Pembangunan Berbasis Ruang
A
A
A
Medrial Alamsyah
Pengamat Publik Sektor Reformasi Birokrasi, Direktur Eksekutif SIGI Indonesia
SEJAK era Orde Baru hingga pemerintahan saat ini, pembangunan Indonesia menerapkan strategi pembangunan pusat-pusat pertumbuhan. Strategi yang didasari teori yang digagas oleh Perroux sekitar 1955 itu percaya bahwa dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan maka proses pembangunan akan menyebar ke wilayah sekitarnya. Kutub-kutub pertumbuhan itu akan berimbas (trickle-down effect) pada wilayah atau daerah sekitarnya secara otomatis.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru dengan membangun berbagai infrastruktur (jalan, pembangkit listrik, pelabuhan) tersebar di berbagai wilayah. Pemerintah juga mendorong investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan migas. Dengan begitu, daerah tempat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut otomatis menjadi pusat pertumbuhan baru.
Di masa Orde Baru, pemerintah membangun pabrik pupuk dan kimia lainnya di daerah yang ada gas alam seperti di Lhokseumawe, Palembang, Bontang, dan Gresik sehingga daerah itu tumbuh menjadi pusat pertumbuhan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggagas apa yang disebut MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan membagi Indonesia dalam enam koridor dan merancang pembangunan jalan tol, jalan lintas, jalan kereta api, pelabuhan, pembangkit listrik, dan infrastruktur lainnya di setiap koridor. Namun, konsep itu dijalankan oleh pemerintahan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, walaupun enggan menggunakan nama MP3EI.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut ditunjang pula oleh berbagai deregulasi, pengembangan konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), industrial estate, dsb. sehingga diharapkan investor swasta dari berbagai belahan dunia tertarik berinvestasi di sana. Adanya pembangunan infrastruktur-infrastruktur beserta deregulasi di atas mendorong pemerintah daerah dan swasta membangun industrial estate, kota-kota satelit baru, KEK, atau setidaknya industri skala kecil dan menengah di daerah jangkauan infrastruktur tadi. Semua bergairah sambil meneriakkan mantra trickle-down effect. Semua mengatakan bahwa pusat-pusat pertumbuhan itu membutuhkan tenaga kerja dan sumber daya lainnya, sehingga dapat menyejahterakan masyarakat sekitar.
Pemiskinan
Pengalaman menunjukkan trickle-down effect itu tidak pernah terjadi, jika tidak mau dikatakan sebaliknya, malah memiskinkan. Contoh klasik adalah Lhokseumawe, Aceh Utara. Hadirnya LNG Arun dan berbagai pabrik di sana tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat Lhokseumawe, namun sebaliknya menimbulkan kesenjangan yang nyata. Begitu pula di Bekasi, Tangerang, Bandung Selatan, dan tempat-tempat berdirinya berbagai pabrik dan real estate, kita menyaksikan fenomena yang sama.
Hal itu setidaknya disebabkan pembangunan jalan, industrial estate, real estate, dan pabrik-pabrik mengakibatkan alih fungsi lahan sehingga mematikan mata pencaharian tradisional.
Namun, mereka tidak otomatis bisa bekerja di sektor modern tersebut karena pengembangan pusat pertumbuhan (sektor ekonomi) tidak disinkronkan dengan sektor lain seperti pendidikan, sehingga penduduk yang telah kehilangan mata pencaharian tradisional itu tidak memiliki keahlian yang sesuai. Di samping itu, industri yang dikembangkan tidak memiliki keterkaitan dengan rantai nilai yang ada atau yang bisa dikembangkan di masyarakat. Dengan kata lain, industri yang dikembangkan dalam pusat-pusat pertumbuhan hanya memperhatikan aspirasi investor, bukan kebutuhan masyarakat lokal.
Selanjutnya mudah diduga: masyarakat lokal hanya jadi penonton dari pertumbuhan pesat di wilayahnya. Sementara kerusakan lingkungan yang berakibat langsung pada kehidupan dan kesehatan mereka berlangsung sepanjang masa. Kalaupun mereka mendapat manfaat sangatlah sedikit seperti menjadi jongos, sopir, dan warung-warung kecil tempat belanja karyawan pusat pertumbuhan. Bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat para investor, tentulah ibarat bumi dan langit. Tidak berlebihan bila para penganut pendekatan strukturalis menggambarkan jalan-jalan bagus yang dibangun itu hanya berfungsi untuk mengangkut sumber daya alam dari daerah ke pelabuhan, kemudian dibawa ke negara-negara pemilik modal.
