KH Ali Mustafa Yaqub dan Pengaruh Arab
A
A
A
Ahmad Najib Burhani
Peneliti di LIPI dan Kyoto University, Jepang
KAMIS, 28 April 2016 pagi kita mendengar kabar mengejutkan tentang meninggalnya salah satu ulama moderat terkemuka dan pakar hadis ternama di Indonesia, KH Ali Mustafa Yaqub. Mengejutkan, karena dalam beberapa waktu belakangan ini beliau masih aktif dalam kegiatan deradikalisasi, melawan kelompok garis keras dan terorisme yang bahkan telah masuk ke berbagai masjid dan sekolah Islam.
KH Mustafa Yaqub melakukan itu dengan sepenuh jiwanya. Bahkan, berkali-kali berdebat langsung dengan mereka yang sering disebut sebagai preman berjubah. Pada Mei 2012 yang lalu, misalnya, seperti disiarkan secara langsung oleh TV ONE, KH Mustafa Yaqub membuat Habib Salim Selon, tokoh FPI (Front Pembela Islam), yang biasanya berteriak lantang menjadi tak berkutik.
Dia mengkritik keras tindakan FPI yang sering melangkahi hukum dengan main hakim sendiri terhadap tindak maksiat. Menurut KH Mustafa Yaqub, apa yang dilakukan FPI itu tak memiliki dasar keagamaan sama sekali.
Habib Salim dan FPI, yang merasa berhak melakukan sweeping terhadap kemungkaran dan meyakini bahwa penggunaan kekerasan sebagai cara menegakkan amr ma’ruf wa nahy ‘anil munkar memiliki sandaran keagamaan (di antaranya pada berbagai pernyataan Imam Al-Ghazali), lantas dibantah keras oleh KH Mustafa Yaqub.
KH Mustafa Yaqub yang waktu itu membawa kitab Ihya Ulumuddin karangan Al-Ghazali lantas meminta Habib Salim untuk membaca dan menerjemahkannya sambil menegaskan bahwa berdasarkan kitab itu, selama ada pemerintah yang sah, tidak boleh seseorang atau sekelompok orang main hakim sendiri. Sikap berani dan tidak minder, termasuk dengan habib-habib itu sering ditunjukkan oleh KH Mustafa Yaqub untuk menghadang mereka yang merasa paling memiliki Islam dan kemudian mengajarkan Islam dengan kekerasan.
Terakhir kali penulis bertemu dengan KH Mustafa Yaqub adalah pada seminar internasional tentang "Memperkokoh Islam Rahmatan Lil ‘Alamin untuk Perdamaian dan Kesejahteraan" di STAIN Pekalongan, November 2015. Pada saat itu KH Mustafa Yakub menegaskan sikapnya untuk melawan gerakan anti-Syiah yang berkembang di masyarakat.
Dia misalnya, menentang sikap ulama-ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa Syiah itu sesat. Menurutnya, fatwa seperti itu tidak benar karena Syiah tidaklah tunggal. Fatwa seperti itulah yang justru menyesatkan.
Beliau baru setuju kalau fatwa itu berbunyi, misalnya: "Barang siapa yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan atau memiliki posisi lebih tinggi daripada Nabi Muhammad, maka mereka telah tersesat."
Pandangan seperti di atas tentu merupakan perlawanan terhadap kelompok seperti ANNAS (aliansi nasional anti-Syiah). Kelompok yang dipimpin oleh Athian Ali M. Da’i itu sering melakukan gebyah uyah atau mengeneralisasi bahwa semua orang Syiah adalah sesat.
Kalau lah mereka sesat, bagi KH Mustafa Yaqub, kita tidaklah berhak melakukan kekerasan. Negaralah yang memiliki kedaulatan. Memang, sikap KH Mustafa Yaqub terhadap Syiah kadang terlihat seperti anti terhadap kelompok ini.
