Mengapa Mesti Golkar?
A
A
A
Hendri Satrio
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Founder Lembaga Survei KedaiKopi
@satriohendri
PARTAI Golongan Karya atau biasa disebut Golkar memang fenomenal. Partai politik yang dianggap paling dewasa di Indonesia lantaran semua kadernya berpeluang menjadi ketua umum ini pernah merasakan pahitnya berada di luar kekuasaan, yang bukan merupakan jalur politiknya selama puluhan tahun.
Tapi, itu sudah berlalu. Sabtu (14/5) lalu dalam acara pembukaan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) di Bali, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan posisi Golkar yang mendukung pemerintahan. Nusa Dua Bali ikut menjadi saksi kebesaran partai politik yang nyaris terbonsai akibat dualisme kepengurusan. Warna kuning mendominasi Nusa Dua. Bila kita masuk ke lingkungan munaslub, aroma lingkar kekuasaan sangat kuat di situ. Wajah akrab khas pejabat pemerintah mudah ditemui di tempat yang menentukan nasib partai beringin kelak.
Mengapa Golkar?
Selain fenomenal, Golkar juga kokoh. Masih jelas di ingatan saya ketika banyak orang menyuarakan lantang untuk membubarkan Golkar. Tapi, kekuatan itu tidak cukup meruntuhkan Golkar, hingga akhirnya ormas ini resmi mencantumkan kata ”Partai” dan tercatat sebagai partai politik.
Sejak Pemilu 1999 hingga 2014, posisi Golkar hanya di dua tempat, nomor satu atau nomor dua. Padahal, guncangan terhadap partai ini begitu kencang. Golkar bahkan kembali jaya pada Pemilu 2004. Golkar memiliki simpatisan loyalis yang kuat. Pada beberapa kali pemilu angka hasil pemilu, Golkar berkutat di 14%-15%, sebuah angka yang fantastis bagi sebuah parpol yang kerap dihantam ujian.
Namun, ada catatan tidak sedap. Sejak reformasi, Golkar belum bisa menempatkan kader terbaiknya menjadi presiden. Hal terbaik bagi Golkar adalah posisi wakil presiden dua kali (yang diraih oleh Jusuf Kalla). Tapi, Jusuf Kalla saat memberikan sambutan pada perayaan ulang tahun Golkar 2015 di Jakarta pernah berseloroh bahwa dirinya selalu menduduki jabatan wapres justru pada saat tidak menduduki posisi ketua di Golkar.
Sebetulnya kondisi Golkar yang belum mampu mendorong kadernya menuju kursi Presiden sudah terbaca oleh Gary Cox dan Mathew Mc Cubbins dalam buku Setting the Agenda (2005) yang diterbitkan Universitas Cambridge, New York, Amerika Serikat. Dalam buku itu menyebutkan bahwa ada partai politik yang kadernya hanya mampu mengontrol agenda parlemen dan masing-masing bertujuan sendiri untuk terpilih kembali.
John Aldrich dalam buku Why Parties (2011) menyampaikan penjelasan politik yang juga memperkuat kondisi Golkar saat ini. Dia mengatakan bahwa sebuah partai politik yang besar berisi banyak politisi sekaligus aktivis yang mencari tempat kerja dan pengakuan.
Berdasarkan dua pendapat tadi dalam munaslub, Golkar harus memiliki ketua umum yang mampu menemukan kader atau minimal anak bangsa terbaik. Tentu dengan kepemimpinan kelas nasional yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadinya, untuk dapat diajukan sebagai calon pemimpin negara. Golkar harus mampu meyakinkan kadernya untuk tidak melulu fokus ke diri sendiri. Bila sang ketua umum baru memiliki kemampuan itu, pada 2019 Golkar dapat mempertahankan (bahkan melebihi) angka 14%-15% pada pemilu legislatif.
