Reshuffle untuk Apa dan Siapa?
A
A
A
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) akhirnya melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Pada reshuffle kedua Kabinet Kerja ini Jokowi mengganti delapan posisi dan menggeser empat posisi. Jokowi berharap kabinetnya bisa kerja cepat, efektif, dan solid.
Masyarakat tentu berharap setelah perombakan kabinet ini pemerintah menunjukkan kinerja lebih baik. Harapan ini wajar jika melihat sejumlah indikator makroekomi yang tidak menguntungkan seperti angka pengangguran yang naik 11,13% per September 2015 menjadi 28,52% dibanding periode sebelumnya dan meningkatnya angka pengangguran sebesar 5,94% menjadi 7,56 juta per Agustus 2015 lalu.
Namun, mampukah formasi kabinet baru memenuhi ekspektasi Jokowi tersebut demi mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran seperti disampaikan dalam sambutan pengumuman reshuffle tersebut? Pertanyaan tersebut perlu disampaikan mengingat target yang disampaikan saat pembentukan Kabinet Kerja dan reshuffle tahap pertama tidak banyak menjadi kenyataan.
Sebaliknya, seperti data ekonomi makro yang dirilis BPS di atas, kinerja pemerintahan menunjukkan penurunan dibanding era sebelumnya. Pertanyaan juga patut disampaikan karena Indonesia kini juga dihadapkan pada masalah lain yang tak kalah pelik seperti kesenjangan wilayah, pelemahan ekonomi global, dan berbagai persoalan lain.
Jawaban akan pertanyaan ini tentu harus melihat sejauh mana kemungkinan kompetensi orang per orang yang kini menduduki kabinet mampu menjawab tantangan yang ada dibanding sebelumnya. Hal ini searah dengan apakah formasi baru yang disusun Jokowi berorientasi kabinet profesional atau karena berdasar pertimbangan lain?
Selain munculnya nama Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, reshuffle yang dilakukan Jokowi harus diakui tidak banyak menghadirkan kejutan. Beberapa nama menteri yang sebenarnya patut masuk prioritas utama diganti karena kinerja tidak jelas, bahkan belepotan, ternyata tidak disentuh sama sekali. Hal ini secara langsung menyiratkan kinerja bukanlah indikator utama evaluasi utama prestasi menteri.
Di sisi lain, nama-nama yang selama ini dianggap publik telah menunjukkan kinerja positif dan kontribusi signifikan terhadap jalannya pemerintahan–seperti Ignasius Jonan, Anies Baswedan, Rizal Ramli–justru dicopot. Tergusurnya tiga nama di atas menjadi indikasi penegasan bahwa Jokowi benar-benar telah meninggalkan kabinet profesional, seperti dijanjikan saat kampanye.
Formasi kabinet terbaru bahkan secara langsung menandaskan adanya langkah politik akomodatif. Jokowi memilih mempertahankan porsi menteri untuk partai koalisi pendukungnya, dan di sisi lain memberi jatah baru untuk partai yang belakangan berubah sikap untuk menjadi bagian koalisi partai pendukung, yakni Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Masuknya kader Muhammadiyah juga bisa dipahami sebagai politik akomodatif tersebut.
Dengan latar belakangan menteri yang demikian, tidak rasional jika masyarakat berharap banyak Kabinet Kerja bisa menunjukkan perbaikan di tiga tahun sisa pemerintahan. Hal yang bakal terjadi malah kekhawatiran, sikap tegas yang ditunjukkan kementerian terkait sejumlah kontroversi seperti pembangunan KA cepat dan reklamasi teluk Jakarta, akan berlalu begitu saja. Jika demikian yang terjadi, reshuffle bukanlah untuk rakyat, tapi untuk mereka yang berkepentingan pada kontroversi tersebut.
Menguatnya akomodasi kabinet di sisi lain menunjukkan Jokowi tidak sepenuhnya berorientasi dan berkonsentrasi memperkuat kinerja pemerintahannya di sisa waktu yang ada. Mantan wali kota Solo itu lebih memilih memerkokoh basis kuda-kuda politiknya dengan menambah parpol dan ormas pendukung. Jika memang demikian arahnya, berarti Jokowi sudah secara dini berpikir untuk mengamankan posisinya pada Pilpres 2019 nanti.
Tentu siapa pun berharap segala kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan. Kalaupun tidak banyak berharap rezim pemerintah dan pemimpinnya, kita berharap Sri Mulyani benar-benar bisa membawa perubahan. Pengalamannya di kabinet sebelumnya dan sebagai managing director Bank Dunia bisa melahirkan jurus ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan, terutama di bidang ekonomi.
