Jadilah Air Yang Jernih
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
RUPANYA peringatan ulang tahun ke-80 BJ Habibie tidak cukup hanya sekali dirayakan. Selasa 2 Agustus 2016 lalu, HUT Habibie (25 Juni 1936) dirayakan lagi di Hotel Shangri-La Jakarta atas prakarsa Dato Sri Tahir, pendiri Mayapada Foundation. Persahabatan kedua orang itu sudah terjalin lama. Tahir mengagumi Habibie sebagai putra bangsa yang sangat peduli pada dunia pendidikan agar Indonesia mampu bersaing dalam bidang sains dan industri dalam kancah dunia. Habibie tak pernah lelah untuk mendorong dan menginspirasi generasi muda untuk selalu menuntut ilmu, karena sebuah bangsa akan maju bukan karena kekayaan sumber daya alamnya, melainkan keunggulan ilmu pengetahuan dan integritas generasi mudanya.
Dalam sambutannya, Habibie berpesan kepada para tamu dengan menggunakan metafora air. Jadilah air yang jernih. Yang selalu membawa kesegaran, kebersihan, dan kesuburan bagi lingkungannya. Air yang jernih senantiasa diperlukan oleh siapa pun. Untuk minum, mandi, mencuci kesemuanya diperlukan air jernih. Begitulah kehidupan kita, mari kita isi agar dengan jatah usia yang sangat terbatas, kita isi dengan karya laksana air jernih yang selalu bermanfaat dan diperlukan orang lain. Kehadirannya selalu ditunggu atau bahkan dicari karena kelangsungan hidup ini sangat bergantung pada air. Jangan jadi air yang keruh dan kotor yang akan jadi sumber penyakit.
Metafora Habibie berupa air ini sejalan dengan narasi Alquran yang sering kali menggunakan kata air dan cahaya. Padang yang tandus itu bisa berubah menjadi hijau dan enak dipandang setelah air hujan mengguyurnya. Lalu, hewan ternak merumput sehingga bisa menyuguhkan daging segar dan susu untuk manusia. Bahkan terdapat ayat yang menyatakan, ’dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup’. Wa ja'alna minal ma’i kulla syai’in hayyin. Jika tubuh mengalami dehidrasi, mesti segera memperoleh perawatan medis agar tidak fatal akibatnya.
Metafora lain adalah cahaya yang kehadirannya akan mendatangkan terang karena gelap akan lari. Kita sangat memerlukan cahaya agar jalan terlihat terang benderang sehingga terhindar dari lubang atau jurang yang mencelakakan. Ajaran para nabi dan rasul Allah itu sering diibaratkan air dan cahaya. Air membawa kehidupan dan kesegaran, cahaya menuntun pada jalan yang benar dan lurus.
Jadi, meneruskan sambutan dan menilai sosok Habibie, dia telah berusaha hadir dan tumbuh bagaikan air yang membawa kesuburan dan nilai tambah dari apa yang dilakukan selama ini. Sayang sekali, mimpi besar dengan seluruh kesiapannya untuk membangun industri dirgantara terganjal di tengah jalan. Ratusan anak didiknya yang dikuliahkan ke berbagai kampus papan atas dunia akhirnya justru negara dan bangsa lain yang menikmati hasilnya. Mereka tidak bisa mengimplementasikan ilmunya di negaranya sendiri. Sebuah teka-teki dan kecelakaan sejarah.
Habibie juga bagaikan cahaya. Tak lelah berbagi ilmu dan pengalaman hidupnya untuk kita semua. Dia akan tercatat sebagai salah satu peletak dasar tradisi berdemokrasi secara elegan. Meski tidak duduk dalam pemerintahan, dia tidak pernah menunjukkan kesal pada lawan politiknya, karena Habibie memandang semuanya adalah teman seperjuangan dalam memajukan bangsa dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Maka ibarat air jernih, Habibie selalu disambut hangat oleh semua pihak. Semua politisi menaruh respek padanya. Kehadirannya tidak mengancam, tetapi menyejukkan.
Mewakili The Habibie Centre, Sofian Effendi memberi sambutan singkat pada malam itu. Dengan berseloroh, mantan rektor UGM ini mengatakan bahwa Pak Habibie sekarang ini tak ubahnya selebritas bintang film. Sibuk syuting pembuatan film. Dua film tentang dirinya telah beredar di gedung bioskop, Habibie-Ainun dan Rudy Habibie, sekarang tengah digarap berjudul Ainun. Telah menunggu pembuatan film berikutnya, pengalaman dan kesaksian Habibie mengawal transisi pascalengsernya Pak Harto yang penuh intrik dan ketegangan.
Dalam usianya yang ke-80, Pak Habibie masih energik dan selalu antusias jika pidato di atas mimbar. Otaknya selalu bekerja aktif sehingga selalu segar bugar mengalahkan usia fisiknya. Empat bulan lalu saya menemani Pak Habibie memberi sambutan pada acara peluncuran buku Dato Tahir, Living Sacrifice, di Kampus NTU Singapura.
