Suku Bunga Rendah, Ekonomi Menggeliat?

Selasa, 29 Maret 2016 - 13:47 WIB
Suku Bunga Rendah, Ekonomi...
Suku Bunga Rendah, Ekonomi Menggeliat?
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

BANK Indonesia (BI) selaku pemegang otoritas moneter pada akhirnya mengalah atas arus besar gelombang moneter dunia yang sedang ramai-ramainya menurunkan tingkat suku bunga acuan. Pada periode Februari lalu, BI sudah menurunkan tingkat suku bunganya (BI Rate ) dari 7,25% menjadi 7,00%.

BI kemudian memutuskan untuk menurunkan kembali tingkat suku bunga acuannya menjadi 6,75% pada pertengahan Maret 2016. Keputusan ini tentu menjadi pertanda yang baik bagi sektor riil yang membutuhkan dorongan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi melalui penguatan aksesibilitas kredit, serta mendorong sektor riil bergerak cepat.

Pertimbangan serupa terjadi pada beberapa bank sentral di negara-negara maju seperti Jepang, Swiss, Denmark, Swedia, dan Uni Eropa. Dikatakan bahwa penurunan tingkat suku bunga merupakan langkah penyeimbang dan sikap konstruktif atas perlambatan ekonomi dunia yang terjadi. Kebijakannya pun cukup beragam, ada negara yang menurunkan hingga mendekati nol basis poin dan bahkan ada juga yang menerapkan suku bunga negatif.

Bank of Japan (BoJ) selaku pemegang otoritas moneter di Negeri Matahari Terbit merilis suku bunga negatif sebagai upaya untuk memulihkan perekonomiannya. Kondisi makroekonomi Jepang yang tengah mengalami resesi karena produktivitas yang sedang menurun dan diperparah dengan jumlah penduduk yang menua terus meningkat, dijawab dengan penetapan suku bunga negatif. Tentu saja dengan harapan masyarakat akan menarik dananya dan meningkatkan belanjanya. Selain itu, pemerintah berharap ada respons lain berupa munculnya aktivitas yang mendorong produktivitas sektor industri dan jasa, yang selama ini kalah bersaing.

Latar belakang yang sama turut dilakukan pemerintah Indonesia. Rendahnya tingkat bunga yang ditetapkan diharapkan mampu menggairahkan investasi, serta mendorong para pengusaha untuk melakukan ekspansi bisnisnya. Kalau dirunut sejak awal 2015, langkah-langkah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini konsisten dengan paket kebijakan ekonomi yang selama ini sudah dikeluarkan, mulai paket pertama sampai dengan paket kesepuluh.

Sekalipun BI Rate sudah dua kali terjadi penurunan, tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, suku bunga di negara kita masih menjadi yang tertinggi. Posisi ini tentu kurang menguntungkan posisi daya saing Indonesia, serta berimbas pada posisi daya saing perbankan di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah masih tetap berharap BI secara sukarela memberikan tingkat suku bunga acuan yang lebih rendah lagi agar turut menekan bunga pinjaman hingga single digit .

Jika tingkat bunga pinjaman dapat ditekan menjadi single digit bisa diharapkan secara pasti sektor riil akan berkembang pesat daripada saat ini. Outcome kebijakan ini tentu terciptanya peluang perbaikan nilai tambah produk industri kita dan peluang kerja yang semakin besar bagi para tenaga kerja kita.

Syarat Lain yang Diperlukan
Syarat apa saja yang diperlukan agar tingkat bunga pinjaman mampu turun menuju single digit, selain BI Rate ? Kalau kita perhatikan kondisi tingkat bunga perbankan kita, rata-rata bunga kredit masih mencapai 12,83% per tahun, sehingga bisa dipastikan perbankan kita akan kesulitan berhadapan dengan perbankan lain di ASEAN, khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (BI, 2016).

Rata-rata bunga pinjaman tersebut dibentuk dari tiga komponen yang terdiri dari cost of fund, biaya operasional, serta nett interest margin (NIM). Ketiga unsur inilah yang seharusnya perlu ditekan, sebagai bagian dari kebijakan penurunan BI Rate, terutama dalam usaha mewujudkan target single digit .

Perihal cost of fund sudah diakui oleh pihak perbankan dan pengelola kebijakan (BI, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan) sebagai sesuatu yang mendesak untuk segera diregulasi ulang. Pengaruhnya cukup besar sebagai komponen pembentuk suku bunga kredit, yang diperkirakan rata-rata berkisar 6,35%.

Jika data terakhir BI rata-rata bunga kredit mencapai 12,83% maka cost of fund mempengaruhi 49,49%, sedangkan sisanya dibagi oleh besaran biaya operasional dan NIM. Target yang perlu dicanangkan saat ini adalah bagaimana menurunkan cost of fund menjadi sekitar 3-5%. Cost of fund sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor di dalamnya, seperti BI Rate , LPS Rate , dan tingkat risiko atas kredit.

Kunci utama di antara ketiganya adalah suku bunga dari BI, karena LPS Rate dan tingkat risiko atas kredit pada umumnya sering kali bergerak mengikuti BI Rate . Bunga deposito sebagai daya tarik bagi pemodal untuk menitipkan sebagian kekayaannya untuk disimpan di bank juga relatif mengikuti BI Rate , umumnya sekitar 1% di atas BI Rate .

Pada komponen berikutnya, yakni biaya operasional dan NIM memiliki keterkaitan yang cukup erat, karena NIM merupakan salah satu pertanda efisiensi dari sistem operasional perbankan. Kinerja perbankan masih cukup terjebak pada angka NIM yang persentasenya berkisar 5,63% (OJK, 2016).

