Terowongan Penetapan Tersangka
A
A
A
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik
Pegiat Gerakan Indonesia Beradab
”Realitasnya, ketidaksalahan [tersangka] sering kali terdeteksi paling akurat justru sebelum maupun setelah persidangan.” (Robert J Smith, Recalibrating Constitutional Innocence Protection)
Beberapa bulan silam Mirna tewas setelah meminum kopi yang sudah dibubuhi sianida. Publik, termasuk saya, menaruh harapan besar bahwa kepolisian akan mampu mengusut kasus ini hingga tuntas dan pelaku (pelaku)nya dihukum setimpal.
Namun, sulit diingkari, perkembangan kasus kopi sianida berpotensi membawa konsekuensi tidak ringan bagi kepolisian. Pasalnya, setelah melalui tahapan-tahapan kerja yang dramatis, polisi kemudian mantap menetapkan J sebagai tersangka dan menjebloskannya ke dalam tahanan.
Namun ketika masa penahanan J semakin mendekati akhir, kejaksaan menilai berkas perkara J belum kunjung lengkap. Kemampuan memecahkan kasus kejahatan merupakan salah satu parameter kinerja kepolisian, khususnya unit reserse dan kriminal.
Apalagi terhadap kejadian-kejadian kriminalitas yang menyedot perhatian publik, polisi akan memprioritaskan penuntasan investigasi atas kasus itu. Tujuannya pertama, memenuhi kebutuhan korban dan keluarganya akan keadilan.
Kedua, menjawab ekspektasi masyarakat bahwa polisi mampu bekerja sampai selesai sehingga terbit rasa aman di khalayak luas. Ketiga, memenuhi instruksi atasan. Keempat, menghasilkan portofolio yang berkontribusi bagi pengembangan karier para personel yang menangani kasus dimaksud.
Tingginya atensi khalayak luas terhadap suatu kasus pada gilirannya bisa memunculkan kerawanan terhadap kerja polisi. Pada tataran individu personel polisi, tekanan hebat yang datang dari kasus-kasus besar berpotensi memunculkan penyimpangan berpikir (bias kognitif).
Manakala proses berpikir jalan pintas (mental shortcut ) sudah menjangkiti satu-dua penyidik, apalagi pejabat yang mengendalikan unit kerja terkait, situasi berisiko yang dapat terbentuk berikutnya adalah groupthink.
Cirinya, tindak-tanduk unit kerja tersebut menjadi serbagegabah demi mengejar tenggat waktu sekaligus memelihara momentum kepercayaan publik. Termasuk tindakan yang jauh dari kehati-hatian adalah sulitnya polisi keluar dari keyakinan intuitif bukan objektif berdasarkan bukti yang kadung terbangun bahwa orang tertentu adalah pelaku kejahatan yang mereka cari.
Boleh jadi dibutuhkan diskusi panjang untuk menyimpulkan apakah penetapan tersangka yang terlalu dini, apalagi disusul dengan penahanan tersangka tersebut, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Persoalan kompleks ini berkutat pada mencari keseimbangan antara dua kutub. Kutub pertama adalah kewenangan polisi untuk melakukan investigasi serta mengemban amanah masyarakat. Adapun kutub seberangnya adalah hak tersangka selaku orang yang tetap dipandang dengan praduga tak bersalah serta tidak ingin diperlakukan secara semena-mena.
Selain itu, penetapan tersangka yang dilakukan secara prematur akan memantik pertanyaan tentang pertanggungjawaban kepolisian atas pengeluaran biaya investigasi kasus.
Lebih fundamental lagi, karena penersangkaan secara keliru membuat pelaku kriminal tetap berkeliaran, maka itu berpeluang timbul kesan bahwa polisi membiarkan masyarakat dalam posisi rentan menjadi korban kejahatan kembali.
Dukungan publik yang sejatinya merupakan alasan polisi untuk menetapkan tersangka (secara prematur) seketika berbalik arah menjadi skeptisisme.
