Sun Tzu, Raja Ho Lu, dan Jakarta

Selasa, 12 April 2016 - 13:37 WIB
Sun Tzu, Raja Ho Lu,...
Sun Tzu, Raja Ho Lu, dan Jakarta
A A A
Prijanto
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta

SUN Tzu adalah ahli strategi militer China klasik pada zaman Raja Ho Lu. Sampai saat ini seni berperang Sun Tzu masih menjadi referensi dalam mengatur strategi perang. Walaupun seni berperang tersebut disusun pada 500 tahun sebelum masehi.

Mengapa Sun Tzu bisa membangun angkatan perang yang kuat? Hanya satu kata yang membuatnya menjadi panglima perang yang hebat. Sun Tzu orang yang memiliki prinsip dan disiplin. Keteguhan dalam prinsip dan disiplinnya tampak pada saat menampik permintaan raja.

Ketika Sun Tzu hendak menghukum kedua selir raja yang cantik-cantik, karena tidak disiplin berlatih, Raja berkata, ”Saya merasa puas dengan kemampuan Jenderal dalam melatih. Namun, jika kedua selirku dihukum mati, saya akan kehilangan selera makan dan minum. Saya minta kedua selirku tidak dipancung”.

Sun Tzu menjawab, ”Sekali kami mendapat penugasan dari Yang Mulia, maka ada perintah tertentu yang tidak dapat kami laksanakan, sesuai kedudukan kami sebagai Panglima”.

Akhirnya, kedua selir raja tetap dihukum pancung. Raja Ho Lu akhirnya memahami. Walaupun dirinya raja, tetapi tidak boleh intervensi atas tugas yang telah dia berikan kepada Sun Tzu. Itulah prinsip dalam kehidupan bernegara. Suatu prinsip yang diperlukan agar sistem berjalan sesuai aturan.

Kepiawaian Sun Tzu melatih prajurit membuat raja mengangkatnya sebagai panglima perang Kerajaan Wu. Ke arah barat dia mengalahkan Kerajaan Chu dan bergerak ke ibu kota Ying. Ke utara dia menimbulkan ketakutan Kerajaan Chi dan Chin. Sun Tzu dan Raja Ho Lu menjadi terkenal dan disegani lawan-lawannya.

***
Dalam konteks penyelesaian dugaan korupsi Taman BMW, RS Sumber Waras, dan reklamasi Teluk Jakarta yang saat ini sudah di KPK, rakyat Indonesia berharap, sikap Sun Tzu dan Raja Ho Lu bisa memberikan ilham kepada para komisioner KPK dan stafnya, Presiden, Menko Polhukam, dan para pembantu Presiden yang lain. Bahwa penyelesaian dugaan korupsi harus berpegang kepada tupoksi masing-masing dan tidak saling intervensi.

Para komisioner KPK dengan para pembantunya harus memiliki kesadaran yang tinggi atas jabatan yang diembannya. Jabatan itu adalah amanat yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat dan Tuhan. Apa pun yang terjadi, sebagaimana sikap Sun Tzu, para komisioner tidak boleh dan tidak mudah terkooptasi dan diintervensi.

Para komisioner KPK harus berani menolak segala bentuk intervensi. Apakah dari penyelenggara negara, pejabat partai, ataupun pemilik modal. Tidak perlu takut dan ragu ketika ada suara, jangan, nanti kita bisa guncang. Yakinlah, yang guncang adalah dunia korporasi jahat. Tetapi kehidupan rakyat tidak akan guncang. Justru rakyat akan berterima kasih dan memberikan apresiasi kepada KPK.

Rakyat juga berharap kepada Presiden dan para pembantunya agar memiliki kesadaran yang tinggi sebagaimana Raja Ho Lu. Tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang diemban para komisioner KPK hendaknya tidak dicampuri. Siapa pun yang terlibat dan bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi Taman BMW, RS Sumber Waras, dan reklamasi Teluk Jakarta hendaknya diserahkan saja kepada KPK. Itulah impian rakyat Indonesia.

Jika menginginkan negeri ini besar dan eksis dalam percaturan internasional, hendaknya penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilakukan secara profesional, adil, dan terus-menerus.

Dalam hal ini jiwa Sun Tzu dan Raja Ho Lu diperlukan untuk menyelesaikan ketiga kasus di atas. Mengapa? Karena menurut pendapat para pakar hukum ketiga kasus tersebut sesungguhnya sudah sangat jelas, tidak perlu ada polemik.

