkan masih ada sejumlah potongan kasus yang belum selesai. Kedua, melihat upaya semua institusi penegak hukum membangun sinergi. Sinergi antarinstitusi penegak hukum yang makin solid saat ini sebenarnya mampu menuntaskan proses hukum kasus Bank Century maupun kasus BLBI.
Misalnya, Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah bersepakat melakukan investigasi bersama pada sejumlah kasus korupsi skala besar. Kesepakatan itu diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo pada 19 Agustus 2016. Memang, prioritas kesepakatan itu hanya fokus pada kebocoran pengeluaran negara dan kebocoran penerimaan negara.
Selain kesepakatan itu, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri juga mulai meningkatkan koordinasi supervisi (korsup) dengan KPK dan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi. Selain itu, rencana KPK menambah penyidik dari unsur kepolisian juga sudah disepakati.
Karena kasus Century dan BLBI berskala besar, kesepakatan investigasi bersama KPK-Polri seharusnya juga bisa mendorong kelanjutan proses hukum dua kasus besar tersebut. Apalagi, Polri bisa memanfaatkan kekuatan dan jaringan Interpol untuk mengintai para buron pada dua kasus ini. Seperti diketahui, masih ada sejumlah orang berstatus buron dari kasus Bank Century dan BLBI.
Selain instrumen kesepakatan Polri-KPK, masih ada instrumen lain yang sampai saat ini masih bekerja, yakni Tim Terpadu Pencari Tersangka, Terpidana, dan Aset (TTPTTA) dalam perkara tindak pidana. Tim terpadu yang beranggotakan unsur BIN, Polri, kejaksaan, dan lainnya itu dipimpin wakil jaksa agung. Adalah TTPTTA yang berhasil mengintai dan menangkap buron BLBI di China, Samadikun Hartono.
Jika instrumen-instrumen ini bisa bersinergi, tidak sulit untuk melanjutkan proses hukum kasus Bank Century dan Kasus BLBI. Dalam kasus penggelapan dana BLBI, kerugian negara sangat besar. Dari total dana BLBI Rp147,7 triliun kepada 48 bank, sebagian besar atau 95,878% digelapkan. Negara pun rugi Rp138,4 triliun.
Untuk memperkecil kerugian negara dan mempercepat proses pengembalian dana BLBI yang disalahgunakan itu, Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2002 yang memberi wewenang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) bagi debitur BLBI yang kooperatif. SKL ini populer dengan sebutan inpres release and discharge. Debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang kendati hanya 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3). Belasan debitur sudah mengantongi SKL BLBI.
Di kemudian hari, Inpres Nomor 8/2002 itu dinilai bertentangan dengan sejumlah ketentuan hukum, termasuk UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan inilah yang kemudian didalami KPK karena muncul dugaan terjadi penyimpangan dalam penerbitan SKL BLBI. Jika proses penerbitan SKL BLBI tidak sesuai ketentuan, KPK akan merekomendasikan agar kasusnya dibuka kembali. Ketika mendalami kasus ini, KPK antara lain sudah meminta keterangan mantan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti, mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, dan sejumlah pejabat lain pada era kepresidenan Megawati Soekarnoputri.
Dalam kasus BLBI, masyarakat mendapatkan informasi tentang ada yang debitur belum membayar dan debitur yang pembayarannya belum lunas. Beberapa debitur BLBI bahkan masih berstatus buron. Untuk itu, KPK dan Kejaksaan Agung perlu memperjelas lagi konstruksi kasus BLBI agar tidak terjadi kesimpang-siuran dalam memahami kasus ini. Karena itu, dugaan penyimpangan dalam proses penerbitan SKL BLBI patut dilanjutkan.
Apalagi, penegak hukum masih harus mengejar buronan BLBI lain yang diduga bersembunyi di Singapura, China, Amerika Serikat, dan Australia. Buron BLBI yang belum tertangkap antara lain Lesmana Basuki, Eko Budi Putranto, Hary Matalata, Bambang Sumantri, dan beberapa nama lain. Itulah beberapa sisa persoalan dalam kasus BLBI yang masih harus dituntaskan.
Aset Century
Begitu juga terhadap berapa potongan persoalan dalam kasus Bank Century. Upaya merebut aset Bank Century (kini Bank Mutiara) di beberapa negara tidak memperlihatkan perkembangan yang jelas, khususnya setelah majelis arbitrase pada International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) dan United Nations Commission on International Trade Law (UNICTRAL) pada akhir 2014, menolak gugatan mantan pemegang saham Bank Century Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvi.
Berdasarkan catatan, aset Century yang disimpan di Swiss sekitar USD156 juta, tercatat sebagai milik mantan Komisaris Utama Bank Century Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi di LGT Bank. Belum jelas benar apakah dana itu masih dalam pengawasan Pengadilan Zurich karena ada gugatan perdata. Di Hong Kong, aset Century diperkirakan Rp86 miliar plus surat berharga senilai Rp3,5 triliun. Aset itu tersimpan di sejumlah bank dalam beberapa rekening antara lain di Standard Chartered Bank dan Ing Bank Arlington Assets Investment.
Seharusnya TTPTTA segera mengambil alih penanganan persoalan ini, bekerja sama dengan Kedubes RI di Swiss dan perwakilan RI di Hong Kong. Perburuan aset Century di Swiss sempat berantakan karena akses Duta Besar dan staf Kedubes RI di Swiss diputus oleh tim pemburu aset dari Jakarta. Padahal, sebelum direcoki tim pemburu aset dari Jakarta, upaya itu sudah sampai pada kesepakatan mutual legal assistance (MLA). Namun, pihak berwenang di Swiss mementahkan MLA karena akses Kedubes RI dipotong oleh tim dari Jakarta. Selain itu, pekerjaan tim menjadi makin tidak jelas karena pemerintah juga menggunakan jasa International Centre for Asset Recovery (ICAR). Lalu, karena status aset-aset itu dibekukan, otomatis tidak bisa dialihkan dengan cara apa pun.
Di dalam negeri, uang Century sudah dikonversi menjadi sejumlah aset bernilai triliunan rupiah, termasuk sebuah areal tanah di sekitar Cilandak yang bernilai Rp2 triliun. Sebagian besar dari aset itu belum berhasil disita kendati pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 9/2012 untuk menyita aset Century. Perpres ini menugaskan menkumham, mensesneg, menkeu, dan jaksa agung menangani pengembalian aset hasil tindak pidana Bank Century.
Seharusnya tidak ada keraguan untuk menuntaskan proses hukum kasus BLBI dan kasus Century. Ada kesepakatan Polri-KPK tentang investigasi bersama dan ada pula TTPTTA yang terbukti mampu mendeteksi posisi Samadikun Hartono di China. Jika semua instrumen ini bergerak dan bekerja konsisten, kasus BLBI dan kasus Century diyakini bisa dituntaskan.
(poe)