Brexit
A
A
A
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
KATA Brexit mendadak populer. Boleh jadi itu karena kata tersebut menawarkan banyak nuansa. Ia menawarkan cerita tentang ketidakpastian, kemunduran, kecemasan, tetapi ada juga tragedi dan horornya. Baiklah kita bahas.
Sejatinya kata Brexit merujuk pada kepanjangan Britain Exit, bukan Brebes Exit. Tapi kini keduanya sudah jadi saudara. Kita semua tahu kata itu awalnya populer seiring dengan keluarnya Inggris Raya (Inggris, Irlandia Utara, Wales, dan Skotlandia) dari Uni Eropa (UE) sesuai dengan hasil referendum 23 Juni 2016. Kita juga sudah tahu, 52% warga Inggris memilih keluar dari UE. Mengapa mayoritas warga Inggris, yang sudah bergabung dengan UE sejak 1973, itu akhirnya memilih meninggalkan UE?
Penyokong utama keluarnya Inggris dari UE adalah orang-orang tua yang ingin pensiunnya tak diganggu ketidakpastian ekonomi UE. Selama ini, menurut media, mereka tak merasakan manfaat dari bergabungnya Inggris ke UE. Setidak-tidaknya kesejahteraan. Kalau yang tua mendukung Brexit, yang muda sebaliknya: melihat masa depan yang cerah jika Inggris Raya tetap bergabung dengan UE.
Orang-orang muda ini, yang melek teknologi informasi, sadar betul bahwa teknologi membuat dunia menyatu tanpa batas. Mempersoalkan batas-batas geografis kini tidak relevan lagi. Tapi Anda tahu kan, industrialisasi perekonomian sebuah negara telah mengakibatkan demand for children turun. Akibatnya jumlah kaum muda di negara-negara industri selalu mengerucut, kalah banyak dengan kaum tua yang tambah panjang umur berkat bioteknologi dan kemajuan ilmu kesehatan.
Bagi anak-anak muda Inggris Raya, kini saatnya berwirausaha dengan memanfaatkan sharing dan collaborative economy dalam kontinen yang lebih luas dan tak bersekat negara bangsa. Apalagi Inggris bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya. Maka agar perekonomiannya tetap tumbuh, Inggris harus mengandalkan sumber daya dari berbagai belahan dunia lainnya (global resources). Bukan hanya sumber daya. Pasar Inggris juga sangat terbatas. Jumlah penduduk Inggris saat ini hanya sekitar 65 juta. Sementara jumlah penduduk UE lebih dari 500 juta.
Pasar yang luar biasa besar. Jadi, bagi orang-orang muda, masa depan Inggris ada di luar sana, di UE. Bukan di Inggris. Perubahan seperti inilah yang tidak dipahami oleh orang-orang tua yang dulunya hanya punya satu pilihan: jadi pegawai sampai pensiun. Maka orang-orang muda ini sangat menyesalkan keluarnya Inggris dari UE. Kata mereka, “Bagaimana mungkin nasib kita ditentukan oleh orang-orang tua yang usianya mungkin tinggal 5-10 tahun lagi?
Sementara kita yang masih akan hidup hingga puluhan tahun ke depan harus menanggung beban atas keputusan yang mereka ambil.” Hasil voting tersebut jelas menciptakan ketidakpastian baru baik bagi Inggris Raya, UE, dan dunia. Ketidakpastian itu juga melanda masa depan Liga Inggris. Kita tahu banyak pemain sepak bola dari negara-negara lain yang merumput di klub-klub Liga Inggris. Itu pula yang membuat Liga Inggris ditonton oleh jutaan pasang mata warga dunia.
Mereka ingin menyaksikan pemain dari negaranya yang bertanding di Liga Inggris. Apa jadinya kalau pemain-pemain asing tadi dipaksa hengkang dari Liga Inggris? Saya sendiri mungkin akan memilih berhenti menonton siaran langsungnya. Apa asyiknya menyaksikan Liga Inggris tanpa Dimitri Payet, Anthony Martial, Diego Costa atau Eden Hazard? Tapi kini keputusan sudah diambil. Kini Inggris sudah menyusul Yunani yang lebih dulu keluar dari UE atau Grexit. Perubahan sudah bergulir. Ketidakpastian semakin meningkat, terutama setelah langkah Inggris mungkin saja ditiru negara UE lainnya seperti Prancis (Frexit), Spanyol (Spexit), Jerman (Gexit).
Kemacetan Terparah
Bukan hanya itu. Kata Brexit memang menyisakan beban kesulitan. Fengshuinya buruk. Persis seperti nama jalan di Bali yang dulu selalu bikin pusing banyak orang: Simpang Siur. Benar-benar mumet, macet, dan buat orang mudah naik pitam. Di Indonesia, kata Brexit adalah akronim dari Brebes Timur Exit. Kalau sudah pahit, mudik yang semestinya menjadi peristiwa gembira dan menyenangkan berubah menjadi ketidakpastian, juga horor dan tragedi.
