Inspirasi dan Solusi Islam Nusantara
A
A
A
A Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
IBNU Khordabeh, seorang sejarawan asal Persia, dalam kitabnya, Al-Masalik Wal Mamalik, mencatat sekaligus memberikan gambaran rinci fakta masyarakat Indonesia/Nusantara zaman dulu. Ibnu Khordabeh menjelaskan masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang jujur, santun, terbuka, toleran, kosmopolit, juga beragam dan multikultural.
Menurut catatan Ar-Romahurmuzy dalam Ajayibul Hindi, Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 M. Hari ini banyak kalangan sejarawan mulai menemukan fakta baru bahwa di Barus, Tapanuli Selatan, sudah ada sebuah komunitas muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di sana, tapi skalanya masih kecil. Komoditas yang diperdagangkan salah satunya yang paling terkenal: komoditas kapur Barus.
Pada abad ke-7 M tersebut Islam tampaknya kurang bisa berkembang di Nusantara. Baru kemudian setelah era kedatangan Walisongo sekitar abad 13 M, Islam bisa menyebar secara masif dalam waktu yang relatif sangat singkat, 50 tahun. Apa rahasianya?
Pertama, Walisongo sangat memahami esensi dakwah yang sesungguhnya dan seharusnya. Dakwah yang dilakukan Walisongo adalah dakwah dengan jalan pendekatan kebudayaan dan bersifat memberi wejangan. Dakwah yang mengedepankan laku-lampah dan tindakan, bukan semata-mata pemulas bibir atau lips service semata.
Kedua, dakwah yang dilakukan Walisongo bersifat dakwah yang metodik. Walisongo sangat mengerti derajat, tahapan, dan juga gradasi dalam berdakwah. Ketika terjun dan berdakwah ke masyarakat mula-mula Walisongo menggunakan hikmah, kemudian menggunakan nasihat-nasihat yang baik, dan yang terakhir—jika dua cara tersebut masih gagal—yang ditempuh adalah jalur perdebatan. Itu pun dengan catatan harus dilakukan dengan santun dan sopan.
Ketiga, Islam diajarkan sebagai manifestasi dari pesan memberi rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil alamin). Islam bukan semata-mata hanya rahmat bagi manusia, namun lebih dari itu, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam raya seisinya. Kitab-kitab fikih mengajarkan hal itu. Contoh kecil, kita dimakruhkan untuk buang air kecil di lubang-lubang yang ada di tanah. Alasannya? Karena, dikhawatirkan di lubang-lubang tersebut ada hewan yang sedang bersarang. Ini salah satu bukti nyata bahwa Islam itu ramah ekologis dan peduli lingkungan.
Hari ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan tersebut, jumlah pemeluk agama Islam hari ini mencapai lebih dari 205 juta jiwa. Angka yang sangat luar biasa. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang laik dijadikan bahan renungan bersama: Andaikan Candi Borobudur ini dibangun di negara-negara Teluk, apakah candi peninggalan agama Hindu tersebut akan bisa terus lestari sebagaimana yang bisa kita jumpai di Indonesia saat ini? Tidak ada jaminan.
Menjaga Candi Borobudur—meminjam Franz Magnis Suseno (2008)—dibutuhkan kelapangan psikologis juga teologis serta toleransi yang tinggi. Menjaga Candi Borobudur bukan hanya membutuhkan toleransi, namun justru yang utama dibutuhkan adalah sikap menghargai warisan-warisan kebudayaan peninggalan para pendahulu meski itu dibuat dan diwariskan oleh mereka yang berbeda keyakinan.
Ini bukti bahwa dakwah Islam di Indonesia adalah dakwah yang mengedepankan kompromi terhadap budaya dan kearifan lokal. Corak keislaman di Indonesia adalah corak keislaman yang mengedepankan toleransi dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda keyakinan.
Maka itu, miris dan sangat patut disayangkan sekali jika dengan nonmuslim yang berbeda agama dan keyakinan saja, kita utamanya di Indonesia, bisa saling hidup rukun berdampingan dan saling membantu, mengapa justru dengan sesama muslim yang hanya berbeda mazhab, berbeda pandangan, justru kita perangi?
Sudah saatnya kita mengakhiri era Islam yang dipenuhi citra pertempuran, permusuhan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Teluk sampai saat ini.
Ulama-ulama harus bekerja keras menjalankan—meminjam analisis Said Aqil Siroj (2016)—fungsinya.
Pertama, ulama harus menjadi penyebar ilmu dan kepahaman (yatafaqqohu fiddin). Fungsi pertama ini harus dijalankan secara serius dan lebih nyata. Ulama harus memberikan pencerahan kepada umatnya. Ulama harus memberi pemahaman yang komprehensif kepada umatnya.