Mengawali pidatonya, Habibie berucap: I am sorry, my English is not good. So, allow me to speak in bahasa Indonesia. Saya sangat tersentuh dengan kalimat itu, betapa Habibie bersikap rendah hati. Siapa yang meragukan kecakapan Pak Habibie berbahasa Inggris? Atau dia ingin mengingatkan agar warga Singapura menghargai bahasa dan bangsa Indonesia, mengingat ekonomi Singapura sangat dipengaruhi ekonomi Indonesia. Bukankah banyak orang kaya Indonesia yang uangnya parkir di Singapura? Selamat panjang umur Pak Habibie, engkau bagaikan air jernih yang selalu membawa kesejukan, kesuburan, dan pertumbuhan bagi anak-anak bangsa.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
RUPANYA peringatan ulang tahun ke-80 BJ Habibie tidak cukup hanya sekali dirayakan. Selasa 2 Agustus 2016 lalu, HUT Habibie (25 Juni 1936) dirayakan lagi di Hotel Shangri-La Jakarta atas prakarsa Dato Sri Tahir, pendiri Mayapada Foundation. Persahabatan kedua orang itu sudah terjalin lama. Tahir mengagumi Habibie sebagai putra bangsa yang sangat peduli pada dunia pendidikan agar Indonesia mampu bersaing dalam bidang sains dan industri dalam kancah dunia. Habibie tak pernah lelah untuk mendorong dan menginspirasi generasi muda untuk selalu menuntut ilmu, karena sebuah bangsa akan maju bukan karena kekayaan sumber daya alamnya, melainkan keunggulan ilmu pengetahuan dan integritas generasi mudanya.
Dalam sambutannya, Habibie berpesan kepada para tamu dengan menggunakan metafora air. Jadilah air yang jernih. Yang selalu membawa kesegaran, kebersihan, dan kesuburan bagi lingkungannya. Air yang jernih senantiasa diperlukan oleh siapa pun. Untuk minum, mandi, mencuci kesemuanya diperlukan air jernih. Begitulah kehidupan kita, mari kita isi agar dengan jatah usia yang sangat terbatas, kita isi dengan karya laksana air jernih yang selalu bermanfaat dan diperlukan orang lain. Kehadirannya selalu ditunggu atau bahkan dicari karena kelangsungan hidup ini sangat bergantung pada air. Jangan jadi air yang keruh dan kotor yang akan jadi sumber penyakit.
Metafora Habibie berupa air ini sejalan dengan narasi Alquran yang sering kali menggunakan kata air dan cahaya. Padang yang tandus itu bisa berubah menjadi hijau dan enak dipandang setelah air hujan mengguyurnya. Lalu, hewan ternak merumput sehingga bisa menyuguhkan daging segar dan susu untuk manusia. Bahkan terdapat ayat yang menyatakan, ’dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup’. Wa ja'alna minal ma’i kulla syai’in hayyin. Jika tubuh mengalami dehidrasi, mesti segera memperoleh perawatan medis agar tidak fatal akibatnya.
Metafora lain adalah cahaya yang kehadirannya akan mendatangkan terang karena gelap akan lari. Kita sangat memerlukan cahaya agar jalan terlihat terang benderang sehingga terhindar dari lubang atau jurang yang mencelakakan. Ajaran para nabi dan rasul Allah itu sering diibaratkan air dan cahaya. Air membawa kehidupan dan kesegaran, cahaya menuntun pada jalan yang benar dan lurus.
Jadi, meneruskan sambutan dan menilai sosok Habibie, dia telah berusaha hadir dan tumbuh bagaikan air yang membawa kesuburan dan nilai tambah dari apa yang dilakukan selama ini. Sayang sekali, mimpi besar dengan seluruh kesiapannya untuk membangun industri dirgantara terganjal di tengah jalan. Ratusan anak didiknya yang dikuliahkan ke berbagai kampus papan atas dunia akhirnya justru negara dan bangsa lain yang menikmati hasilnya. Mereka tidak bisa mengimplementasikan ilmunya di negaranya sendiri. Sebuah teka-teki dan kecelakaan sejarah.
Habibie juga bagaikan cahaya. Tak lelah berbagi ilmu dan pengalaman hidupnya untuk kita semua. Dia akan tercatat sebagai salah satu peletak dasar tradisi berdemokrasi secara elegan. Meski tidak duduk dalam pemerintahan, dia tidak pernah menunjukkan kesal pada lawan politiknya, karena Habibie memandang semuanya adalah teman seperjuangan dalam memajukan bangsa dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Maka ibarat air jernih, Habibie selalu disambut hangat oleh semua pihak. Semua politisi menaruh respek padanya. Kehadirannya tidak mengancam, tetapi menyejukkan.
Mewakili The Habibie Centre, Sofian Effendi memberi sambutan singkat pada malam itu. Dengan berseloroh, mantan rektor UGM ini mengatakan bahwa Pak Habibie sekarang ini tak ubahnya selebritas bintang film. Sibuk syuting pembuatan film. Dua film tentang dirinya telah beredar di gedung bioskop, Habibie-Ainun dan Rudy Habibie, sekarang tengah digarap berjudul Ainun. Telah menunggu pembuatan film berikutnya, pengalaman dan kesaksian Habibie mengawal transisi pascalengsernya Pak Harto yang penuh intrik dan ketegangan.
Dalam usianya yang ke-80, Pak Habibie masih energik dan selalu antusias jika pidato di atas mimbar. Otaknya selalu bekerja aktif sehingga selalu segar bugar mengalahkan usia fisiknya. Empat bulan lalu saya menemani Pak Habibie memberi sambutan pada acara peluncuran buku Dato Tahir, Living Sacrifice, di Kampus NTU Singapura.
Mengawali pidatonya, Habibie berucap: I am sorry, my English is not good. So, allow me to speak in bahasa Indonesia. Saya sangat tersentuh dengan kalimat itu, betapa Habibie bersikap rendah hati. Siapa yang meragukan kecakapan Pak Habibie berbahasa Inggris? Atau dia ingin mengingatkan agar warga Singapura menghargai bahasa dan bangsa Indonesia, mengingat ekonomi Singapura sangat dipengaruhi ekonomi Indonesia. Bukankah banyak orang kaya Indonesia yang uangnya parkir di Singapura? Selamat panjang umur Pak Habibie, engkau bagaikan air jernih yang selalu membawa kesejukan, kesuburan, dan pertumbuhan bagi anak-anak bangsa.
(poe)