Bayangkan, kemacetan kendaraan mengular ke belakang mencapai lebih dari 20 km! Banyak pemudik yang terpaksa menempuh jarak Jakarta- Brebes hingga lebih dari 25 jam. Betul-betul horor! Padahal, jika kondisinya normal, jarak sejauh 270 km tersebut mungkin bisa ditempuh hanya dalam waktu 4-5 jam. Kalau Rio Haryanto yang mengemudi mungkin tak sampai 1 jam. Saking macetnya, media-media asing menobatkan peristiwa di Brexit sebagai kemacetan terburuk di dunia.
Media Inggris Daily Mail memajang judul yang provokatif: “Apakah ini kemacetan terparah di dunia?” Selain horor, di Brexit juga terjadi tragedi. Selama kemacetan, sebanyak 17 orang tewas. Penyebabnya jelas pemudiknya tidak dalam kondisi prima. Ada di antaranya yang sakit jantung. Tapi terhambatnya upaya pertolongan tim medis juga ikut berperan. Jangan-jangan, tahu akan ada yang butuh bantuan saja juga tidak. Sepertinya ada yang tak beres bekerja di sini.
Lari Tupai
Kita tentu sudah banyak mendengar keluh kesah selama mudik, terutamaakibatkemacetan. Ada beberapa yang menyebut pada ajang mudik selalu terjadi pemecahan rekor. Kalau beberapa tahun lalu waktu tempuh Jakarta-Yogyakarta masih bisa 20 jam, makin ke belakang makin molor.
Memanjang jadi 22 jam, lalu 25 jam, 31 jam, dan mudik kemarin menjadi yang terlama: 36 jam. Akankah rekor bakal pecah lagi tahun depan? Saya berharap tidak. Keluhan lainnya, kemacetannya yang berpindah-pindah. Kalau dulu di sepanjang jalur pantura, lalu bergeser ke ruas tol Jakarta-Cikampek, kini pindah lagi ke ruas tol Cipali. Apakah tahun depan bakal bergeser lagi?
Kalau yang ini memang agak sulit dihindari. Sebab selama masa mudik, jumlah kendaraannya yang serentak meninggalkan Jakarta setiap tahun tambah terus. Terakhir jadi 1,6 juta. Mengapa sih kita tak punya cara untuk menguranginya? Bukankah kita dibekali ilmu ekonomi untuk menata perilaku konsumsi? Apalagi kalau kita tak memberi insentif atau disinsentif agar pemudik berpindah memakai moda transportasi lain.
Yang dilontarkan selama ini justru insentif untuk memakai jalur darat pakai mobil. Mungkin kita memang lebih suka dengan Jepang yang laris manis penjualan automotifnya. Bahkan waktu mau dibuatkan kereta cepat buatan China, banyak juga yang mati-matian membela Jepang, bahkan mengatakan seakan-akan Jakarta-Bandung masih bisa ditempuh hanya dengan 2 jam. Mari kita lihat pernyataan para pejabat yang secara implisit memberi insentif agar penumpang yang mudik ke sekitar Jawa Tengah memakai mobil saja. Perhatikanlah.
“Kalau arus balik menimbulkan kemacetan lagi, baiknya tiket tol digratiskan.” “Terminal bandara baru jangan dulu diresmikan.” “Tiket kereta sudah habis.” “Jalur trans- Jawa dipastikan tinggal sebentar lagi.” Atau yang terakhir, “Jarak tempuh jalur darat ini hanya empat jam,” dan seterusnya. Begitulah Brexit. Kata yang mestinya dimaknai dengan jalan keluar, perubahan menuju ke arah yang lebih baik, justru meningkatkan ketidakpastian, berubah menjadi horor dan tragedi.
Setelah itu beberapa pejabat setingkat menteri hanya bisa tunjuk kesalahan di tangan orang lain, bukan menunjuk diri sendiri. Padahal tiap orang bisa saja punya kontribusi negatif karena telah mengirim sinyal agar pemudik bergerak dengan kendaraan darat lewat jalan tol. Lalu ketika macet, cuma tak berdaya sajakah? Padahal, kita ingin Brexit memberikan exit bagi permasalahan saat ini.
Exit yang memberikan tantangan baru. Bukan tantangan yang kelihatannya saja baru, tetapi sebetulnya ibarat tupai yang berlari di dalam kandangnya. Kelihatannya berubah, larinya kencang, tetapi sesungguhnya hanya berlari di tempat. Di situ-situ saja. Kalau mau maju, tentu bukan perubahan seperti itu yang kita inginkan.