Namun sepemahaman penulis, apa yang dilakukannya adalah upaya untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Selain hal-hal yang berkaitan dengan teologi, KH Mustafa Yaqub termasuk ulama yang kritis terhadap mereka yang sering mendewakan ritual, seperti dalam melakukan ibadah haji.
Di Majalah Gatra (Januari 2006) misalnya, beliau menulis artikel berjudul "Haji Pengabdi Setan". Tulisan itu sangat menghenyakkan karena ditulis oleh ulama terkemuka dan ketika itu menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Bagaimana bisa seorang ulama menyebut mereka yang melakukan haji sebagai pengabdi setan? Biasanya ulama justru menganjurkan umatnya untuk memperbanyak ibadah ritual, termasuk haji.
Tapi, KH Mustafa Yaqub tidak setuju hal itu dan lebih memilih untuk menekankan pentingnya ibadah sosial. Intinya, beliau mengecam mereka yang berhaji berkali-kali, yang menurutnya tak lain hanya menuruti bujukan setan.
Ketika banyak persoalan kemiskinan begitu parah di masyarakat, maka haji berkali-kali itu tidak hanya tak etis secara sosial, tapi juga bahkan bisa berhukum haram. "Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka'bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita." Ini adalah refleksi dari teologi pembebasan yang mengalir dalam darah KH Mustafa Yaqub.
Sebagai salah satu muridnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren Darus Sunnah Ciputat, penulis mulai berkenalan dengan KH Mustafa Yaqub tahun 1994 atau lima tahun setelah beliau mendirikan Pesantren Darus Sunnah. Selain beberapa sikapnya yang tertulis di atas, ada beberapa hal yang penulis catat tentang kiai berjenggot tipis, tak suka bergaya Arab, dan tak terlihat jidat hitamnya ini.
Pertama, berkaitan dengan pemilihan nama pesantrennya, Darus Sunnah. Mungkin banyak yang bertanya, mengapa tidak disebut Darul Hadits? Meskipun KH Mustafa Yaqub disebut sebagai pakar hadis, beliau tahu betul bahwa sunnah memiliki makna yang lebih luas daripada hadis.
Sunnah tidak hanya mengacu kepada sabda Nabi Muhammad yang tertulis, tetapi juga mengacu kepada sesuatu yang diteladani para Sahabat dan Tabi’in. Meskipun itu tak tertulis, sesuatu yang dijiwai dan menjadi model dalam perilaku.
Kedua, kehadiran KH Mustafa Yaqub membantah tuduhan yang mengeneralisasi bahwa alumni Arab Saudi akan memiliki pandangan radikal. Meski pendidikan S-1 dan S-2 beliau ditempuh di Arab Saudi, KH Mustafa Yaqub bukanlah orang yang terbuai dengan penampilan luar masyarakat Arab atau cara berpakaian Arab.
Ia lebih senang memakai kopiah dan baju sebagaimana umumnya orang Indonesia daripada memakai sorban atau kafiyeh atau jubah gaya Arab. Ini berbeda dari orang yang baru tahu Arab, tapi menjadikan tradisi luar Arab sebagai model kebanggaan.
Cara berpikirnya pun banyak yang tak sejalan dengan ideologi yang dipromosikan Pemerintah Saudi, Wahabisme. Meskipun Pesantren Darus Sunnah secara pendidikan berafiliasi dengan Timur Tengah, KH Mustafa Yaqub bisa mempertahankan independensi dalam berpikir.
Terakhir, berpolitik sepertinya menjadi kecenderungan dari banyak ulama belakangan ini. KH Mustafa Yaqub termasuk dari sedikit ulama yang tidak menyerahkan dirinya tergulung dalam kisaran politik. Dia konsisten dalam bidang akademik sebagai ahli hadits, mendidik anak-anak di pesantren, dan berdakwah.
Selamat jalan Pak Kiai, semoga akan lahir ahli-ahli hadits baru yang menjadi penerusmu dan yang benar-benar mengamalkan Sunnah, bukan sekadar tahu tentang hadits.
