Tragedi Brexit dan Nirempati Pejabat
A
A
A
Hurriyah
Dosen Departemen Ilmu Politik
DATA Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB0 menyebutkan ada 17 orang dilaporkan meninggal akibat kelelahan karena kemacetan panjang berjam-jam di sepanjang jalur Tol Pejagan. Di antara para korban bahkan terdapat satu bayi berusia satu tahun empat bulan yang meninggal akibat enam jam keracunan karbon dioksida.
Jutaan orang terjebak selama puluhan jam di sepanjang jalur tol yang mengarah keluar di pintu Brebes Timur–atau populer dijuluki ”Brexit”. Tak heran, kemacetan ini disebut sebagai kemacetan terburuk sepanjang sejarah mudik.
Jalur Tol Pejagan ini memang masih sangat baru, diresmikan Presiden Jokow Widodo (Jokowi) tanggal 16 Juni 2016. Saat itu Jokowi menyatakan jalur ini bisa dilewati saat mudik.
Tak pelak, pemudik jalur darat berbondong-bondong menjajal tol baru tersebut. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Tol Pejagan menjadi ”jalur neraka” bagi jutaan pemudik yang melewati jalur tersebut.
Daftar penderitaan para pemudik di Tol Pejagan cukup panjang: kemacetan puluhan jam, ketiadaan rest area yang memadai, polusi udara, kehabisan bahan bakar, masih pula harus membayar tol yang cukup mahal.
Selain kerugian materiil, ada kerugian yang rasanya tidak tergantikan: pupusnya harapan untuk bisa menunaikan salat Id bersama sanak keluarga di kampung halaman.
Hilangnya Kepekaan Pejabat
Penderitaan para pemudik dan duka mendalam yang dialami keluarga korban ternyata masih harus ditambah dengan minimnya empati yang ditunjukkan para pejabat.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dalam komentarnya justru ”menyalahkan” para pemudik yang lebih memilih jalur Pejagan-”Brexit” ketimbang jalur selatan. Kondisi kesehatan sebagian pemudik yang tidak fit juga dituding sebagai alasan yang menyebabkan ada korban meninggal.
Komentar yang paling tidak simpatik dilontarkan oleh Menhub Ignatius Jonan. Menurut Jonan, para pemudik tetap akan sehat-sehat saja meskipun mengalami macet berjam-jam selama kondisi mereka fit. Jonan juga membandingkan dehidrasi 12 jam saat macet tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa selama 16 jam. Toh, menurut Jonan, para pemudik itu cuma duduk-duduk saja di dalam kendaraan.
Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Condro Kirono juga menolak anggapan bahwa para korban meninggal disebabkan kemacetan, melainkan karena penyebab medis yang diderita korban.
Komentar yang agak lumayan diucapkan perwakilan Kemenkes, yang membenarkan bahwa dampak kemacetan seperti kelelahan diduga menjadi pemicu gangguan kesehatan yang memperparah penyakit khusus yang sudah diderita sehingga menyebabkan kematian.
Sementara itu, Presiden Jokowi dalam komentarnya terkait kemacetan parah di jalur tol Pejagan-”Brexit” lebih menyalahkan faktor terlambatnya pembangunan di periode sebelumnya yang mengakibatkan belum terselesaikannya persoalan macet.
Beda Kasus, Beda Respons
Publik tentu masih ingat ketika Ibu Saeni, pemilik warteg di Serang yang dirazia Satpol PP akibat menjajakan jualannya pada siang hari bulan Ramadhan, mendapatkan banjir simpati bukan saja dari masyarakat, melainkan juga dari para pejabat.
Presiden Jokowi bahkan memberi bantuan uang tunai sebesar Rp10 juta kepada Ibu Saeni. Mendagri Tjahjo Kumolo juga mengaku turut membantu memberi sumbangan modal usaha buat Ibu Saeni.
Jika satu korban razia saja mendapat simpati luar biasa (dan ganti rugi berkali kali lipat) bahkan dari pejabat selevel presiden, semestinya korban mudik di ”Tragedi Brexit” mendapat simpati dan empati berpuluh-puluh kali lipat.