Founder Rumah Perubahan
KATA Brexit mendadak populer. Boleh jadi itu karena kata tersebut menawarkan banyak nuansa. Ia menawarkan cerita tentang ketidakpastian, kemunduran, kecemasan, tetapi ada juga tragedi dan horornya. Baiklah kita bahas.
Sejatinya kata Brexit merujuk pada kepanjangan Britain Exit, bukan Brebes Exit. Tapi kini keduanya sudah jadi saudara. Kita semua tahu kata itu awalnya populer seiring dengan keluarnya Inggris Raya (Inggris, Irlandia Utara, Wales, dan Skotlandia) dari Uni Eropa (UE) sesuai dengan hasil referendum 23 Juni 2016. Kita juga sudah tahu, 52% warga Inggris memilih keluar dari UE. Mengapa mayoritas warga Inggris, yang sudah bergabung dengan UE sejak 1973, itu akhirnya memilih meninggalkan UE?
Penyokong utama keluarnya Inggris dari UE adalah orang-orang tua yang ingin pensiunnya tak diganggu ketidakpastian ekonomi UE. Selama ini, menurut media, mereka tak merasakan manfaat dari bergabungnya Inggris ke UE. Setidak-tidaknya kesejahteraan. Kalau yang tua mendukung Brexit, yang muda sebaliknya: melihat masa depan yang cerah jika Inggris Raya tetap bergabung dengan UE.
Orang-orang muda ini, yang melek teknologi informasi, sadar betul bahwa teknologi membuat dunia menyatu tanpa batas. Mempersoalkan batas-batas geografis kini tidak relevan lagi. Tapi Anda tahu kan, industrialisasi perekonomian sebuah negara telah mengakibatkan demand for children turun. Akibatnya jumlah kaum muda di negara-negara industri selalu mengerucut, kalah banyak dengan kaum tua yang tambah panjang umur berkat bioteknologi dan kemajuan ilmu kesehatan.
Bagi anak-anak muda Inggris Raya, kini saatnya berwirausaha dengan memanfaatkan sharing dan collaborative economy dalam kontinen yang lebih luas dan tak bersekat negara bangsa. Apalagi Inggris bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya. Maka agar perekonomiannya tetap tumbuh, Inggris harus mengandalkan sumber daya dari berbagai belahan dunia lainnya (global resources). Bukan hanya sumber daya. Pasar Inggris juga sangat terbatas. Jumlah penduduk Inggris saat ini hanya sekitar 65 juta. Sementara jumlah penduduk UE lebih dari 500 juta.
Pasar yang luar biasa besar. Jadi, bagi orang-orang muda, masa depan Inggris ada di luar sana, di UE. Bukan di Inggris. Perubahan seperti inilah yang tidak dipahami oleh orang-orang tua yang dulunya hanya punya satu pilihan: jadi pegawai sampai pensiun. Maka orang-orang muda ini sangat menyesalkan keluarnya Inggris dari UE. Kata mereka, “Bagaimana mungkin nasib kita ditentukan oleh orang-orang tua yang usianya mungkin tinggal 5-10 tahun lagi?
Sementara kita yang masih akan hidup hingga puluhan tahun ke depan harus menanggung beban atas keputusan yang mereka ambil.” Hasil voting tersebut jelas menciptakan ketidakpastian baru baik bagi Inggris Raya, UE, dan dunia. Ketidakpastian itu juga melanda masa depan Liga Inggris. Kita tahu banyak pemain sepak bola dari negara-negara lain yang merumput di klub-klub Liga Inggris. Itu pula yang membuat Liga Inggris ditonton oleh jutaan pasang mata warga dunia.
Mereka ingin menyaksikan pemain dari negaranya yang bertanding di Liga Inggris. Apa jadinya kalau pemain-pemain asing tadi dipaksa hengkang dari Liga Inggris? Saya sendiri mungkin akan memilih berhenti menonton siaran langsungnya. Apa asyiknya menyaksikan Liga Inggris tanpa Dimitri Payet, Anthony Martial, Diego Costa atau Eden Hazard? Tapi kini keputusan sudah diambil. Kini Inggris sudah menyusul Yunani yang lebih dulu keluar dari UE atau Grexit. Perubahan sudah bergulir. Ketidakpastian semakin meningkat, terutama setelah langkah Inggris mungkin saja ditiru negara UE lainnya seperti Prancis (Frexit), Spanyol (Spexit), Jerman (Gexit).
Kemacetan Terparah
Bukan hanya itu. Kata Brexit memang menyisakan beban kesulitan. Fengshuinya buruk. Persis seperti nama jalan di Bali yang dulu selalu bikin pusing banyak orang: Simpang Siur. Benar-benar mumet, macet, dan buat orang mudah naik pitam. Di Indonesia, kata Brexit adalah akronim dari Brebes Timur Exit. Kalau sudah pahit, mudik yang semestinya menjadi peristiwa gembira dan menyenangkan berubah menjadi ketidakpastian, juga horor dan tragedi.