Masyarakat tentu berharap setelah perombakan kabinet ini pemerintah menunjukkan kinerja lebih baik. Harapan ini wajar jika melihat sejumlah indikator makroekomi yang tidak menguntungkan seperti angka pengangguran yang naik 11,13% per September 2015 menjadi 28,52% dibanding periode sebelumnya dan meningkatnya angka pengangguran sebesar 5,94% menjadi 7,56 juta per Agustus 2015 lalu.
Namun, mampukah formasi kabinet baru memenuhi ekspektasi Jokowi tersebut demi mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran seperti disampaikan dalam sambutan pengumuman reshuffle tersebut? Pertanyaan tersebut perlu disampaikan mengingat target yang disampaikan saat pembentukan Kabinet Kerja dan reshuffle tahap pertama tidak banyak menjadi kenyataan.
Sebaliknya, seperti data ekonomi makro yang dirilis BPS di atas, kinerja pemerintahan menunjukkan penurunan dibanding era sebelumnya. Pertanyaan juga patut disampaikan karena Indonesia kini juga dihadapkan pada masalah lain yang tak kalah pelik seperti kesenjangan wilayah, pelemahan ekonomi global, dan berbagai persoalan lain.
Jawaban akan pertanyaan ini tentu harus melihat sejauh mana kemungkinan kompetensi orang per orang yang kini menduduki kabinet mampu menjawab tantangan yang ada dibanding sebelumnya. Hal ini searah dengan apakah formasi baru yang disusun Jokowi berorientasi kabinet profesional atau karena berdasar pertimbangan lain?
Selain munculnya nama Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, reshuffle yang dilakukan Jokowi harus diakui tidak banyak menghadirkan kejutan. Beberapa nama menteri yang sebenarnya patut masuk prioritas utama diganti karena kinerja tidak jelas, bahkan belepotan, ternyata tidak disentuh sama sekali. Hal ini secara langsung menyiratkan kinerja bukanlah indikator utama evaluasi utama prestasi menteri.
Di sisi lain, nama-nama yang selama ini dianggap publik telah menunjukkan kinerja positif dan kontribusi signifikan terhadap jalannya pemerintahan–seperti Ignasius Jonan, Anies Baswedan, Rizal Ramli–justru dicopot. Tergusurnya tiga nama di atas menjadi indikasi penegasan bahwa Jokowi benar-benar telah meninggalkan kabinet profesional, seperti dijanjikan saat kampanye.
Formasi kabinet terbaru bahkan secara langsung menandaskan adanya langkah politik akomodatif. Jokowi memilih mempertahankan porsi menteri untuk partai koalisi pendukungnya, dan di sisi lain memberi jatah baru untuk partai yang belakangan berubah sikap untuk menjadi bagian koalisi partai pendukung, yakni Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Masuknya kader Muhammadiyah juga bisa dipahami sebagai politik akomodatif tersebut.
Dengan latar belakangan menteri yang demikian, tidak rasional jika masyarakat berharap banyak Kabinet Kerja bisa menunjukkan perbaikan di tiga tahun sisa pemerintahan. Hal yang bakal terjadi malah kekhawatiran, sikap tegas yang ditunjukkan kementerian terkait sejumlah kontroversi seperti pembangunan KA cepat dan reklamasi teluk Jakarta, akan berlalu begitu saja. Jika demikian yang terjadi, reshuffle bukanlah untuk rakyat, tapi untuk mereka yang berkepentingan pada kontroversi tersebut.
Menguatnya akomodasi kabinet di sisi lain menunjukkan Jokowi tidak sepenuhnya berorientasi dan berkonsentrasi memperkuat kinerja pemerintahannya di sisa waktu yang ada. Mantan wali kota Solo itu lebih memilih memerkokoh basis kuda-kuda politiknya dengan menambah parpol dan ormas pendukung. Jika memang demikian arahnya, berarti Jokowi sudah secara dini berpikir untuk mengamankan posisinya pada Pilpres 2019 nanti.
Tentu siapa pun berharap segala kekhawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan. Kalaupun tidak banyak berharap rezim pemerintah dan pemimpinnya, kita berharap Sri Mulyani benar-benar bisa membawa perubahan. Pengalamannya di kabinet sebelumnya dan sebagai managing director Bank Dunia bisa melahirkan jurus ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan, terutama di bidang ekonomi.
(kri)