Kawasan Ekonomi Kerakyatan
Kritik di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang sedang digerakkan pemerintah tidak diperlukan. Pembangunan infrastruktur diperlukan sejalan dengan kebutuhan penduduk yang terus tumbuh, di samping untuk merangsang investasi sehingga ekonomi bergerak, dan lapangan kerja tersedia. Akan tetapi, investasi tersebut harus dibuat benar-benar mampu menyejahterakan rakyat. Bukan sebaliknya, hanya merusak lingkungan, meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan. Untuk itu diperlukan koreksi terhadap strategi pusat-pusat pertumbuhan tersebut.
Pemerintah baik pusat maupun daerah, harus mengubah paradigma mereka bahwa pengimbasan kesejahteraan dari pusat-pusat pertumbuhan berjalan otomatis. Harus diyakini bahwa trickle-down effect itu hanya akan terjadi dan berlangsung optimal manakala sektor-sektor yang dikembangkan dirancang sedemikian rupa sesuai dengan potensi ekonomi dan sosial di wilayah bersangkutan. Mereka harus menghentikan pola pikir bahwa ketika industrial state dan KEK terbangun di daerahnya kelak penduduknya akan dapat pekerjaan dan sejahtera.
Banyak pekerjaan rumah yang perlu mereka lakukan sebelum pusat pertumbuhan baru dikembangkan. Mereka harus mengetahui secara pasti rantai pasok dan rantai nilai ekonomi yang sekarang menghidupi masyarakatnya. Berapa orang yang terlibat, adakah yang dominan dan berpotensi dikembangkan? Apakah rantai nilai yang ada sudah memanfaatkan potensi sumber daya yang ada secara optimal? Itulah setidaknya pertanyaan-pertanyaan pokok yang mesti dijawab sebelum menetapkan industri yang dikembangkan.
Setelah itu, pemerintah daerah (pemda) menetapkan rantai nilai apa yang akan dikembangkan agar masyarakat bisa terlibat secara optimal, baik sebagai pekerja maupun sebagai pemasok bahan baku dan pendukung. Apabila tidak mampu terlibat namun ada potensi untuk dikembangkan, pemerintah mesti memiliki langkah dan program sehingga pada saat sektor ekonomi atau industri tersebut eksis, masyarakatnya sudah siap berpartisipasi. Itulah materi pokok yang mestinya tertuang dalam dokumen rencana strategis pemerintah daerah dan dalam visi-misi kepala daerah. Dengan demikian, setiap daerah akan memiliki kawasan ekonomi kerakyatan, bukan kawasan ekonomi khusus yang eksklusif.
Penutup
Hampir semua pemda di Indonesia tidak memahami atau tidak peduli dengan konsep ini. Pemda hanya memiliki data sangat umum, yaitu sektor-sektor yang berkontribusi terhadap PDRB daerahnya. Mereka tidak mengetahui secara pasti rantai pasok apa yang berjalan di daerahnya. Berapa besar nilai dari rantai pasok atau rantai nilai tersebut berkontribusi terhadap kehidupan rakyatnya?
Ketidakpahaman atau ketidakpedulian terhadap konsep rantai pasok/nilai tersebut membuat pemerintah daerah asyik sendiri. Ada yang asyik bicara pariwisata karena yakin memiliki keindahan alam yang luar biasa, lalu bermimpi membangun hotel berbintang. Ada yang asyik menawarkan perkebunan sawit, tambang batu bara, emas, migas, dsb. Semua tidak memedulikan apakah masyarakatnya sudah dapat atau mampu berpartisipasi dalam rantai nilai baru tersebut.
Seharusnya pemda berpikir komprehensif atau lintas sektoral. Melihat daerahnya sebagai ruang yang di dalamnya ada sumber daya manusia yang harus dihidupi dengan segala potensi dan masalah yang melekat pada dirinya; ada sumber daya ekonomi yang sudah bergerak atau potensial digerakkan. Mungkin ada pula konflik antara potensi dan budaya setempat sehingga memerlukan program-program intervensi terlebih dahulu.
Dengan demikian, jika mau mengembangkan industri pariwisata pemda tidak fokus hanya membangun objek wisata, tetapi juga sekolah pariwisata, sekolah seni, industri kerajinan, dan industri kreatif yang merupakan bagian dari rantai pasok pariwisata. Apabila harga daging sangat mahal di daerahnya, sementara potensi pengembangan peternakan sapi dilihat dari semua segi (luas dan kesuburan lahan, ketersediaan air, budaya masyarakat) cukup besar, mungkin dikembangkan peternakan sapi, rumah potong, industri pengolahan daging, pertanian dan industri pakan ternak, dan berbagai rantai nilai terkait. Pendekatan ini yang penulis maksud dengan Pembangunan Berbasis Ruang.