Peneliti di LIPI dan Kyoto University, Jepang
KAMIS, 28 April 2016 pagi kita mendengar kabar mengejutkan tentang meninggalnya salah satu ulama moderat terkemuka dan pakar hadis ternama di Indonesia, KH Ali Mustafa Yaqub. Mengejutkan, karena dalam beberapa waktu belakangan ini beliau masih aktif dalam kegiatan deradikalisasi, melawan kelompok garis keras dan terorisme yang bahkan telah masuk ke berbagai masjid dan sekolah Islam.
KH Mustafa Yaqub melakukan itu dengan sepenuh jiwanya. Bahkan, berkali-kali berdebat langsung dengan mereka yang sering disebut sebagai preman berjubah. Pada Mei 2012 yang lalu, misalnya, seperti disiarkan secara langsung oleh TV ONE, KH Mustafa Yaqub membuat Habib Salim Selon, tokoh FPI (Front Pembela Islam), yang biasanya berteriak lantang menjadi tak berkutik.
Dia mengkritik keras tindakan FPI yang sering melangkahi hukum dengan main hakim sendiri terhadap tindak maksiat. Menurut KH Mustafa Yaqub, apa yang dilakukan FPI itu tak memiliki dasar keagamaan sama sekali.
Habib Salim dan FPI, yang merasa berhak melakukan sweeping terhadap kemungkaran dan meyakini bahwa penggunaan kekerasan sebagai cara menegakkan amr ma’ruf wa nahy ‘anil munkar memiliki sandaran keagamaan (di antaranya pada berbagai pernyataan Imam Al-Ghazali), lantas dibantah keras oleh KH Mustafa Yaqub.
KH Mustafa Yaqub yang waktu itu membawa kitab Ihya Ulumuddin karangan Al-Ghazali lantas meminta Habib Salim untuk membaca dan menerjemahkannya sambil menegaskan bahwa berdasarkan kitab itu, selama ada pemerintah yang sah, tidak boleh seseorang atau sekelompok orang main hakim sendiri. Sikap berani dan tidak minder, termasuk dengan habib-habib itu sering ditunjukkan oleh KH Mustafa Yaqub untuk menghadang mereka yang merasa paling memiliki Islam dan kemudian mengajarkan Islam dengan kekerasan.
Terakhir kali penulis bertemu dengan KH Mustafa Yaqub adalah pada seminar internasional tentang "Memperkokoh Islam Rahmatan Lil ‘Alamin untuk Perdamaian dan Kesejahteraan" di STAIN Pekalongan, November 2015. Pada saat itu KH Mustafa Yakub menegaskan sikapnya untuk melawan gerakan anti-Syiah yang berkembang di masyarakat.
Dia misalnya, menentang sikap ulama-ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa Syiah itu sesat. Menurutnya, fatwa seperti itu tidak benar karena Syiah tidaklah tunggal. Fatwa seperti itulah yang justru menyesatkan.
Beliau baru setuju kalau fatwa itu berbunyi, misalnya: "Barang siapa yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan atau memiliki posisi lebih tinggi daripada Nabi Muhammad, maka mereka telah tersesat."
Pandangan seperti di atas tentu merupakan perlawanan terhadap kelompok seperti ANNAS (aliansi nasional anti-Syiah). Kelompok yang dipimpin oleh Athian Ali M. Da’i itu sering melakukan gebyah uyah atau mengeneralisasi bahwa semua orang Syiah adalah sesat.
Kalau lah mereka sesat, bagi KH Mustafa Yaqub, kita tidaklah berhak melakukan kekerasan. Negaralah yang memiliki kedaulatan. Memang, sikap KH Mustafa Yaqub terhadap Syiah kadang terlihat seperti anti terhadap kelompok ini.
Namun sepemahaman penulis, apa yang dilakukannya adalah upaya untuk menjaga harmoni dalam masyarakat. Selain hal-hal yang berkaitan dengan teologi, KH Mustafa Yaqub termasuk ulama yang kritis terhadap mereka yang sering mendewakan ritual, seperti dalam melakukan ibadah haji.