Kedua, ulama harus ”memberi arahan” (yunzira qoumahun) kepada umat. Fungsi kedua ini pada kenyataannya kurang mendapatkan porsi dan perhatian. Utamanya di negara-negara yang hingga saat ini masih terus berkonflik.
Indonesia sekali lagi bisa menjadi contoh. Ulama-ulama Indonesia adalah ulama-ulama yang selalu berusaha untuk memerankan dua peran itu. Ulama-ulama Indonesia tidak sebatas memberi pemahaman pada umatnya, namun di luar itu, mereka juga memberi contoh langsung. Mereka menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Maka itu, tidak mengherankan jika banyak konflik di Indonesia bisa segera teratasi, dan berhenti menjadi sebatas konflik lokal. Apa sebabnya? Karena, kiai, ulama, dan pemuka agamanya turun tangan untuk berperan langsung melerai dan meredam konflik tersebut.
NU selama ini sudah membuktikan komitmennya untuk menyebarkan Islam yang ramah, damai, dan toleran. Laporan Kompas yang dirilis 2015 mengatakan bahwa peran terbesar NU dalam bingkai berbangsa bernegara adalah mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran di Indonesia.
Pada 17 Februari 2016, NU menginisiasi apel kebinekaan lintas iman bela negara dengan menggandeng agama-agama dan kepercayaan lain yang ada di Indonesia. Apel kebinekaan selain merespons isu bom Thamrin yang mencoba menyudutkan Islam, juga sebagai ikhtiar untuk menjaga kebersamaan dalam keragaman keyakinan.
Dengan jumlah warga NU yang mencapai 91,2 juta jiwa, NU menjadi salah satu kekuatan Indonesia dalam rangka menjaga kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar itu semua, upaya NU untuk menyebarkan pola dakwah yang ramah dengan jalan menghelat International Summit of the Moderate Islamic Leader (Isomil) di Jakarta 9-11 Mei mendatang harus kita sambut dengan sukacita sekaligus kita maknai sebagai bagian dari upaya ”mengkloning” pola dakwah Islam yang ramah di pelbagai belahan dunia. Wallahualam.
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
IBNU Khordabeh, seorang sejarawan asal Persia, dalam kitabnya, Al-Masalik Wal Mamalik, mencatat sekaligus memberikan gambaran rinci fakta masyarakat Indonesia/Nusantara zaman dulu. Ibnu Khordabeh menjelaskan masyarakat Nusantara adalah masyarakat yang jujur, santun, terbuka, toleran, kosmopolit, juga beragam dan multikultural.
Menurut catatan Ar-Romahurmuzy dalam Ajayibul Hindi, Islam datang ke Nusantara pada abad ke-7 M. Hari ini banyak kalangan sejarawan mulai menemukan fakta baru bahwa di Barus, Tapanuli Selatan, sudah ada sebuah komunitas muslim yang melakukan aktivitas perdagangan di sana, tapi skalanya masih kecil. Komoditas yang diperdagangkan salah satunya yang paling terkenal: komoditas kapur Barus.
Pada abad ke-7 M tersebut Islam tampaknya kurang bisa berkembang di Nusantara. Baru kemudian setelah era kedatangan Walisongo sekitar abad 13 M, Islam bisa menyebar secara masif dalam waktu yang relatif sangat singkat, 50 tahun. Apa rahasianya?
Pertama, Walisongo sangat memahami esensi dakwah yang sesungguhnya dan seharusnya. Dakwah yang dilakukan Walisongo adalah dakwah dengan jalan pendekatan kebudayaan dan bersifat memberi wejangan. Dakwah yang mengedepankan laku-lampah dan tindakan, bukan semata-mata pemulas bibir atau lips service semata.
Kedua, dakwah yang dilakukan Walisongo bersifat dakwah yang metodik. Walisongo sangat mengerti derajat, tahapan, dan juga gradasi dalam berdakwah. Ketika terjun dan berdakwah ke masyarakat mula-mula Walisongo menggunakan hikmah, kemudian menggunakan nasihat-nasihat yang baik, dan yang terakhir—jika dua cara tersebut masih gagal—yang ditempuh adalah jalur perdebatan. Itu pun dengan catatan harus dilakukan dengan santun dan sopan.
Ketiga, Islam diajarkan sebagai manifestasi dari pesan memberi rahmat kepada seluruh alam (rahmatan lil alamin). Islam bukan semata-mata hanya rahmat bagi manusia, namun lebih dari itu, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam raya seisinya. Kitab-kitab fikih mengajarkan hal itu. Contoh kecil, kita dimakruhkan untuk buang air kecil di lubang-lubang yang ada di tanah. Alasannya? Karena, dikhawatirkan di lubang-lubang tersebut ada hewan yang sedang bersarang. Ini salah satu bukti nyata bahwa Islam itu ramah ekologis dan peduli lingkungan.