Atas dasar itu, kita mesti kembali ke adagium bahwa membebaskan seribu orang bersalah jauh lebih baik ketimbang memenjara satu orang yang tidak bersalah. Memang tidak mudah bagi kepolisian untuk bertindak-tanduk sesuai dengan tamsil tersebut, terlebih ketika polisi kadung memperlihatkan gestur sedemikian yakin akan tangkapan mereka.
Di situlah kinerja Kepolisian Federal Amerika Serikat (FBI) bisa menjadi kaca benggala. Data mutakhir FBI menunjukkan bahwa clearance rate dalam kasus-kasus pembunuhan hanya 64,1%. Padahal 50 tahun lalu, clearance rate untuk kasus serupa mencapai 90%.
Clearance rate di atas tidak menunjuk pada tuntasnya penanganan kasus yang diabsahkan lewat jatuhnya putusan pengadilan. Clearance rate FBI adalah jumlah kasus yang berhasil ditangani institusi tersebut hingga tersangka ditahan ataupun tanpa penahanan karena faktor-faktor di luar hukum.
Sepintas lalu, clearance rate yang menurun memperlihatkan anjloknya kinerja FBI. Tapi jika ditelisik mendalam, simpulan atas kerja FBI tidaklah sesederhana itu. Di Negeri Paman Sam, kriteria menersangkakan seseorang lalu menahannya kian ketat.
Relasi antara polisi dan masyarakat juga memengaruhi sikap kooperatif publik, khususnya kesediaan masyarakat untuk menjadi saksi. Tambahan lagi, kian banyak kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, bukan sebagai aksi individual.
Bagaimana clearance rate Polri? Tidak ada data yang tersedia. Yang jelas, tiga unsur di atas yang menyebabkan turunnya clearance rate FBI menunjukkan bahwa keberhasilan pengungkapan kasus termasuk pemberkasannya hingga lengkap tidak sebatas ditentukan oleh unit reskrim.
Secara spesifik, evaluasi terhadap ketaatan polisi pada kriteria dan prosedur penetapan tersangka merupakan ranah kerja divisi profesi kepolisian. Ketika terjadi pengabaian terhadap acuan baku kerja, kian relevan catatan kritis Rossmo (2009) bahwa police misconduct merupakan salah satu penyebab utama kelirunya penetapan seseorang sebagai tersangka.
Meski pada alinea terdahulu telah disinggung faktor individual (bias kognitif penyidik) yang menyebabkan error dalam penetapan tersangka, amat tidak memadai jika divisi profesi kepolisian berkutat pada sisi personel semata.
Divisi profesi perlu mengembangkan sistem reviu yang tidak melulu terarah pada mempersoalkan penyidik, tetapi lebih luas lagi adalah dengan mendesain organizational accident model (Batts, deLone, Stephens, 2014) guna menelaah faktor-faktor kelembagaan yang memengaruhi error dimaksud.
Berdasarkan model tersebut, penetapan tersangka secara keliru diasumsikan terjadi akibat pengaruh dimensi-dimensi organisasi semisal penyeliaan yang tidak tepat maupun kurang memadainya acuan kerja yang dipedomani penyidik.
Dengan organizational accident model, penersangkaan yang keliru dipandang sebagai kulminasi akibat faktor individual dan organisasi sekaligus serta diposisikan sebagai kesempatan untuk belajar, alih-alih sebagai dasar penjatuhan sanksi belaka.
Area lain yang juga relevan, walau bersifat tak langsung, dalam pengungkapan kasus adalah hubungan masyarakat (humas). Membangun hubungan yang saling mendukung antara kepolisian dan masyarakat melekat sebagai tugas seluruh insan kepolisian.
Spesifik terkait dengan bagaimana kepolisian mengomunikasikan perkembangan maupun kendala pengungkapan kasus ke publik, ini adalah area kerja unit humas kepolisian.
Unit itulah, bukan unit-unit kepolisian lainnya, yang sepatutnya bisa diandalkan untuk memenuhi keingintahuan khalayak luas sebagai prasyarat terbentuknya perasaan aman masyarakat seraya menjaga kerahasiaan kerja para penyidik dalam menginvestigasi kasus.
Allahu a’lam.