***
Ada baiknya kita bahas satu per satu kasus-kasus tersebut. Pertama, kasus dugaan korupsi Taman BMW. Kasus ini sudah ada di Bagian Penindakan KPK. Dokumen berita acara serah terima kewajiban pengembang yang diwakili PT Agung Podomoro Land kepada Pemprov DKI patut diduga bodong dari sisi luas, letak, dan keabsahan surat-surat. Bila penyerahan tersebut sah, tentu Pemprov DKI sudah membangun stadion olahraga di atas Taman BMW. Toh, sampai sekarang hal itu tidak bisa terwujud.

Pada kasus ini tampak jelas adanya perbuatan melawan hukum, kerugian negara, dan Agung Podomoro sebagai pihak yang diuntungkan. Tetapi bagaimana mungkin Ahok mengatakan tidak ada korupsi atau kerugian negara. Sikap Ahok terhadap Agung Podomoro menunjukkan perkawanan. Berbeda dengan teriakannya kepada PNS dan anggota DPRD DKI yang korup.

Ahok patut diduga telah melakukan pembiaran terjadinya korupsi. Sikap semacam ini bisa dipidana, karena Ahok mengetahui. Belum lagi Ahok telah melegalisasi Taman BMW dengan mengajukan sertifikasi, ketika DKI dalam gugatan di PN Jakut dengan alas hak yang tidak sah. Dua sertifikat yang terbit patut diduga cacat hukum.

Kedua, kasus pembelian tanah RS Sumber Waras. Kasus ini sedang ditangani KPK secara intensif. Menilik pernyataan KPK, dari mencari perbuatan melawan hukum (PMH), dua alat bukti dan yang terakhir sedang mencari niat jahat, patut diduga PMH dan dua alat bukti sudah ditemukan.

Berdasarkan LHP BPK 2014, sangat jelas keterlibatan Ahok. Dari rapat awal dengan pihak RS Sumber Waras, perintah anggarkan dalam APBD-P 2014, sampai dengan pembayaran yang tidak lazim. Tentu ketidaklaziman ini bisa kita maknai sebagai niat, yang saat ini sedang dicari oleh KPK.

Ketidaklaziman itu antara lain pada saat pembayaran RS Sumber Waras belum melunasi PBB Rp6 miliar. Pada saat pembayaran itu juga di atas tanah yang dibeli masih ada 15 bangunan aktif yang digunakan RS Sumber Waras. Pembayaran dilakukan pada 31 Desember 2014, sekitar pukul 20.00, dengan sistem pembayaran yang tidak lazim.

Bidang tanah yang dibeli di Jalan Tomang Utara, tetapi disebut beli tanah di Jalan Kyai Tapa dengan nilai jual objek pajak (NJOP) Rp20 juta/m2. Padahal, NJOP bidang tanah di Jalan Tomang Utara hanya Rp7 juta/m2. Pada saat pembelian pihak YKSW masih terikat PPJB dengan pihak PT CKU.

Ketiga, kasus reklamasi Teluk Jakarta. Kasus ini yang terheboh, karena diawali dengan OTT dari KPK. Kasus suap yang mencuat hanyalah puncak gunung es.
Walaupun suap secara fisik antara pengembang dengan anggota DPRD, tetapi aroma kepentingan antara eksekutif-legislatif-pengembang sangat kental. Pemberian izin pelaksanaan reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Ahok patut diduga bermasalah.

Tarik ulur pembahasan dua raperda sebagai inisiatif eksekutif di DPRD, sarat dengan kepentingan ketiga pihak. Bagi eksekutif karena sudah telanjur mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi tetapi belum ada payung hukumnya, di samping masalah kewenangan. Bagi pengembang, karena reklamasi sudah berjalan dan sudah jualan, walau belum selesai dan belum ada izin pemanfaatan hasil reklamasi, menjadi kebingungan. Legislatif patut diduga memanfaatkan posisi kewenangannya.

Tidak ada persoalan hukum yang tidak bisa diselesaikan. Rakyat Indonesia sedang menunggu kiprah KPK, apakah benar memiliki tekad untuk memberantas korupsi ataukah hanya sebagai aksesori kelembagaan. Tentu kita perlu berpikir positif. Kita perlu berharap dengan penuh optimisme. Semoga pera penyelenggara negara memiliki sikap seperti Sun Tzu dan Raja Ho Lu. Insya Allah.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0522 seconds (0.1#10.140)