Hari ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa. Dari jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan tersebut, jumlah pemeluk agama Islam hari ini mencapai lebih dari 205 juta jiwa. Angka yang sangat luar biasa. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Ada sebuah pertanyaan menggelitik yang laik dijadikan bahan renungan bersama: Andaikan Candi Borobudur ini dibangun di negara-negara Teluk, apakah candi peninggalan agama Hindu tersebut akan bisa terus lestari sebagaimana yang bisa kita jumpai di Indonesia saat ini? Tidak ada jaminan.
Menjaga Candi Borobudur—meminjam Franz Magnis Suseno (2008)—dibutuhkan kelapangan psikologis juga teologis serta toleransi yang tinggi. Menjaga Candi Borobudur bukan hanya membutuhkan toleransi, namun justru yang utama dibutuhkan adalah sikap menghargai warisan-warisan kebudayaan peninggalan para pendahulu meski itu dibuat dan diwariskan oleh mereka yang berbeda keyakinan.
Ini bukti bahwa dakwah Islam di Indonesia adalah dakwah yang mengedepankan kompromi terhadap budaya dan kearifan lokal. Corak keislaman di Indonesia adalah corak keislaman yang mengedepankan toleransi dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda keyakinan.
Maka itu, miris dan sangat patut disayangkan sekali jika dengan nonmuslim yang berbeda agama dan keyakinan saja, kita utamanya di Indonesia, bisa saling hidup rukun berdampingan dan saling membantu, mengapa justru dengan sesama muslim yang hanya berbeda mazhab, berbeda pandangan, justru kita perangi?
Sudah saatnya kita mengakhiri era Islam yang dipenuhi citra pertempuran, permusuhan sebagaimana yang terjadi di negara-negara Teluk sampai saat ini.
Ulama-ulama harus bekerja keras menjalankan—meminjam analisis Said Aqil Siroj (2016)—fungsinya.
Pertama, ulama harus menjadi penyebar ilmu dan kepahaman (yatafaqqohu fiddin). Fungsi pertama ini harus dijalankan secara serius dan lebih nyata. Ulama harus memberikan pencerahan kepada umatnya. Ulama harus memberi pemahaman yang komprehensif kepada umatnya.
Kedua, ulama harus ”memberi arahan” (yunzira qoumahun) kepada umat. Fungsi kedua ini pada kenyataannya kurang mendapatkan porsi dan perhatian. Utamanya di negara-negara yang hingga saat ini masih terus berkonflik.
Indonesia sekali lagi bisa menjadi contoh. Ulama-ulama Indonesia adalah ulama-ulama yang selalu berusaha untuk memerankan dua peran itu. Ulama-ulama Indonesia tidak sebatas memberi pemahaman pada umatnya, namun di luar itu, mereka juga memberi contoh langsung. Mereka menjadi suri tauladan bagi umatnya.
Maka itu, tidak mengherankan jika banyak konflik di Indonesia bisa segera teratasi, dan berhenti menjadi sebatas konflik lokal. Apa sebabnya? Karena, kiai, ulama, dan pemuka agamanya turun tangan untuk berperan langsung melerai dan meredam konflik tersebut.
NU selama ini sudah membuktikan komitmennya untuk menyebarkan Islam yang ramah, damai, dan toleran. Laporan Kompas yang dirilis 2015 mengatakan bahwa peran terbesar NU dalam bingkai berbangsa bernegara adalah mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran di Indonesia.
Pada 17 Februari 2016, NU menginisiasi apel kebinekaan lintas iman bela negara dengan menggandeng agama-agama dan kepercayaan lain yang ada di Indonesia. Apel kebinekaan selain merespons isu bom Thamrin yang mencoba menyudutkan Islam, juga sebagai ikhtiar untuk menjaga kebersamaan dalam keragaman keyakinan.
Dengan jumlah warga NU yang mencapai 91,2 juta jiwa, NU menjadi salah satu kekuatan Indonesia dalam rangka menjaga kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar itu semua, upaya NU untuk menyebarkan pola dakwah yang ramah dengan jalan menghelat International Summit of the Moderate Islamic Leader (Isomil) di Jakarta 9-11 Mei mendatang harus kita sambut dengan sukacita sekaligus kita maknai sebagai bagian dari upaya ”mengkloning” pola dakwah Islam yang ramah di pelbagai belahan dunia. Wallahualam.
(poe)