Pengamat Publik Sektor Reformasi Birokrasi, Direktur Eksekutif SIGI Indonesia
SEJAK era Orde Baru hingga pemerintahan saat ini, pembangunan Indonesia menerapkan strategi pembangunan pusat-pusat pertumbuhan. Strategi yang didasari teori yang digagas oleh Perroux sekitar 1955 itu percaya bahwa dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan maka proses pembangunan akan menyebar ke wilayah sekitarnya. Kutub-kutub pertumbuhan itu akan berimbas (trickle-down effect) pada wilayah atau daerah sekitarnya secara otomatis.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan baru dengan membangun berbagai infrastruktur (jalan, pembangkit listrik, pelabuhan) tersebar di berbagai wilayah. Pemerintah juga mendorong investasi untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, seperti pertambangan migas. Dengan begitu, daerah tempat eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut otomatis menjadi pusat pertumbuhan baru.
Di masa Orde Baru, pemerintah membangun pabrik pupuk dan kimia lainnya di daerah yang ada gas alam seperti di Lhokseumawe, Palembang, Bontang, dan Gresik sehingga daerah itu tumbuh menjadi pusat pertumbuhan. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggagas apa yang disebut MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) dengan membagi Indonesia dalam enam koridor dan merancang pembangunan jalan tol, jalan lintas, jalan kereta api, pelabuhan, pembangkit listrik, dan infrastruktur lainnya di setiap koridor. Namun, konsep itu dijalankan oleh pemerintahan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, walaupun enggan menggunakan nama MP3EI.
Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan tersebut ditunjang pula oleh berbagai deregulasi, pengembangan konsep Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), industrial estate, dsb. sehingga diharapkan investor swasta dari berbagai belahan dunia tertarik berinvestasi di sana. Adanya pembangunan infrastruktur-infrastruktur beserta deregulasi di atas mendorong pemerintah daerah dan swasta membangun industrial estate, kota-kota satelit baru, KEK, atau setidaknya industri skala kecil dan menengah di daerah jangkauan infrastruktur tadi. Semua bergairah sambil meneriakkan mantra trickle-down effect. Semua mengatakan bahwa pusat-pusat pertumbuhan itu membutuhkan tenaga kerja dan sumber daya lainnya, sehingga dapat menyejahterakan masyarakat sekitar.
Pemiskinan
Pengalaman menunjukkan trickle-down effect itu tidak pernah terjadi, jika tidak mau dikatakan sebaliknya, malah memiskinkan. Contoh klasik adalah Lhokseumawe, Aceh Utara. Hadirnya LNG Arun dan berbagai pabrik di sana tidak meningkatkan kesejahteraan rakyat Lhokseumawe, namun sebaliknya menimbulkan kesenjangan yang nyata. Begitu pula di Bekasi, Tangerang, Bandung Selatan, dan tempat-tempat berdirinya berbagai pabrik dan real estate, kita menyaksikan fenomena yang sama.
Hal itu setidaknya disebabkan pembangunan jalan, industrial estate, real estate, dan pabrik-pabrik mengakibatkan alih fungsi lahan sehingga mematikan mata pencaharian tradisional.
Namun, mereka tidak otomatis bisa bekerja di sektor modern tersebut karena pengembangan pusat pertumbuhan (sektor ekonomi) tidak disinkronkan dengan sektor lain seperti pendidikan, sehingga penduduk yang telah kehilangan mata pencaharian tradisional itu tidak memiliki keahlian yang sesuai. Di samping itu, industri yang dikembangkan tidak memiliki keterkaitan dengan rantai nilai yang ada atau yang bisa dikembangkan di masyarakat. Dengan kata lain, industri yang dikembangkan dalam pusat-pusat pertumbuhan hanya memperhatikan aspirasi investor, bukan kebutuhan masyarakat lokal.
Selanjutnya mudah diduga: masyarakat lokal hanya jadi penonton dari pertumbuhan pesat di wilayahnya. Sementara kerusakan lingkungan yang berakibat langsung pada kehidupan dan kesehatan mereka berlangsung sepanjang masa. Kalaupun mereka mendapat manfaat sangatlah sedikit seperti menjadi jongos, sopir, dan warung-warung kecil tempat belanja karyawan pusat pertumbuhan. Bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat para investor, tentulah ibarat bumi dan langit. Tidak berlebihan bila para penganut pendekatan strukturalis menggambarkan jalan-jalan bagus yang dibangun itu hanya berfungsi untuk mengangkut sumber daya alam dari daerah ke pelabuhan, kemudian dibawa ke negara-negara pemilik modal.