Persentase NIM menurut Koch dan Scott (2000) amat penting untuk mengevaluasi kemampuan bank dalam mengelola risiko terhadap suku bunga. Saat-saat perubahan suku bunga acuan sering kali menjadi perjudian bagi kalangan perbankan, karena banyak berpengaruh terhadap pendapatan bunga dan biaya bunga bank.

Sebenarnya persentase dari NIM perbankan Indonesia sudah cukup menarik minat investor asing untuk menanamkan sahamnya ke perbankan Indonesia. Karena jika dibandingkan dengan perbankan lainnya di ASEAN, kita cukup unggul pada tingkat persentasenya. Hanya saja jika NIM perbankan tidak berusaha untuk dikendalikan, kekhawatirannya justru akan melemahkan peran sektor perbankan untuk turut mendukung tercapainya single digit bunga kredit.

Alternatif potensial sebagai substitusi pendapatan yang bersumber dari kredit, perbankan perlu didorong untuk mengembangkan fee based income dari transaksi digital yang akhir-akhir ini semakin menggeliat dengan perkembangan teknologi informasi. Pemerintah tinggal memfasilitasi dengan seperangkat kebijakan dan regulasi yang menunjang kemudahan dan keamanan dalam bertransaksi digital, dengan mendorong sektor perbankan sebagai motor financing intermediary institution.

Konektivitas Otoritas Keuangan
Dari isu yang berkembang saat ini, tiga otoritas utama pada sistem keuangan Indonesia yang terdiri dari pemerintah (yang diwakili Kementerian Keuangan), BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mencoba untuk merumuskan berbagai upaya agar bunga pinjaman mampu tercapai single digit pada penghujung tahun 2016. Kementerian Keuangan bersama beberapa bank BUMN dan lembaga pemerintahan lainnya, mencoba memengaruhi tingkat inflasi agar semakin berkualitas positif dengan tingkat suku bunga.

BI setelah ini juga akan mencoba semakin teliti menggunakan instrumen giro wajib minimum (GWM), untuk mendorong penurunan suku bunga sembari melihat peluang penurunan lainnya. Sementara OJK menyiapkan seperangkat insentif pada perbankan yang mampu meningkatkan efisiensinya.

Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad, paket insentif nantinya akan menyinggung efisiensi di sisi overhead , NIM, dan risk premium dari non-performing loan (NPL). Pemikiran berikutnya yang tidak kalah penting adalah runtutan langkah lanjutan agar bagaimana pilar-pilar moneter yang sudah dibahas mampu disinergikan dengan kebijakan di sektor riil.

Pertama, BI dan OJK perlu untuk dipertegas perannya sebagai mitra pemerintah dalam mengemban sistem makro dan mikroprudensial. Selama ini ada faktor dasar yang belum mampu dikoordinasikan secara maksimal oleh kedua otoritas, seperti kebutuhan data dan informasi yang bersifat mikro yang belum terhubung secara efektif dengan kebutuhan data untuk melahirkan kebijakan makro.

Kondisi ini sekali lagi menegaskan perlunya harmonisasi kebijakan antara BI dan OJK dalam menyusun instrumen-instrumen di sektor moneter dan perbankan. BI menyusun instrumen suku bunga acuan dan GWM yang kompetitif, sedangkan OJK menyusun desain pengelolaan insentif yang menunjang efisiensi NIM. Nantinya BI juga akan berkolaborasi dengan pemerintah sebagai otoritas fiskal untuk menekan inflasi yang banyak berkausalitas dengan suku bunga acuan.

Kedua, daya saing perbankan perlu terus diperkuat terutama dengan meningkatkan efisiensi untuk menekan NIM sebagai bekal mengikuti persaingan pada era MEA. Kita masih menunggu bagaimana bentuk-bentuk insentif yang akan diberikan OJK sebagai stimulus untuk menekan persentase NIM. Indonesia dalam 1-2 tahun ke depan akan berupaya minimal mendekati capaian dari Thailand agar mampu bersaing.

Ketiga, kalau memang nantinya bunga kredit single digit betul-betul terealisasi, perbankan perlu melirik pada industri berbasis pertanian yang jumlahnya sangat potensial untuk dikembangkan. Strategi ini bisa dikembangkan dengan komitmen perbankan untuk menjadi lembaga keuangan yang inklusif. Hanya sedikit celah yang dimiliki industri pertanian meskipun sudah cukup feasible , akan tetapi jika berbicara pada regulasi kredit, industri ini masih belum cukup bankable.

Jika nantinya kredit pada sektor ini mampu ditumbuhkembangkan, harapan baru akan muncul karena kecukupan modal dapat menunjang perkembangan lainnya seperti pengembangan sistem inovasi, teknologi, dan keterkaitan dengan industri lainnya (industrial linkages). Peran pemerintah daerah pada posisi ini juga dapat dimunculkan untuk menginventarisasi desain kebijakan pengembangan industri, terutama untuk kepentingan pengembangan industri berbasis ekspor dan penggunaan sumber daya lokal sebagai motor pembangunan.

Dengan demikian, untuk menyikapi cita-cita dari pemerintah pada saat ini yang berkehendak menggairahkan sektor riil dengan penerapan bunga kredit single digit memang tidak bisa dilakukan secara terpisah. Konektivitas antara otoritas fiskal yang dikoordinasi pemerintah dan otoritas moneter yang dikomandoi BI dan OJK menjadi kebutuhan yang mutlak sepanjang kepentingannya sama, yakni kesejahteraan masyarakat.

Kita juga tidak bisa mengelak bahwa kedua sisi ekonomi (fiskal dan moneter) akan banyak mempengaruhi psikologi kaum deposan besar dan investasi di sektor industri sebagai duta dari sektor riil. Semoga saja upaya koordinasi kelembagaan pada ketiga otoritas mampu berjalan optimal.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0216 seconds (0.1#10.140)