Orientasi Akademik Atau Kekuasaan?

Kamis, 14 April 2016 - 16:27 WIB
Orientasi Akademik Atau...
Orientasi Akademik Atau Kekuasaan?
A A A
Mohamad Sobary

Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih,
buat Kesehatan.
Email: [email protected]

SIAPAKAH yang dapat menjelaskan secara meyakinkan, mengapa, atau apa sebabnya, kata kearifan selalu dianggap lokal dan harus lokal? Siapa yang mengharuskannya? Mengapa kita tak pernah mempersoalkan ungkapan kearifan lokal yang dianggap telah menjadi kebenaran umum? Apakah para akademisi tidak lagi tertarik untuk secara kritis menggugat kemapanan tersebut?

Bukankah kearifan adalah kearifan, sebagaimana lapar adalah lapar? Kita menolak secara tegas predikat lokal yang memperkecil makna ungkapan tersebut.
Gagasan demokrasi di zaman Socrates tidak dapat dianggap kearifan lokal. Ketika gagasan itu dimatangkan dan diangkat ke dalam dunia modern menjadi sejenis panduan dalam praktik kehidupan berdemokrasi di seluruh dunia, hal itu makin tampak begitu jelasnya bahwa dari filsuf itu telah lahir gagasan besar, global, universal, dan bukan lokal.

Trias politika tak pernah disebut kearifan lokal bukan karena pembagian kekuasaan itu lahir di dunia Barat, melainkan karena pemikiran itu menjawab kebutuhan politik modern yang dirayakan dengan gegap gempita di seluruh dunia. Gagasan mengenai kekuasaan Jawa, sebagaimana ditulis oleh Ben Anderson dalam The Idea of Power in Javanese Culture, oleh Ben Anderson sendiri tak pernah dianggap sebagai pemikiran lokal, dan tidak pula disebut kearifan lokal?

Tapi ketika menulis Local Knowledge, dengan jelas Clifford Geertz menganggap pengetahuan yang ditulisnya bersifat lokal. Kalau tidak salah dia mengutip ungkapan Minang: bulek aia di pambuluh, bulek kato di mufakek (bulat air di bambu, bulat kata di mufakat). Ini disebut pengetahuan lokal. Dengan kata lain, tampaknya secara logis akan disebut kearifan lokal.

Apakah hanya karena terjadi di negeri Minangkabau maka kata mufakat di dalam bulek kato, dianggap lokal? Mufakat, sebagai konsep, sudah bersifat universal, dan tidak bisa dilokalkan.

Mufakat sebagai tindakan, cerminan cara berdemokrasi yang juga universal. Apa yang menandakan lokal di sini? Urutan-urutan kejadian sejak kita bicara demokrasi, trias politika, gagasan kekuasaan Jawa, dan bulek kato di mufakek, di Yunani, Prancis, Jawa, Minangkabau, nama-nama kota, nama-nama tempat tersebut bukan tanda lokalitas.

Tampaknya orientasi nilai dan cakupan konsep tersebut yang menandakan sesuatu bersifat lokal atau bukan lokal. Demi ketegasan, sesuatu bersifat lokal atau global, dan universal.

Dengan begini, Pancasila yang digali dari anasir-anasir kehidupan masyarakat kita, yang berbicara tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan itu dengan sendirinya tak bisa disebut kearifan lokal? Pancasila bukan pemikiran lokal dan bukan kearifan lokal.

Di dalam dunia pemikiran, ketika kita berbicara mengenai kearifan, wisdom tak ada kategori local wisdom tetapi kita temukan conventional wisdom, yang membahas wisdom yang telah teruji di dalam sejarah, yaitu wisdom yang telah mampu bertahan lintas abad, lintas generasi. Di luar itu, ada buku berisi himpunan wisdom dari sejumlah tokoh, termasuk Gandhi yang menyatakan the voice of the people should be the voice of God seperti ungkapan klasik, yang dianggap konvensional, vox populi vox dei.

Kearifan harus pertama-tama dipandang sebagai konsep kebudayaan, yang merupakan kombinasi harmonis antara dimensi kognitif, afektif, dan evaluatif di dalam hidup suatu masyarakat. Selain itu harus dilihat orientasi nilainya. Maksudnya, kearifan tadi lahir untuk kepentingan apa, dan kiblat utamanya apa.

Kita punya kearifan yang bicara kemanusiaan, untuk kepentingan menata hidup yang lebih manusiawi. Kiblat atau orientasi nilai kemanusiaan itu ditujukan pada tata kehidupan yang besar dan tampak universal.

***
Dengan begini, jelas bagi kita bahwa tak ada alasan untuk menganggapnya kearifan sebagai sesuatu yang bersifat lokal. Suatu makalah yang hanya membahas kearifan bersumber pada tradisi lisan, dan memberi contoh kearifan dari Manado, Papua, Jawa atau daerah-daerah lain, tidak cukup.