Golkar dan Jokowi
Mayoritas presiden negeri ini menikmati layanan Golkar sebagai pendukung pemerintah. Presiden Jokowi pun sebentar lagi akan dengan nyata menerima layanan itu. Patut kita tunggu bagaimana presiden cerdas seperti Jokowi memainkan peran politiknya dalam koalisi yang gemuk. Jangan lupa, dalam koalisinya Jokowi sudah memiliki PDIP yang memiliki sejarah kurang baik dengan Golkar. Bila berhasil, untuk kesekian kali Jokowi akan menciptakan sejarah karena mampu membuat PDIP dan Golkar seirama.
Dalam munaslub, Jokowi cukup mampu memainkan peran netral dan tidak berpihak ke salah satu calon walau bawahannya sibuk dicitrakan sebagai orang yang mencatut nama Presiden karena memberikan dukungan (pada calon tertentu). Kehadiran Golkar akan banyak membantu Jokowi di pemerintahan. Pengalaman Golkar mendukung pemerintah adalah yang paling lama di antara parpol yang ada.
Jokowi juga dicitrakan akan memberi hadiah kursi menteri kepada Golkar seusai munaslub digelar. Sebuah langkah berani dan strategis yang mungkin dapat dikatakan sebuah investasi jangka panjang. Investasi untuk 2019 pada saat Jokowi membutuhkan dukungan sangat besar untuk pilpres. Golkar bersama PDIP dapat jadi kendaraan politik yang kuat dan mewah bagi Jokowi yang dapat membuat dirinya hampir pasti terpilih lagi untuk periode kedua.
Nah, bila sudah begini, semua ada di tangan seseorang yang terpilih menjadi ketua umum Golkar hingga tiga tahun ke depan. Ketua umum yang baru harus mampu bekerja sama dengan Jokowi sehingga Jokowi kelak juga memilih Golkar menjadi kendaraan politiknya. Walau bukan kader asli, mengusung Jokowi dapat mengubah sejarah peruntungan Golkar dalam pilpres bahwa tokoh usungannya menjadi presiden RI. Hal yang sejak reformasi belum bisa diwujudkan Golkar. Selamat bekerja ketua umum Golkar yang baru.
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Founder Lembaga Survei KedaiKopi
@satriohendri
PARTAI Golongan Karya atau biasa disebut Golkar memang fenomenal. Partai politik yang dianggap paling dewasa di Indonesia lantaran semua kadernya berpeluang menjadi ketua umum ini pernah merasakan pahitnya berada di luar kekuasaan, yang bukan merupakan jalur politiknya selama puluhan tahun.
Tapi, itu sudah berlalu. Sabtu (14/5) lalu dalam acara pembukaan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) di Bali, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie di depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menegaskan posisi Golkar yang mendukung pemerintahan. Nusa Dua Bali ikut menjadi saksi kebesaran partai politik yang nyaris terbonsai akibat dualisme kepengurusan. Warna kuning mendominasi Nusa Dua. Bila kita masuk ke lingkungan munaslub, aroma lingkar kekuasaan sangat kuat di situ. Wajah akrab khas pejabat pemerintah mudah ditemui di tempat yang menentukan nasib partai beringin kelak.
Mengapa Golkar?
Selain fenomenal, Golkar juga kokoh. Masih jelas di ingatan saya ketika banyak orang menyuarakan lantang untuk membubarkan Golkar. Tapi, kekuatan itu tidak cukup meruntuhkan Golkar, hingga akhirnya ormas ini resmi mencantumkan kata ”Partai” dan tercatat sebagai partai politik.
Sejak Pemilu 1999 hingga 2014, posisi Golkar hanya di dua tempat, nomor satu atau nomor dua. Padahal, guncangan terhadap partai ini begitu kencang. Golkar bahkan kembali jaya pada Pemilu 2004. Golkar memiliki simpatisan loyalis yang kuat. Pada beberapa kali pemilu angka hasil pemilu, Golkar berkutat di 14%-15%, sebuah angka yang fantastis bagi sebuah parpol yang kerap dihantam ujian.