Psikolog Forensik
Pegiat Gerakan Indonesia Beradab
”Realitasnya, ketidaksalahan [tersangka] sering kali terdeteksi paling akurat justru sebelum maupun setelah persidangan.” (Robert J Smith, Recalibrating Constitutional Innocence Protection)
Beberapa bulan silam Mirna tewas setelah meminum kopi yang sudah dibubuhi sianida. Publik, termasuk saya, menaruh harapan besar bahwa kepolisian akan mampu mengusut kasus ini hingga tuntas dan pelaku (pelaku)nya dihukum setimpal.
Namun, sulit diingkari, perkembangan kasus kopi sianida berpotensi membawa konsekuensi tidak ringan bagi kepolisian. Pasalnya, setelah melalui tahapan-tahapan kerja yang dramatis, polisi kemudian mantap menetapkan J sebagai tersangka dan menjebloskannya ke dalam tahanan.
Namun ketika masa penahanan J semakin mendekati akhir, kejaksaan menilai berkas perkara J belum kunjung lengkap. Kemampuan memecahkan kasus kejahatan merupakan salah satu parameter kinerja kepolisian, khususnya unit reserse dan kriminal.
Apalagi terhadap kejadian-kejadian kriminalitas yang menyedot perhatian publik, polisi akan memprioritaskan penuntasan investigasi atas kasus itu. Tujuannya pertama, memenuhi kebutuhan korban dan keluarganya akan keadilan.
Kedua, menjawab ekspektasi masyarakat bahwa polisi mampu bekerja sampai selesai sehingga terbit rasa aman di khalayak luas. Ketiga, memenuhi instruksi atasan. Keempat, menghasilkan portofolio yang berkontribusi bagi pengembangan karier para personel yang menangani kasus dimaksud.
Tingginya atensi khalayak luas terhadap suatu kasus pada gilirannya bisa memunculkan kerawanan terhadap kerja polisi. Pada tataran individu personel polisi, tekanan hebat yang datang dari kasus-kasus besar berpotensi memunculkan penyimpangan berpikir (bias kognitif).
Manakala proses berpikir jalan pintas (mental shortcut ) sudah menjangkiti satu-dua penyidik, apalagi pejabat yang mengendalikan unit kerja terkait, situasi berisiko yang dapat terbentuk berikutnya adalah groupthink.
Cirinya, tindak-tanduk unit kerja tersebut menjadi serbagegabah demi mengejar tenggat waktu sekaligus memelihara momentum kepercayaan publik. Termasuk tindakan yang jauh dari kehati-hatian adalah sulitnya polisi keluar dari keyakinan intuitif bukan objektif berdasarkan bukti yang kadung terbangun bahwa orang tertentu adalah pelaku kejahatan yang mereka cari.
Boleh jadi dibutuhkan diskusi panjang untuk menyimpulkan apakah penetapan tersangka yang terlalu dini, apalagi disusul dengan penahanan tersangka tersebut, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Persoalan kompleks ini berkutat pada mencari keseimbangan antara dua kutub. Kutub pertama adalah kewenangan polisi untuk melakukan investigasi serta mengemban amanah masyarakat. Adapun kutub seberangnya adalah hak tersangka selaku orang yang tetap dipandang dengan praduga tak bersalah serta tidak ingin diperlakukan secara semena-mena.
Selain itu, penetapan tersangka yang dilakukan secara prematur akan memantik pertanyaan tentang pertanggungjawaban kepolisian atas pengeluaran biaya investigasi kasus.
Lebih fundamental lagi, karena penersangkaan secara keliru membuat pelaku kriminal tetap berkeliaran, maka itu berpeluang timbul kesan bahwa polisi membiarkan masyarakat dalam posisi rentan menjadi korban kejahatan kembali.
Dukungan publik yang sejatinya merupakan alasan polisi untuk menetapkan tersangka (secara prematur) seketika berbalik arah menjadi skeptisisme.