Kearifan itu juga bersumber pada ajaran, baik yang datang dari dunia agama maupun dari kebudayaan masyarakat bersangkutan. Selebihnya kearifan juga bersumber pada mitologi, pada dongeng, pada cerita rakyat, yang memiliki nilai-nilai keluhuran universal, dan bukan lokal.

Kita belum pernah memiliki penjelasan cukup detail dan mendalam tentang kearifan. Ketika kearifan disebut kearifan lokal, kita tidak berusaha bertanya mengapa.
Kaum akademisi menganggap seolah hidup ini sudah selesai dan tinggal perkara pelaksanaan teknisnya belaka. Kita sudah terbiasa menerima ungkapan kearifan lokal sebagai kebenaran yang dianggap telah mapan. Ibaratnya, kita menelan tanpa mengunyah sesuatu yang seharusnya dikunyah.

Sebuah diskusi atau kajian akademik yang tak mempersoalkan suatu kata, atau ungkapan secara kritis, selama ini dunia akademik dan para akademisi kita tidak menganggapnya masalah. Apa yang dibahas di dalamnya cukup disambut dengan ”nggih ...”, atau ”amien,” ”amien” seperti di dalam sebuah acara kendurian yang kompak karena para peserta bakal pulang membawa sebungkus nasi yang disebut berkat untuk dimakan bersama keluarga di rumah.

Apa yang dibahas dalam diskusi atau seminar akademik itu seolah dianggap kebenaran mutlak yang tak perlu diperdebatkan lagi. Di sini kebebasan berpikir seperti telah mati. Dan kita prihatin melihat gejala ketika kaum akademisi tidak lagi berorientasi akademik, dan sudah berhenti mendobrak kemapanan untuk berganti peran sebagai pak Amien, yang hanya bisa mengucap aamien, aamien secara kompak. Ke manakah hilangnya kemandirian akademik yang mulia dalam dunia pemikiran itu?

Pengalaman seperti ini pernah terjadi di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), pada hari Senin (4/4/2016), dalam suatu kajian tentang Kearifan Lokal, dan Revolusi Mental untuk pertahanan. Dr Djoharis Lubis, tenaga profesional bidang Demografi, Lemhanas, menulis makalah mengenai tema tersebut di atas.

Semula saya diundang untuk menjadi pembahas, tapi pagi itu juga diubah menjadi pemakalah. Para pembahas terdiri dari Dr Hisyam dan Hamdan Basyar dari LIPI, dan Dr Anhar Gonggong. Dr Djoharis Lubis memaparkan makalahnya, dilengkapi makalah tambahan dari Dr Agus Sartono, kemudian Prof Dr Komaruddin Hidayat, dan saya pemakalah terakhir, yang mempersoalkan kembali makna kearifan lokal tadi dengan argumen yang kurang lebih sudah diuraikan di atas.

Jadi, pada hari itu, dengan alasan akademik tersebut saya menolak pengerdilan konsep kearifan menjadi kearifan lokal. Dr Lubis menjawab, ada satu yang menolak, dua yang menerima gagasan kearifan lokal.

Di sini terasa, orientasi akademik telah diubah menjadi orientasi politik seperti cara berdemokrasi di parlemen. Saya mengajukan keberatan agar cara kita berilmu pengetahuan tidak begitu.

Lalu Dr Lubis bertanya: ”Kalau tidak kearifan lokal kita mengaji apa?” Ketika saya menjawab: kearifan bangsa, terdengar tanda orang terkejut. Dalam pidato penutupan, secara ringkas gubernur Lemhanas menunjukkan perlindungannya pada Dr Lubis, agar jangan mudah tergoyah. ”Kita ini ikut aturan birokrasi pemerintah. Jadi jangan ”kemudu-mudu” (jangan merasa harus segera) diberubah.

Di sini, untuk kedua kalinya orientasi akademik diubah menjadi orientasi birokratis, dan atas dasar kekuasaan. Dr Lubis mungkin sudah condong untuk berubah, setidaknya sesudah ada kata kearifan bangsa bukan lagi kearifan lokal tapi sang gubernur seperti membuat kebijakan, seolah berkata jangan dengarkan orang lain, tapi dengarkanlah saya.

Pak gubernur yang mulia dan berkuasa, apa sebenarnya orientasi pemikiran Lemhanas dalam kajian akademik seperti itu? Berkiblat pada kebebasan akademik atau taat pada kekuasaan? Kalau jawabnya yang kedua, apa gunanya kaum akademisi diundang?

Pikiran saya belum tentu academically correct tapi mungkin patut dihargai sedikit. Arahan pada Dr Lubis untuk tidak berubah, hendaknya disampaikan di ruang tertutup. Setidaknya saya tak usah disuruh mendengar. Dengan orientasi kekuasaan seperti itu, siapa pun, apalagi orang luar seperti saya, pasti kalah dengan gubernur Lemhanas.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0851 seconds (0.1#10.140)