Namun, ada catatan tidak sedap. Sejak reformasi, Golkar belum bisa menempatkan kader terbaiknya menjadi presiden. Hal terbaik bagi Golkar adalah posisi wakil presiden dua kali (yang diraih oleh Jusuf Kalla). Tapi, Jusuf Kalla saat memberikan sambutan pada perayaan ulang tahun Golkar 2015 di Jakarta pernah berseloroh bahwa dirinya selalu menduduki jabatan wapres justru pada saat tidak menduduki posisi ketua di Golkar.
Sebetulnya kondisi Golkar yang belum mampu mendorong kadernya menuju kursi Presiden sudah terbaca oleh Gary Cox dan Mathew Mc Cubbins dalam buku Setting the Agenda (2005) yang diterbitkan Universitas Cambridge, New York, Amerika Serikat. Dalam buku itu menyebutkan bahwa ada partai politik yang kadernya hanya mampu mengontrol agenda parlemen dan masing-masing bertujuan sendiri untuk terpilih kembali.
John Aldrich dalam buku Why Parties (2011) menyampaikan penjelasan politik yang juga memperkuat kondisi Golkar saat ini. Dia mengatakan bahwa sebuah partai politik yang besar berisi banyak politisi sekaligus aktivis yang mencari tempat kerja dan pengakuan.
Berdasarkan dua pendapat tadi dalam munaslub, Golkar harus memiliki ketua umum yang mampu menemukan kader atau minimal anak bangsa terbaik. Tentu dengan kepemimpinan kelas nasional yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pribadinya, untuk dapat diajukan sebagai calon pemimpin negara. Golkar harus mampu meyakinkan kadernya untuk tidak melulu fokus ke diri sendiri. Bila sang ketua umum baru memiliki kemampuan itu, pada 2019 Golkar dapat mempertahankan (bahkan melebihi) angka 14%-15% pada pemilu legislatif.
Golkar dan Jokowi
Mayoritas presiden negeri ini menikmati layanan Golkar sebagai pendukung pemerintah. Presiden Jokowi pun sebentar lagi akan dengan nyata menerima layanan itu. Patut kita tunggu bagaimana presiden cerdas seperti Jokowi memainkan peran politiknya dalam koalisi yang gemuk. Jangan lupa, dalam koalisinya Jokowi sudah memiliki PDIP yang memiliki sejarah kurang baik dengan Golkar. Bila berhasil, untuk kesekian kali Jokowi akan menciptakan sejarah karena mampu membuat PDIP dan Golkar seirama.
Dalam munaslub, Jokowi cukup mampu memainkan peran netral dan tidak berpihak ke salah satu calon walau bawahannya sibuk dicitrakan sebagai orang yang mencatut nama Presiden karena memberikan dukungan (pada calon tertentu). Kehadiran Golkar akan banyak membantu Jokowi di pemerintahan. Pengalaman Golkar mendukung pemerintah adalah yang paling lama di antara parpol yang ada.
Jokowi juga dicitrakan akan memberi hadiah kursi menteri kepada Golkar seusai munaslub digelar. Sebuah langkah berani dan strategis yang mungkin dapat dikatakan sebuah investasi jangka panjang. Investasi untuk 2019 pada saat Jokowi membutuhkan dukungan sangat besar untuk pilpres. Golkar bersama PDIP dapat jadi kendaraan politik yang kuat dan mewah bagi Jokowi yang dapat membuat dirinya hampir pasti terpilih lagi untuk periode kedua.
Nah, bila sudah begini, semua ada di tangan seseorang yang terpilih menjadi ketua umum Golkar hingga tiga tahun ke depan. Ketua umum yang baru harus mampu bekerja sama dengan Jokowi sehingga Jokowi kelak juga memilih Golkar menjadi kendaraan politiknya. Walau bukan kader asli, mengusung Jokowi dapat mengubah sejarah peruntungan Golkar dalam pilpres bahwa tokoh usungannya menjadi presiden RI. Hal yang sejak reformasi belum bisa diwujudkan Golkar. Selamat bekerja ketua umum Golkar yang baru.
(poe)