Tantangan Tito

Jum'at, 17 Juni 2016 - 13:56 WIB
Tantangan Tito
Tantangan Tito
A A A
KOMJEN Pol Tito Karnavian tinggal selangkah lagi menjadi kepala Kepolisian RI. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan dialah calon tunggal untuk menduduki jabatan orang nomor satu di Polri itu menggantikan Jenderal Pol Badrodin Haiti yang memasuki masa pensiun. Kini Tito tinggal menunggu stempel persetujuan dari DPR karena mayoritas wakil rakyat, terutama Komisi III DPR dan fraksi-fraksi DPR, sudah memberikan sinyal dukungan kepadanya.

Siapa pun tidak bisa menyangkal kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut layak menyandang apa yang diistilahkan TB 1 (Tri Brata 1) karena segepok prestasinya, dari penangkapan Tommy Soeharto, dr Azhari-Nordin M Top, hingga membongkar jaringan terorisme di Sarinah saat menjabat kepala Polda Metro Jaya. Sebagai penerima adimakayasa, anugerah terbaik dalam sejumlah pendidikan kepolisian, serta gelar akademik S-3 yang disandangnya sudah menjadi jaminan kapasitas intelektualnya untuk menjadi pemimpin.

Meski demikian, tampilnya perwira angkatan 87 tentu cukup mengundang pertanyaan, karena melompati perwira lain yang jauh lebih senior, yakni Irwasum Komjen Pol Dwi Priyatno (82), Wakapolri Komjen Pol Budi Gunawan (83), dan Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso. Apalagi, nama Tito tidak termasuk dalam jajaran kandidat kapolri yang diajukan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Polri kepada Presiden.

Langkah Jokowi bisa disebut gambling karena memilih Tito sangat berisiko, karena bagaimanapun senioritas tetap menjadi bagian sistem dan tradisi yang melekat di Polri. Secara tidak langsung pemilihan Tito yang melampaui lima generasi juga ”membusukkan” karier dan ”kebanggaan” para perwira yang berada di lifting lebih senior. Padahal, mereka belum tentu kalah prestasi. Faktanya, seperti disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane, dari 265 jenderal yang ada Jokowi hanya mengenal Tito.

Ekses dari anomali sistem dan tradisi yang dilakukan secara ekstrem dan terkesan penganakemasan terhadap satu orang perwira tentu akan menimbulkan guncangan. Bisa-bisa Tito malah teralienasi dari arus besar internal Polri yang tidak menganggap atau tidak menerima kepemimpinannya. Hal ini mungkin terjadi lantaran bagi mereka patuh atau tidak sama saja risikonya karena karier mereka sudah busuk dengan sendirinya.

Inilah satu tantangan yang harus dihadapi Tito, yakni sejauh mana dia bisa melakukan konsolidasi hingga semua perwira secara sukarela merapat dalam barisan kepemimpinannya. Polri memang organisasi yang berasaskan pada komando tunggal dengan pusat kekuasaan di tangan pucuk pimpinannya. Tapi, bahwa selama ini ada faksi-faksi di dalam tubuh Polri adalah fakta yang terbantahkan.

Pada akhirnya, gambling ini dalam jangka lebih panjang akan berpengaruh pada kelanjutan reformasi Polri yang masih jalan di tempat. Survei sejumlah lembaga seperti Indo Barometer dan Populi Center pada 2015 masih menempatkan Polri sebagai lembaga terkorup. Tito, saat masih menjabat kepala Polda Metro Jaya, juga menilai ada perubahan budaya di antara anggota Polri, terutama di kalangan reserse dan lantas, yang kian hedonis. Polisi yang demikian tentu hanya fokus memperkaya diri dan mengesampingkan tugas utamanya sebagai pelayan masyarakat dan penegak hukum.

Kemarin Tito sudah menegaskan tekadnya untuk melakukan reformasi Polri. Namun, reformasi, apalagi menyangkut budaya yang sudah telanjur mendarah daging seperti di Polri, tidak mudah dilakukan. Karena itu, reformasi tidak bisa dilakukan Tito seorang diri, melainkan harus melibatkan seluruh jajarannya. Dengan demikian, kemampuan Tito memimpin reformasi setali seuang dengan kemampuannya mengatasi persoalan senioritas.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8614 seconds (0.1#10.140)