Kawasan Ekonomi Kerakyatan
Kritik di atas tidak bermaksud mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang sedang digerakkan pemerintah tidak diperlukan. Pembangunan infrastruktur diperlukan sejalan dengan kebutuhan penduduk yang terus tumbuh, di samping untuk merangsang investasi sehingga ekonomi bergerak, dan lapangan kerja tersedia. Akan tetapi, investasi tersebut harus dibuat benar-benar mampu menyejahterakan rakyat. Bukan sebaliknya, hanya merusak lingkungan, meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan. Untuk itu diperlukan koreksi terhadap strategi pusat-pusat pertumbuhan tersebut.
Pemerintah baik pusat maupun daerah, harus mengubah paradigma mereka bahwa pengimbasan kesejahteraan dari pusat-pusat pertumbuhan berjalan otomatis. Harus diyakini bahwa trickle-down effect itu hanya akan terjadi dan berlangsung optimal manakala sektor-sektor yang dikembangkan dirancang sedemikian rupa sesuai dengan potensi ekonomi dan sosial di wilayah bersangkutan. Mereka harus menghentikan pola pikir bahwa ketika industrial state dan KEK terbangun di daerahnya kelak penduduknya akan dapat pekerjaan dan sejahtera.
Banyak pekerjaan rumah yang perlu mereka lakukan sebelum pusat pertumbuhan baru dikembangkan. Mereka harus mengetahui secara pasti rantai pasok dan rantai nilai ekonomi yang sekarang menghidupi masyarakatnya. Berapa orang yang terlibat, adakah yang dominan dan berpotensi dikembangkan? Apakah rantai nilai yang ada sudah memanfaatkan potensi sumber daya yang ada secara optimal? Itulah setidaknya pertanyaan-pertanyaan pokok yang mesti dijawab sebelum menetapkan industri yang dikembangkan.
Setelah itu, pemerintah daerah (pemda) menetapkan rantai nilai apa yang akan dikembangkan agar masyarakat bisa terlibat secara optimal, baik sebagai pekerja maupun sebagai pemasok bahan baku dan pendukung. Apabila tidak mampu terlibat namun ada potensi untuk dikembangkan, pemerintah mesti memiliki langkah dan program sehingga pada saat sektor ekonomi atau industri tersebut eksis, masyarakatnya sudah siap berpartisipasi. Itulah materi pokok yang mestinya tertuang dalam dokumen rencana strategis pemerintah daerah dan dalam visi-misi kepala daerah. Dengan demikian, setiap daerah akan memiliki kawasan ekonomi kerakyatan, bukan kawasan ekonomi khusus yang eksklusif.
Penutup
Hampir semua pemda di Indonesia tidak memahami atau tidak peduli dengan konsep ini. Pemda hanya memiliki data sangat umum, yaitu sektor-sektor yang berkontribusi terhadap PDRB daerahnya. Mereka tidak mengetahui secara pasti rantai pasok apa yang berjalan di daerahnya. Berapa besar nilai dari rantai pasok atau rantai nilai tersebut berkontribusi terhadap kehidupan rakyatnya?
Ketidakpahaman atau ketidakpedulian terhadap konsep rantai pasok/nilai tersebut membuat pemerintah daerah asyik sendiri. Ada yang asyik bicara pariwisata karena yakin memiliki keindahan alam yang luar biasa, lalu bermimpi membangun hotel berbintang. Ada yang asyik menawarkan perkebunan sawit, tambang batu bara, emas, migas, dsb. Semua tidak memedulikan apakah masyarakatnya sudah dapat atau mampu berpartisipasi dalam rantai nilai baru tersebut.
Seharusnya pemda berpikir komprehensif atau lintas sektoral. Melihat daerahnya sebagai ruang yang di dalamnya ada sumber daya manusia yang harus dihidupi dengan segala potensi dan masalah yang melekat pada dirinya; ada sumber daya ekonomi yang sudah bergerak atau potensial digerakkan. Mungkin ada pula konflik antara potensi dan budaya setempat sehingga memerlukan program-program intervensi terlebih dahulu.
Dengan demikian, jika mau mengembangkan industri pariwisata pemda tidak fokus hanya membangun objek wisata, tetapi juga sekolah pariwisata, sekolah seni, industri kerajinan, dan industri kreatif yang merupakan bagian dari rantai pasok pariwisata. Apabila harga daging sangat mahal di daerahnya, sementara potensi pengembangan peternakan sapi dilihat dari semua segi (luas dan kesuburan lahan, ketersediaan air, budaya masyarakat) cukup besar, mungkin dikembangkan peternakan sapi, rumah potong, industri pengolahan daging, pertanian dan industri pakan ternak, dan berbagai rantai nilai terkait. Pendekatan ini yang penulis maksud dengan Pembangunan Berbasis Ruang.
(poe)