Namun ternyata, kemacetan saat mudik menjadi hal yang dianggap wajar dan biasa-biasa saja. Korban yang berjatuhan selama arus mudik juga tak lebih hanya angka-angka yang menghiasi laporan mudik tahunan Kemenhub.
Apalagi, laporan Kemenhub menyebutkan prestasi tahun ini karena korban mudik tahun 2016 justru menurun 25% jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Sekilas, laporan ini menyiratkan ”prestasi” yang sepertinya layak mendapatkan apresiasi dari publik. Toh ”Tragedi Brexit” hanya memakan korban 12 orang. Itu pun bukan karena macet, melainkan karena si korban sakit, tidak fit, dan karena mereka maunya cepat sampai kampung halaman sehingga tidak mau memilih jalur lain yang tersedia atau menggunakan transportasi publik seperti pesawat atau kereta.
Bagi penulis, komentar-komentar para pejabat soal ”Tragedi Brexit” ini hanya memperlihatkan (sekali lagi) betapa pejabat kita begitu kurang memiliki empati terhadap masyarakat.
Padahal, para pemudik di jalur Pejagan-”Brexit” bisa dibilang adalah korban dari kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa mengoperasikan jalur tol tersebut, meski belum ditunjang oleh kesiapan berbagai sarana pendukung.
Minimnya jumlah rest area dan SPBU serta dihapuskannya pintu-pintu tol yang menghubungkan Pejagan dan Brebes Timur yang mengakibatkan penumpukan (bottleneck) di jalur ”Brexit”, merupakan beberapa di antaranya.
Selain itu, kejadian ini juga menunjukkan betapa sikap pejabat bisa begitu bias atas nama popularitas. Jika satu korban kasus razia menjadi tragedi luar biasa, agaknya ratusan korban tewas dan luka-luka dalam peristiwa mudik hanyalah merupakan angka-angka statistika belaka.
Moral Hazard
Ketidakpekaan pemerintah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ucapan-ucapan para pejabatnya, menurut penulis bisa berdampak pada terciptanya moral hazard bukan saja di kalangan pejabat lain, melainkan juga di masyarakat.
Bagi pejabat lain, komentar-komentar tidak sensitif yang diucapkan para pejabat tinggi negara memiliki efek menular yang cepat, yang mengakibatkan membudayanya sikap melempar tanggung jawab dan menyalahkan pihak lain atau sebab-sebab lain selain dirinya.
Dalam konteks kebijakan publik, aspek evaluasi dalam tahapan kebijakan menjadi yang semestinya dilakukan sepertinya menjadi tiada. Toh, kalau timbul masalah lagi di kemudian hari, selalu ada kambing hitam (scapegoat) yang bisa dijadikan sasaran dan alasan untuk membela diri dan melepaskan tanggung jawab.
Pada akhirnya, ketidakpekaan pejabat (pemerintah) akan berdampak pula pada terciptanya moral hazard di masyarakat: skeptisisme dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, juga ketidakpedulian dalam menaati aturan yang sudah dibuat pemerintah.
Akibat ketidakpekaan para pejabat, tak heran jika masyarakat kemudian menjadi begitu mudah mencaci maki para pejabat dan pemerintah. Boro-boro mengharapkan masyarakat menghargai upaya-upaya yang dilakukan pemerintah.
Singkatnya, dampak ketidakpekaan para pejabat ini pada akhirnya hanya akan menciptakan moral hazard, seperti ucapan Robert Hoover: ”When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are poisoned”.
Menutup tulisan ini, selain menyampaikan belasungkawa untuk pemudik yang kehilangan anggota keluarganya, penulis juga berharap semoga ”Tragedi Brexit” tidak terulang saat arus balik nanti. Janji presiden untuk menyelesaikan soal kemacetan saat mudik dalam waktu dua tahun harus dicatat dan ditagih pada waktunya.
Mengutip ucapan salah seorang kolega, momen saling memaafkan saat Idul Fitri bukan berarti pemakluman untuk kezaliman. Jika kekhawatiran bahwa satu keledai saja yang terperosok pada saat berada dalam masa kepemimpinannya membuat Umar RA selalu mawas sekaligus waswas, apalagi soal puluhan juta manusia. Tentu jauh lebih layak disiapkan dengan jauh lebih baik.
