Upaya Mengelola Intoleransi

Senin, 01 Agustus 2016 - 13:56 WIB
Upaya Mengelola Intoleransi
Upaya Mengelola Intoleransi
A A A
Bagong Suyanto
Dosen S-3 Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga,
Pernah Meneliti Konflik SARA di Negeri Johor, Malaysia dan Papua

INTOLERANSI adalah salah satu masalah sosial yang hingga kini masih menjadi ancaman bagi bangsa ini. Yang terbaru adalah berita tentang kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara. Hanya gara-gara salah paham dan rumor di media sosial, sejumlah tempat ibadah, yakni dua wihara dan lima kelenteng yang semula tidak ikut apa-apa, tiba-tiba dibakar massa.

Gejala perkembangan intoleransi harus diakui tidak hanya menjadi tren global, tetapi juga tengah mengancam kelangsungan ketenteraman dan keserasian sosial masyarakat di Tanah Air. Di Indonesia, intoleransi ibaratnya seperti bara api: tidak kelihatan di permukaan, tetapi gara-gara dipicu persoalan sepele bukan tidak mungkin perselisihan di tingkat individu dengan cepat menyebar menjadi aksi massa yang anarkistis.

Sumber Penyebab
Intoleransi adalah sumber masalah yang kerap membuat konflik horizontal seolah tidak pernah dapat terselesaikan. Konflik yang basisnya material atau perebutan sumber-sumber produksi dengan dukungan peran mediator atau arbitrator yang kuat, biasanya akan dapat segera ditangani, dan pihak yang bersengketa akan dapat dipertemukan kembali. Tetapi, sikap intoleran ibaratnya adalah penyakit kronis: ia adalah bara api yang susah untuk dipadamkan karena telah terinternalisasi di benak warga masyarakat, bertahun-tahun mengendap di sana dan kemudian menjadi dendam kesumat.

Di negara yang tengah berkecamuk perang saudara atau konflik yang basisnya perbedaan ideologi, terjadinya konflik antarkelompok niscaya tidak akan pernah dapat terselesaikan secara tuntas, sekalipun mungkin antar kelompok yang berbeda itu sebagian di antaranya telah terjadi asimilasi dan hubungan personal yang akrab. Ada dua hal penyebab intoleransi dinilai banyak pihak sebagai sumber penyebab terjadinya konflik yang tak berkesudahan.

Pertama, pada tingkat individu, sikap intoleran memang terkadang dapat dieliminasi dengan adanya proses interaksi sosial yang intens. Tetapi, pada level komunitas atau golongan niscaya yang namanya syakwasangka dan dendam kesumat akan tetap membara, sehingga hanya karena dipicu oleh persoalan yang sepele, bukan tidak mungkin konflik yang semula hanya terjadi di tingkat individu kemudian berkembang menjadi konflik terbuka yang berskala massal. Dalam kenyataan sudah lazim terjadi, karena terkontaminasi sosialisasi tentang kelompok lain yang penuh dengan syakwasangka, maka yang terjadi kemudian bukanlah pemahaman atas perbedaan yang ada, tetapi justru menguatnya sikap intoleransi terhadap kelompok yang dipandang the others .

Kedua, solidaritas yang tinggi atas penderitaan dan apa yang dialami kelompok in-group nya, yang biasanya akan mereduksi sikap kritis dan pandangan objektif seseorang karena adanya rasa senasib sepenanggungan yang kuat. Studi yang dilakukan penulis di Negeri Johor, Malaysia (2012) membuktikan bahwa di antara kelompok masyarakat Melayu dan etnis Tionghoa kerap hanya karena pertengkaran kecil di jalan raya, atau karena persoalan yang sepele antarindividu, tiba-tiba semua dengan cepat berkembang menjadi konflik massal atas nama solidaritas terhadap kelompok in-group-nya. Tanpa menimbang lebih jauh siapa sebetulnya yang salah dalam kasus persengketaan yang terjadi, yang penting adalah bagaimana mereka membela anggota kelompoknya yang tengah berhadapan dengan kelompok lain yang selama ini tidak pernah mereka empati.

Mengelola Intoleransi
Sebagai sebuah realitas sosial, intoleransi tidaklah mungkin dikesampingkan, apalagi dihapuskan. Di berbagai negara di mana elite yang berkuasa cenderung membiarkan perilaku intoleran tumbuh subur, dan ruang untuk memperlihatkan sikap intoleransi di masyarakat tidak pernah ditindak tegas, niscaya sikap intoleran justru akan makin tumbuh subur.

Dalam perspektif teori konflik, intoleransi, perseteruan, dendam kesumat, dan lain-lain, sebetulnya tidak akan berkembang menjadi energi yang destruktif jika negara memiliki kemampuan untuk mengelolanya. Dalam banyak kasus, intoleransi dan diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah tergelincir dan dimanipulasi hingga memicu terjadinya konflik yang manifes. Tetapi, di sisi yang bersamaan, sikap intoleransi dan perbedaan sosial sebenarnya sebetulnya tidak berarti akan selalu berubah menjadi konflik yang terbuka bilamana kita pandai-pandai mengatur dan menjaganya.

Di masyarakat di mana antarkelompok yang berbeda-beda kemudian dapat dipersatukan oleh karena berbagai-bagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliations), niscaya potensi terjadinya konflik yang terbuka akan dapat dinetralisasi oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai-bagai kelompok sosial (Nasikun, 1984). Konflik antar etnis, misalnya, akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas kesamaan agama atau daerah. Perselisihan antara golongan yang berbeda agama, dalam banyak kasus bisa diredam atau bahkan dihilangkan bila pihak-pihak yang berselisih memiliki persamaan dalam hobi dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan interaksi yang lebih intens.

Intoleransi adalah sesuatu yang destruktif, namun demikian sikap yang menutup-nutupi atau menganggap tabu adanya intoleransi sebagai sebuah realitas, niscaya tidak akan membuat kita tumbuh menjadi bangsa yang tahan banting. Indonesia harus disadari ibaratnya adalah sebuah mosaik yang disusun dari perca-perca perbedaan yang kemudian dipersatukan dalam perbedaan. Oleh sebab itu, seorang anak yang sejak dini dididik untuk menyadari bahwa ada kelompok yang berbeda dengan mereka, niscaya yang akan lahir adalah rasa toleransi dan kesadaran untuk menerima bahwa dalam kehidupan nyata selalu ada wilayah yang mesti dibagi dengan pihak lain.

Seperti dikatakan Coward (1999), bahwa klaim-klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim), ditambah doktrin agama yang sempit, niscaya dengan cepat dan mudah akan mengental menjadi ideologi yang dalam banyak hal justru mendorong tumbuhnya sikap fanatisme dan sikap intoleransi yang berlebihan. Untuk melawan sikap intoleran seperti ini, yang dibutuhkan tak pelak adalah counter-culture, sebuah nilai baru yang mau menerima perbedaan, dan bahkan mau menghargai perbedaan itu sebagai kunci untuk membangun keserasian sosial, serta kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam masyarakat yang pluralis, meminta kelompok satu dengan kelompok lain yang berbeda untuk menyatu dan saling berempati satu dengan yang lain adalah sesuatu yang mustahil. Tetapi sepanjang negara mau bersikap konsisten dan menjaga garis demarkasi perbedaan dengan adil dan objektif, niscaya sikap-sikap intoleran akan dapat direduksi hingga batas-batas yang tidak membahayakan integrasi bangsa.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6027 seconds (0.1#10.140)