Masalah Klasik Urbanisasi

Senin, 11 Juli 2016 - 12:40 WIB
Masalah Klasik Urbanisasi
Masalah Klasik Urbanisasi
A A A
SUDAH menjadi pengetahuan umum bahwa Lebaran akan diikuti arus urbanisasi, terutama ke Provinsi DKI Jakarta. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) memprediksi tahun ini saja dalam momen Lebaran akan ada 72.649 jiwa pendatang baru yang memadati DKI Jakarta.

Akan tetapi, ini akan jauh lebih besar lagi jika dimasukkan juga data pertambahan di wilayah satelit Jakarta, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Prediksi ini juga menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun lalu yang mencapai 70.593 jiwa membanjiri Jakarta pada momen Lebaran saja.

Arus urbanisasi ini bukan masalah yang hanya dihadapi DKI Jakarta sebagai ibu kota republik ini, namun dialami oleh nyaris semua ibu kota provinsi atau kota terbesar di suatu pulau di Indonesia. Namun, memang skala masalahnya terlihat paling besar di Jakarta. Bahkan berbagai negara di dunia mengalami masalah ini.

Namun, bisa dikatakan urbanisasi ini adalah problem klasik yang tidak kunjung bisa diselesaikan para pemimpin negeri ini. Berbagai kajian pun sudah dilakukan dengan berbagai macam solusi, namun sayang dalam tahap implementasi sering kedodoran.

Ada sepasang hal yang bisa dipakai untuk menganalisa sekaligus mencari solusi problem urbanisasi, yaitu push factor (faktor pendorong) dan pull factor (faktor penarik) urbanisasi. Faktor pertama, ada pendorong orang melakukan urbanisasi, yang utama adalah kondisi di daerah asal yang tidak menjanjikan. Sementara yang kedua adalah faktor penarik bahwa kota besar dengan segala keglamoran dan kemakmurannya membuat warga daerah lain bermimpi untuk menggapai kesuksesan di kota.

Untuk itu, ada beberapa solusi yang harus diambil pemerintah dan juga peran rakyat. Pertama, menyebar pusat pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Selama ini kita sibuk membangun di Jakarta sehingga akhirnya semua kue pembangunan tersedot ke Jakarta.

Kedua, membangun infrastruktur di daerah, dan juga luar Pulau Jawa. Para pemimpin negeri ini sudah sangat sadar bahwa pembangunan harus dilakukan sampai ke pelosok negeri ini. berbagai konsep didorong untuk itu. Namun lagi-lagi, dalam pelaksanaannya masih saja terfokus pada Jakarta dan Pulau Jawa.

Ketiga, menguatkan kembali perekonomian lokal. Jika ekonomi lokal kuat maka kesempatan untuk mengembangkan diri akan makin tinggi, yang dengan sendirinya akan mengeliminasi faktor pendorong urbanisasi. Kita harus sadar bahwa jika ingin ekonomi Indonesia kuat, kita butuh banyak pusat ekonomi, bukan hanya di Jakarta khususnya dan Pulau Jawa umumnya.

Keempat, memaksimalkan peran otonomi daerah. Harusnya dengan otonomi daerah, salah satu indikator keberhasilan adalah kemajuan ekonomi. Masyarakat suatu daerah harus lebih kritis terhadap para pemimpin daerahnya yang tidak bisa memajukan perekonomian lokal. Salah satu caranya adalah tidak memilihnya kembali saat pemilihan kepala daerah jika yang bersangkutan maju kembali.

Kelima, membangkitkan kesadaran para perantau bahwa bukti kesuksesan adalah bukan kemampuan membawa sebanyak-banyaknya sanak saudara dan orang sekampungnya merantau ke kota besar tempatnya tinggal. Namun, keberhasilan terbesar bagi perantau idealnya adalah kemampuan untuk memajukan daerah asalnya sehingga sanak saudara serta tetangganya bisa hidup mandiri.

Hanya dengan cara itulah tiap daerah di Indonesia bisa maju. Jika para perantau sibuk mengajak bibit-bibit terbaik untuk ikut merantau, sudah barang tentu daerah asalnya akan mengalami defisit sumber daya manusia yang mumpuni sehingga tidak bisa berkembang dengan baik.

Langkah-langkah ini harus secara serius diambil oleh pemerintah. Selama ini kesadaran sudah ada, namun tataran implementasi sering kali jauh ketinggalan. Dengan menyebar pusat pertumbuhan ekonomi, maka kita akan melihat negeri ini yang lebih kuat dan makin rekat sebagai negara kesatuan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5168 seconds (0.1#10.140)