Atas dasar itu, kita mesti kembali ke adagium bahwa membebaskan seribu orang bersalah jauh lebih baik ketimbang memenjara satu orang yang tidak bersalah. Memang tidak mudah bagi kepolisian untuk bertindak-tanduk sesuai dengan tamsil tersebut, terlebih ketika polisi kadung memperlihatkan gestur sedemikian yakin akan tangkapan mereka.
Di situlah kinerja Kepolisian Federal Amerika Serikat (FBI) bisa menjadi kaca benggala. Data mutakhir FBI menunjukkan bahwa clearance rate dalam kasus-kasus pembunuhan hanya 64,1%. Padahal 50 tahun lalu, clearance rate untuk kasus serupa mencapai 90%.
Clearance rate di atas tidak menunjuk pada tuntasnya penanganan kasus yang diabsahkan lewat jatuhnya putusan pengadilan. Clearance rate FBI adalah jumlah kasus yang berhasil ditangani institusi tersebut hingga tersangka ditahan ataupun tanpa penahanan karena faktor-faktor di luar hukum.
Sepintas lalu, clearance rate yang menurun memperlihatkan anjloknya kinerja FBI. Tapi jika ditelisik mendalam, simpulan atas kerja FBI tidaklah sesederhana itu. Di Negeri Paman Sam, kriteria menersangkakan seseorang lalu menahannya kian ketat.
Relasi antara polisi dan masyarakat juga memengaruhi sikap kooperatif publik, khususnya kesediaan masyarakat untuk menjadi saksi. Tambahan lagi, kian banyak kejahatan yang dilakukan oleh organisasi, bukan sebagai aksi individual.
Bagaimana clearance rate Polri? Tidak ada data yang tersedia. Yang jelas, tiga unsur di atas yang menyebabkan turunnya clearance rate FBI menunjukkan bahwa keberhasilan pengungkapan kasus termasuk pemberkasannya hingga lengkap tidak sebatas ditentukan oleh unit reskrim.
Secara spesifik, evaluasi terhadap ketaatan polisi pada kriteria dan prosedur penetapan tersangka merupakan ranah kerja divisi profesi kepolisian. Ketika terjadi pengabaian terhadap acuan baku kerja, kian relevan catatan kritis Rossmo (2009) bahwa police misconduct merupakan salah satu penyebab utama kelirunya penetapan seseorang sebagai tersangka.
Meski pada alinea terdahulu telah disinggung faktor individual (bias kognitif penyidik) yang menyebabkan error dalam penetapan tersangka, amat tidak memadai jika divisi profesi kepolisian berkutat pada sisi personel semata.
Divisi profesi perlu mengembangkan sistem reviu yang tidak melulu terarah pada mempersoalkan penyidik, tetapi lebih luas lagi adalah dengan mendesain organizational accident model (Batts, deLone, Stephens, 2014) guna menelaah faktor-faktor kelembagaan yang memengaruhi error dimaksud.
Berdasarkan model tersebut, penetapan tersangka secara keliru diasumsikan terjadi akibat pengaruh dimensi-dimensi organisasi semisal penyeliaan yang tidak tepat maupun kurang memadainya acuan kerja yang dipedomani penyidik.
Dengan organizational accident model, penersangkaan yang keliru dipandang sebagai kulminasi akibat faktor individual dan organisasi sekaligus serta diposisikan sebagai kesempatan untuk belajar, alih-alih sebagai dasar penjatuhan sanksi belaka.
Area lain yang juga relevan, walau bersifat tak langsung, dalam pengungkapan kasus adalah hubungan masyarakat (humas). Membangun hubungan yang saling mendukung antara kepolisian dan masyarakat melekat sebagai tugas seluruh insan kepolisian.
Spesifik terkait dengan bagaimana kepolisian mengomunikasikan perkembangan maupun kendala pengungkapan kasus ke publik, ini adalah area kerja unit humas kepolisian.
Unit itulah, bukan unit-unit kepolisian lainnya, yang sepatutnya bisa diandalkan untuk memenuhi keingintahuan khalayak luas sebagai prasyarat terbentuknya perasaan aman masyarakat seraya menjaga kerahasiaan kerja para penyidik dalam menginvestigasi kasus.
Allahu a’lam.
(maf)