Merespons Ancaman China
A
A
A
Lagi-lagi, kapal nelayan China melanggar wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) di laut Natuna. Dalam kasus terakhir, KRI Oswald Siahaan-345 menangkap KM Gui Bei Yu bernomor 27088. Sebelumnya Kapal Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Maret lalu menangkap KM Kway Fey 10078 di kawasan yang sama.
Pada kasus dua penangkapan tersebut, kapal coast guard China berada pada posisi melindungi kapal nelayan mereka. Bedanya, saat menangkap KM Kway Fey, kapal KKP sempat ditabrak coast guard China demi mengamankan kapal nelayan mereka. Sedangkan penangkapan terakhir, coast guard China hanya membayangi.
Kesamaan lainnya, dua kasus tersebut selalu diiringi protes keras dari Pemerintah Tirai Bambu tersebut. Seperti respons terakhir yang disampaikan Jubir Kementerian Luar Negeri Hua Chunying, China bersikukuh nelayannya melakukan operasi penangkapan ikan di perairan yang relevan. Secara tidak langsung masih bersikukuh mengklaim ZEE Indonesia di Natuna adalah wilayah mereka.
Dua kasus penangkapan ikan yang sama-sama diikuti dengan coast guard China dan disertai dengan protes pemerintahnya menunjukkan bahwa pelanggaran itu bukanlah semata pelanggaran nelayan biasa. Seperti disampaikan pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati, sejumlah indikasi itu menunjukkan ada state sponsored illegal fishing.
Dukungan secara langsung itu menunjukkan negeri tersebut masih mengklaim sebagian wilayah ZEE di Natuna merupakan wilayah mereka. Sejumlah pengakuan yang diklaim negeri tersebut ternyata baru sebatas basa-basi diplomatik demi membungkus ambisi sesungguhnya untuk menguasai 90% wilayah Laut China Selatan (LCS) seperti termaktub dalam China 9 Dash Line. Indonesia boleh berkali-kali menegaskan bukan sebagai claimant state dan berkali-kali pula mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap UNCLOS 1982, namun China tentu tahu betul ada harta karun yang tersimpan di blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha.
China tetap China yang tidak pernah menggubris kepentingan negara lain dan malah kian menunjukkan agresivitasnya untuk mewujudkan klaimnya, memperkuat ototnya di wilayah yang disengketakan, yakni Fiery Cross Reef (pulau buatan) dan Pulau Woody yang berada di kepulauan gugusan Paracel Island. Bahkan terakhir, China mengancam akan memberlakukan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di LCS seperti dilakukan di Laut China Timur sebagai respons terhadap manuver Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Fakta-fakta tersebut harus menjadi perhatian serius. Indonesia tidak bisa lagi menganggap dirinya tidak ada sangkut paut dengan konflik LCS seperti pernah dikatakan Presiden Joko Widodo saat momen debat capres lalu. Apalagi, tren pelibatan kekuatan internasional dalam konflik di LCS berpotensi menjadikan wilayah ini sebagai teater perang masa mendatang. Prediksi ini bertemu dengan identifikasi panglima TNI yang menyebut perang ke depan akan memperebutkan pangan, energi, dan air dengan sentrumnya di wilayah ASEAN, termasuk Indonesia.
Diplomasi memang menjadi jalan terbaik untuk meredam konflik, terutama ancaman China terhadap Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Tapi, penguatan kehadiran kekuatan Indonesia di wilayah Natuna - akan menjadi pesan penting bahwa Indonesia serius melindungi wilayahnya. Dalam jangka panjang Indonesia juga harus menggenjot kekuatan militer untuk mengantisipasi ancaman dari mana pun datangnya. Si vis pacem para bellum—jika ingin damai, bersiaplah menghadapi perang.
Pada kasus dua penangkapan tersebut, kapal coast guard China berada pada posisi melindungi kapal nelayan mereka. Bedanya, saat menangkap KM Kway Fey, kapal KKP sempat ditabrak coast guard China demi mengamankan kapal nelayan mereka. Sedangkan penangkapan terakhir, coast guard China hanya membayangi.
Kesamaan lainnya, dua kasus tersebut selalu diiringi protes keras dari Pemerintah Tirai Bambu tersebut. Seperti respons terakhir yang disampaikan Jubir Kementerian Luar Negeri Hua Chunying, China bersikukuh nelayannya melakukan operasi penangkapan ikan di perairan yang relevan. Secara tidak langsung masih bersikukuh mengklaim ZEE Indonesia di Natuna adalah wilayah mereka.
Dua kasus penangkapan ikan yang sama-sama diikuti dengan coast guard China dan disertai dengan protes pemerintahnya menunjukkan bahwa pelanggaran itu bukanlah semata pelanggaran nelayan biasa. Seperti disampaikan pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati, sejumlah indikasi itu menunjukkan ada state sponsored illegal fishing.
Dukungan secara langsung itu menunjukkan negeri tersebut masih mengklaim sebagian wilayah ZEE di Natuna merupakan wilayah mereka. Sejumlah pengakuan yang diklaim negeri tersebut ternyata baru sebatas basa-basi diplomatik demi membungkus ambisi sesungguhnya untuk menguasai 90% wilayah Laut China Selatan (LCS) seperti termaktub dalam China 9 Dash Line. Indonesia boleh berkali-kali menegaskan bukan sebagai claimant state dan berkali-kali pula mengingatkan pentingnya penghormatan terhadap UNCLOS 1982, namun China tentu tahu betul ada harta karun yang tersimpan di blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha.
China tetap China yang tidak pernah menggubris kepentingan negara lain dan malah kian menunjukkan agresivitasnya untuk mewujudkan klaimnya, memperkuat ototnya di wilayah yang disengketakan, yakni Fiery Cross Reef (pulau buatan) dan Pulau Woody yang berada di kepulauan gugusan Paracel Island. Bahkan terakhir, China mengancam akan memberlakukan zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di LCS seperti dilakukan di Laut China Timur sebagai respons terhadap manuver Amerika Serikat di wilayah tersebut.
Fakta-fakta tersebut harus menjadi perhatian serius. Indonesia tidak bisa lagi menganggap dirinya tidak ada sangkut paut dengan konflik LCS seperti pernah dikatakan Presiden Joko Widodo saat momen debat capres lalu. Apalagi, tren pelibatan kekuatan internasional dalam konflik di LCS berpotensi menjadikan wilayah ini sebagai teater perang masa mendatang. Prediksi ini bertemu dengan identifikasi panglima TNI yang menyebut perang ke depan akan memperebutkan pangan, energi, dan air dengan sentrumnya di wilayah ASEAN, termasuk Indonesia.
Diplomasi memang menjadi jalan terbaik untuk meredam konflik, terutama ancaman China terhadap Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Tapi, penguatan kehadiran kekuatan Indonesia di wilayah Natuna - akan menjadi pesan penting bahwa Indonesia serius melindungi wilayahnya. Dalam jangka panjang Indonesia juga harus menggenjot kekuatan militer untuk mengantisipasi ancaman dari mana pun datangnya. Si vis pacem para bellum—jika ingin damai, bersiaplah menghadapi perang.
(poe)