Bayangkan, kemacetan kendaraan mengular ke belakang mencapai lebih dari 20 km! Banyak pemudik yang terpaksa menempuh jarak Jakarta- Brebes hingga lebih dari 25 jam. Betul-betul horor! Padahal, jika kondisinya normal, jarak sejauh 270 km tersebut mungkin bisa ditempuh hanya dalam waktu 4-5 jam. Kalau Rio Haryanto yang mengemudi mungkin tak sampai 1 jam. Saking macetnya, media-media asing menobatkan peristiwa di Brexit sebagai kemacetan terburuk di dunia.
Media Inggris Daily Mail memajang judul yang provokatif: “Apakah ini kemacetan terparah di dunia?” Selain horor, di Brexit juga terjadi tragedi. Selama kemacetan, sebanyak 17 orang tewas. Penyebabnya jelas pemudiknya tidak dalam kondisi prima. Ada di antaranya yang sakit jantung. Tapi terhambatnya upaya pertolongan tim medis juga ikut berperan. Jangan-jangan, tahu akan ada yang butuh bantuan saja juga tidak. Sepertinya ada yang tak beres bekerja di sini.
Lari Tupai
Kita tentu sudah banyak mendengar keluh kesah selama mudik, terutamaakibatkemacetan. Ada beberapa yang menyebut pada ajang mudik selalu terjadi pemecahan rekor. Kalau beberapa tahun lalu waktu tempuh Jakarta-Yogyakarta masih bisa 20 jam, makin ke belakang makin molor.
Memanjang jadi 22 jam, lalu 25 jam, 31 jam, dan mudik kemarin menjadi yang terlama: 36 jam. Akankah rekor bakal pecah lagi tahun depan? Saya berharap tidak. Keluhan lainnya, kemacetannya yang berpindah-pindah. Kalau dulu di sepanjang jalur pantura, lalu bergeser ke ruas tol Jakarta-Cikampek, kini pindah lagi ke ruas tol Cipali. Apakah tahun depan bakal bergeser lagi?
Kalau yang ini memang agak sulit dihindari. Sebab selama masa mudik, jumlah kendaraannya yang serentak meninggalkan Jakarta setiap tahun tambah terus. Terakhir jadi 1,6 juta. Mengapa sih kita tak punya cara untuk menguranginya? Bukankah kita dibekali ilmu ekonomi untuk menata perilaku konsumsi? Apalagi kalau kita tak memberi insentif atau disinsentif agar pemudik berpindah memakai moda transportasi lain.
Yang dilontarkan selama ini justru insentif untuk memakai jalur darat pakai mobil. Mungkin kita memang lebih suka dengan Jepang yang laris manis penjualan automotifnya. Bahkan waktu mau dibuatkan kereta cepat buatan China, banyak juga yang mati-matian membela Jepang, bahkan mengatakan seakan-akan Jakarta-Bandung masih bisa ditempuh hanya dengan 2 jam. Mari kita lihat pernyataan para pejabat yang secara implisit memberi insentif agar penumpang yang mudik ke sekitar Jawa Tengah memakai mobil saja. Perhatikanlah.
“Kalau arus balik menimbulkan kemacetan lagi, baiknya tiket tol digratiskan.” “Terminal bandara baru jangan dulu diresmikan.” “Tiket kereta sudah habis.” “Jalur trans- Jawa dipastikan tinggal sebentar lagi.” Atau yang terakhir, “Jarak tempuh jalur darat ini hanya empat jam,” dan seterusnya. Begitulah Brexit. Kata yang mestinya dimaknai dengan jalan keluar, perubahan menuju ke arah yang lebih baik, justru meningkatkan ketidakpastian, berubah menjadi horor dan tragedi.
Setelah itu beberapa pejabat setingkat menteri hanya bisa tunjuk kesalahan di tangan orang lain, bukan menunjuk diri sendiri. Padahal tiap orang bisa saja punya kontribusi negatif karena telah mengirim sinyal agar pemudik bergerak dengan kendaraan darat lewat jalan tol. Lalu ketika macet, cuma tak berdaya sajakah? Padahal, kita ingin Brexit memberikan exit bagi permasalahan saat ini.
Exit yang memberikan tantangan baru. Bukan tantangan yang kelihatannya saja baru, tetapi sebetulnya ibarat tupai yang berlari di dalam kandangnya. Kelihatannya berubah, larinya kencang, tetapi sesungguhnya hanya berlari di tempat. Di situ-situ saja. Kalau mau maju, tentu bukan perubahan seperti itu yang kita inginkan.
(kri)