Dosen Departemen Ilmu Politik
DATA Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB0 menyebutkan ada 17 orang dilaporkan meninggal akibat kelelahan karena kemacetan panjang berjam-jam di sepanjang jalur Tol Pejagan. Di antara para korban bahkan terdapat satu bayi berusia satu tahun empat bulan yang meninggal akibat enam jam keracunan karbon dioksida.
Jutaan orang terjebak selama puluhan jam di sepanjang jalur tol yang mengarah keluar di pintu Brebes Timur–atau populer dijuluki ”Brexit”. Tak heran, kemacetan ini disebut sebagai kemacetan terburuk sepanjang sejarah mudik.
Jalur Tol Pejagan ini memang masih sangat baru, diresmikan Presiden Jokow Widodo (Jokowi) tanggal 16 Juni 2016. Saat itu Jokowi menyatakan jalur ini bisa dilewati saat mudik.
Tak pelak, pemudik jalur darat berbondong-bondong menjajal tol baru tersebut. Sayang, yang terjadi justru sebaliknya. Tol Pejagan menjadi ”jalur neraka” bagi jutaan pemudik yang melewati jalur tersebut.
Daftar penderitaan para pemudik di Tol Pejagan cukup panjang: kemacetan puluhan jam, ketiadaan rest area yang memadai, polusi udara, kehabisan bahan bakar, masih pula harus membayar tol yang cukup mahal.
Selain kerugian materiil, ada kerugian yang rasanya tidak tergantikan: pupusnya harapan untuk bisa menunaikan salat Id bersama sanak keluarga di kampung halaman.
Hilangnya Kepekaan Pejabat
Penderitaan para pemudik dan duka mendalam yang dialami keluarga korban ternyata masih harus ditambah dengan minimnya empati yang ditunjukkan para pejabat.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa dalam komentarnya justru ”menyalahkan” para pemudik yang lebih memilih jalur Pejagan-”Brexit” ketimbang jalur selatan. Kondisi kesehatan sebagian pemudik yang tidak fit juga dituding sebagai alasan yang menyebabkan ada korban meninggal.
Komentar yang paling tidak simpatik dilontarkan oleh Menhub Ignatius Jonan. Menurut Jonan, para pemudik tetap akan sehat-sehat saja meskipun mengalami macet berjam-jam selama kondisi mereka fit. Jonan juga membandingkan dehidrasi 12 jam saat macet tidak ada apa-apanya dibandingkan puasa selama 16 jam. Toh, menurut Jonan, para pemudik itu cuma duduk-duduk saja di dalam kendaraan.
Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Condro Kirono juga menolak anggapan bahwa para korban meninggal disebabkan kemacetan, melainkan karena penyebab medis yang diderita korban.
Komentar yang agak lumayan diucapkan perwakilan Kemenkes, yang membenarkan bahwa dampak kemacetan seperti kelelahan diduga menjadi pemicu gangguan kesehatan yang memperparah penyakit khusus yang sudah diderita sehingga menyebabkan kematian.
Sementara itu, Presiden Jokowi dalam komentarnya terkait kemacetan parah di jalur tol Pejagan-”Brexit” lebih menyalahkan faktor terlambatnya pembangunan di periode sebelumnya yang mengakibatkan belum terselesaikannya persoalan macet.
Beda Kasus, Beda Respons
Publik tentu masih ingat ketika Ibu Saeni, pemilik warteg di Serang yang dirazia Satpol PP akibat menjajakan jualannya pada siang hari bulan Ramadhan, mendapatkan banjir simpati bukan saja dari masyarakat, melainkan juga dari para pejabat.
Presiden Jokowi bahkan memberi bantuan uang tunai sebesar Rp10 juta kepada Ibu Saeni. Mendagri Tjahjo Kumolo juga mengaku turut membantu memberi sumbangan modal usaha buat Ibu Saeni.
Jika satu korban razia saja mendapat simpati luar biasa (dan ganti rugi berkali kali lipat) bahkan dari pejabat selevel presiden, semestinya korban mudik di ”Tragedi Brexit” mendapat simpati dan empati berpuluh-puluh kali lipat.
