Tata Ulang Bisnis Hewan Kurban

Kamis, 15 September 2016 - 14:02 WIB
Tata Ulang Bisnis Hewan Kurban
Tata Ulang Bisnis Hewan Kurban
A A A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010- sekarang), pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia AEPI

IDUL Adha baru saja berlalu. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini tidak ada lagi berita kejadian manusia terinjak-injak dan terluka atau meninggal antre daging kurban. Manajemen kurban kian membaik.

Namun, perbaikan itu belum menyentuh masalah dasar: bisnis hewan kurban. Bisnis hewan kurban amat menarik. Keuntungannya selangit. Karena itu, momentum Idul Adha setahun sekali selalu dinanti-nantikan banyak pihak: peternak (sapi/kerbau/ kambing/domba), belantik, pedagang perantara dan musiman. Galibnya dalam komoditas pangan, distribusi keuntungan bisnis hewan kurban tidak adil.

Porsi keuntungan terbesar dinikmati pedagang (perantara dan musiman), belantik, dan penjagal, bukan peternak. Ini terkait mata rantai pasokan ternak yang panjang dari peternak ke konsumen sehingga transparansi harga, cara bayar, kualitas, dan risiko usaha tak diketahui peternak. Pendek kata, sistem distribusi hewan kurban masih jauh dari efisien.

Ada tiga tujuan distribusi: memaksimalkan akses konsumen atas komoditas, mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya distribusi minimal, dan mengupayakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir kepada semua pihak yang terlibat kegiatan produksi dan distribusi barang sesuai peranan masing-masing.

Sistem distribusi dinilai efisien dan efektif bila memenuhi tiga syarat itu. Inefisiensi dan inefektivitas dalam bisnis hewan kurban dipastikan jauh dari memadai. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari karakteristik bisnis hewan kurban. Pertama, konsumen hewan kurban umumnya orang awam. Mereka tidak memiliki ”ilmu” menaksir berat badan dan karkas (daging) ternak hidup.

Sebaliknya, ilmu taksirmenaksir menjadi makanan sehari- hari para penjagal, belantik, dan pedagang. Keawaman konsumen ini mudah di-”eksploitasi” oleh penjual. Bentuknya macam-macam, yang paling sering tentu eksploitasi harga. Kedua, bisnis hewan kurban tidak mengenal hukum supply demand. Penjual akan menawarkan harga hewan kurban setinggi- tingginya kepada pembeli.

Penjual sadar para pembeli selain ”awam”, mereka ”orang-orang mampu” dan berdaya beli tinggi. Hampir pasti konsumen membeli, tidak mungkin menangguhkan berkurban tahun depan. Jika harga tidak terjangkau, konsumen akan mengalihkannya kepada ternak yang lebih murah. Selain itu, transaksi jual-beli hewan kurban terjadi dalam kurun waktu pendek. Ini membuat penjual dalam posisi tawar tinggi.

Penjual memiliki kekuatan besar untuk mempermainkan harga. Karena karakteristik itu, harga daging (hewan kurban) saat Idul Adha dipastikan lebih mahal ketimbang menjelang atau saat Idul Fitri. Anehnya, meskipun harga melambung, pemerintah tak sibuk seperti menghadapi Idul Fitri. Saat Idul Fitri, kenaikan harga daging membuat pemerintah panik.

Agar tidak berdampak besar pada inflasi, pemerintah menggelar operasi pasar, mengerahkan swasta dan sejumlah BUMN untuk mengguyur pasar dengan daging sapi. Bahkan, merelaksasi semua hambatan pemasukan sapi dari luar negeri. Mengapa itu dilakukan pemerintah? Barangkali penyebab utamanya adalah pembeli hewan kurban orang-orang mampu.

Sebaliknya, menjelang dan saat Idul Fitri seolah-olah ada keharusan bagi semua keluarga, tidak terkecuali yang miskin, untuk menyediakan masakan berkomponen daging sapi. Apakah akan dibuat rendang, gulai, atau masakan lain. Dengan label ”makan daging sekali setahun” memaksa semua lapisan warga membeli daging sapi, tak terkecuali mereka yang berdaya beli rendah.

Situasi psikologis itu menjadi permakluman. Harga ternak hidup dan daging sapi seperti layaknya tanah, dari tahun ke tahun selalu naik. Penyebab utamanya adalah daging sapi memiliki elastisitas pendapatan di atas satu. Artinya, jika pendapatan meningkat, konsumsi daging ikut meningkat. Bagaimana agar kenaikan harga daging berlangsung normatif, khususnya di Idul Fitri dan Idul Adha sehingga ekonomi tidak terganggu inflasi dan peternak bisa menikmati margin keuntungan adil?

Pertama, mengedukasi konsumen ihwal kualitas hewan kurban yang hendak dibeli. Konsumen bisa mengajak mereka yang mengerti ilmu hewan ternak saat membeli. Jika ini tidak mungkin dilakukan, transaksi jual-beli harus didasarkan timbangan berat badan hewan kurban. Cara ini akan menutup peluang pedagang mengeksploitasi konsumen karena pembelian tidak lagi berdasarkan taksiran. Ini sepele, tetapi bukan pekerjaan mudah. Para pedagang biasanya, sengaja atau tidak, tidak menyediakan timbangan di tempat berjualan.

Kedua, mengatur bisnis hewan kurban. Pengaturan ini dilakukan dengan cara mengharuskan penjual hewan kurban menempatkan jualannya di lokasi yang layak, tidak ubahnya kandang. Bukan dibiarkan tersengat panas matahari dan terpapar hujan seperti selama ini. Pakan juga harus terjamin.

Dengan cara itu, hewan kurban akan diperlakukan dengan baik, produktivitas daging tetap terjaga, dan manfaat buat mustahik semakin besar.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6758 seconds (0.1#10.140)
pixels