Di Majalah Gatra (Januari 2006) misalnya, beliau menulis artikel berjudul "Haji Pengabdi Setan". Tulisan itu sangat menghenyakkan karena ditulis oleh ulama terkemuka dan ketika itu menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal. Bagaimana bisa seorang ulama menyebut mereka yang melakukan haji sebagai pengabdi setan? Biasanya ulama justru menganjurkan umatnya untuk memperbanyak ibadah ritual, termasuk haji.
Tapi, KH Mustafa Yaqub tidak setuju hal itu dan lebih memilih untuk menekankan pentingnya ibadah sosial. Intinya, beliau mengecam mereka yang berhaji berkali-kali, yang menurutnya tak lain hanya menuruti bujukan setan.
Ketika banyak persoalan kemiskinan begitu parah di masyarakat, maka haji berkali-kali itu tidak hanya tak etis secara sosial, tapi juga bahkan bisa berhukum haram. "Nabi SAW tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka'bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita." Ini adalah refleksi dari teologi pembebasan yang mengalir dalam darah KH Mustafa Yaqub.
Sebagai salah satu muridnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren Darus Sunnah Ciputat, penulis mulai berkenalan dengan KH Mustafa Yaqub tahun 1994 atau lima tahun setelah beliau mendirikan Pesantren Darus Sunnah. Selain beberapa sikapnya yang tertulis di atas, ada beberapa hal yang penulis catat tentang kiai berjenggot tipis, tak suka bergaya Arab, dan tak terlihat jidat hitamnya ini.
Pertama, berkaitan dengan pemilihan nama pesantrennya, Darus Sunnah. Mungkin banyak yang bertanya, mengapa tidak disebut Darul Hadits? Meskipun KH Mustafa Yaqub disebut sebagai pakar hadis, beliau tahu betul bahwa sunnah memiliki makna yang lebih luas daripada hadis.
Sunnah tidak hanya mengacu kepada sabda Nabi Muhammad yang tertulis, tetapi juga mengacu kepada sesuatu yang diteladani para Sahabat dan Tabi’in. Meskipun itu tak tertulis, sesuatu yang dijiwai dan menjadi model dalam perilaku.
Kedua, kehadiran KH Mustafa Yaqub membantah tuduhan yang mengeneralisasi bahwa alumni Arab Saudi akan memiliki pandangan radikal. Meski pendidikan S-1 dan S-2 beliau ditempuh di Arab Saudi, KH Mustafa Yaqub bukanlah orang yang terbuai dengan penampilan luar masyarakat Arab atau cara berpakaian Arab.
Ia lebih senang memakai kopiah dan baju sebagaimana umumnya orang Indonesia daripada memakai sorban atau kafiyeh atau jubah gaya Arab. Ini berbeda dari orang yang baru tahu Arab, tapi menjadikan tradisi luar Arab sebagai model kebanggaan.
Cara berpikirnya pun banyak yang tak sejalan dengan ideologi yang dipromosikan Pemerintah Saudi, Wahabisme. Meskipun Pesantren Darus Sunnah secara pendidikan berafiliasi dengan Timur Tengah, KH Mustafa Yaqub bisa mempertahankan independensi dalam berpikir.
Terakhir, berpolitik sepertinya menjadi kecenderungan dari banyak ulama belakangan ini. KH Mustafa Yaqub termasuk dari sedikit ulama yang tidak menyerahkan dirinya tergulung dalam kisaran politik. Dia konsisten dalam bidang akademik sebagai ahli hadits, mendidik anak-anak di pesantren, dan berdakwah.
Selamat jalan Pak Kiai, semoga akan lahir ahli-ahli hadits baru yang menjadi penerusmu dan yang benar-benar mengamalkan Sunnah, bukan sekadar tahu tentang hadits.
(whb)