Namun ternyata, kemacetan saat mudik menjadi hal yang dianggap wajar dan biasa-biasa saja. Korban yang berjatuhan selama arus mudik juga tak lebih hanya angka-angka yang menghiasi laporan mudik tahunan Kemenhub.
Apalagi, laporan Kemenhub menyebutkan prestasi tahun ini karena korban mudik tahun 2016 justru menurun 25% jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Sekilas, laporan ini menyiratkan ”prestasi” yang sepertinya layak mendapatkan apresiasi dari publik. Toh ”Tragedi Brexit” hanya memakan korban 12 orang. Itu pun bukan karena macet, melainkan karena si korban sakit, tidak fit, dan karena mereka maunya cepat sampai kampung halaman sehingga tidak mau memilih jalur lain yang tersedia atau menggunakan transportasi publik seperti pesawat atau kereta.
Bagi penulis, komentar-komentar para pejabat soal ”Tragedi Brexit” ini hanya memperlihatkan (sekali lagi) betapa pejabat kita begitu kurang memiliki empati terhadap masyarakat.
Padahal, para pemudik di jalur Pejagan-”Brexit” bisa dibilang adalah korban dari kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa mengoperasikan jalur tol tersebut, meski belum ditunjang oleh kesiapan berbagai sarana pendukung.
Minimnya jumlah rest area dan SPBU serta dihapuskannya pintu-pintu tol yang menghubungkan Pejagan dan Brebes Timur yang mengakibatkan penumpukan (bottleneck) di jalur ”Brexit”, merupakan beberapa di antaranya.
Selain itu, kejadian ini juga menunjukkan betapa sikap pejabat bisa begitu bias atas nama popularitas. Jika satu korban kasus razia menjadi tragedi luar biasa, agaknya ratusan korban tewas dan luka-luka dalam peristiwa mudik hanyalah merupakan angka-angka statistika belaka.
Moral Hazard
Ketidakpekaan pemerintah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ucapan-ucapan para pejabatnya, menurut penulis bisa berdampak pada terciptanya moral hazard bukan saja di kalangan pejabat lain, melainkan juga di masyarakat.
Bagi pejabat lain, komentar-komentar tidak sensitif yang diucapkan para pejabat tinggi negara memiliki efek menular yang cepat, yang mengakibatkan membudayanya sikap melempar tanggung jawab dan menyalahkan pihak lain atau sebab-sebab lain selain dirinya.
Dalam konteks kebijakan publik, aspek evaluasi dalam tahapan kebijakan menjadi yang semestinya dilakukan sepertinya menjadi tiada. Toh, kalau timbul masalah lagi di kemudian hari, selalu ada kambing hitam (scapegoat) yang bisa dijadikan sasaran dan alasan untuk membela diri dan melepaskan tanggung jawab.
Pada akhirnya, ketidakpekaan pejabat (pemerintah) akan berdampak pula pada terciptanya moral hazard di masyarakat: skeptisisme dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, juga ketidakpedulian dalam menaati aturan yang sudah dibuat pemerintah.
Akibat ketidakpekaan para pejabat, tak heran jika masyarakat kemudian menjadi begitu mudah mencaci maki para pejabat dan pemerintah. Boro-boro mengharapkan masyarakat menghargai upaya-upaya yang dilakukan pemerintah.
Singkatnya, dampak ketidakpekaan para pejabat ini pada akhirnya hanya akan menciptakan moral hazard, seperti ucapan Robert Hoover: ”When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are poisoned”.
Menutup tulisan ini, selain menyampaikan belasungkawa untuk pemudik yang kehilangan anggota keluarganya, penulis juga berharap semoga ”Tragedi Brexit” tidak terulang saat arus balik nanti. Janji presiden untuk menyelesaikan soal kemacetan saat mudik dalam waktu dua tahun harus dicatat dan ditagih pada waktunya.
Mengutip ucapan salah seorang kolega, momen saling memaafkan saat Idul Fitri bukan berarti pemakluman untuk kezaliman. Jika kekhawatiran bahwa satu keledai saja yang terperosok pada saat berada dalam masa kepemimpinannya membuat Umar RA selalu mawas sekaligus waswas, apalagi soal puluhan juta manusia. Tentu jauh lebih layak disiapkan dengan jauh lebih baik.
(kri)