Nyepi di Tengah Gaduh
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
SEJAK Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1984, saudara-saudari kita pemeluk Hindu Dharma di negeri ini bisa melaksanakan catur brata, penyepian dengan lebih baik. Tentu tidak mudah melaksanakan catur brata berupa amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan, terlebih di tengah kegaduhan kehidupan berbangsa akhir-akhir ini.
Amati geni bukan hanya secara nyata tidak menyalakan api (dan aliran listrik) serta segala turunannya, seperti menghidupkan gadget , komputer, televisi, merokok, dan memasak. Brata itu lebih luas maknanya agar kita tidak mengumbar hawa nafsu. Pada saat Nyepi akan terlihat tingkat pengendalian diri seseorang. Yang biasanya sarapan pukul 10.00 pagi, misalnya, harus puasa total–tidak makan dan minum sepanjang hari–agar bisa hening jiwa raga.
Ujian berupa meditasi dan introspeksi diri dalam rangka menyongsong Tahun Baru Saka 1938 tersebut berlangsung sehari penuh sejak pukul 06.00 pagi sampai esok harinya pada jam yang sama. Ibarat tutup buku organisasi (perusahaan), selama sehari penuh tersebut tidak melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari (amati karya) dan tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak bersenang-senang (amati lelanguan), seolah putus dari dunia luar yang penuh kegaduhan.
Kondisi putus hubungan dengan dunia luar tersebut diharapkan memberi pelajaran berharga tentang hidup sebatang kara dan betapa kecilnya diri ini di hadapan kebesaran semesta dan terlebih kebesaran Sang Pencipta. Kondisi ini juga diharapkan menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya keberadaan dan kehadiran saudara, teman, tetangga, pelanggan, dan handai tolan dalam kehidupan kita. Catur brata penyepian juga menggugah kesadaran akan pentingnya berdana punia, tolong menolong, gotong-royong, kerja bakti, dan aneka aksi sosial demi kesejahteraan dan peningkatan derajat hidup manusia dan masyarakat.
Untuk itu, sepanjang tahun (kecuali hari Nyepi), penganut Hindu Dharma wajib bekerja/ berusaha keras untuk memperoleh artha (kekayaan) berlandaskan dharma (agama). Artha tanpa dharma akan melahirkan kelompok masyarakat sudra. Dengan nilai lebih (dharma dan arta) niscaya akan sampai pada tahapan tujuan hidup berikutnya, kama, sebagai sumbangsih nyata terhadap masyarakat sekitar dalam arti seluas-luasnya berupa material atau imaterial tanpa pamrih. Akhirnya, dengan catur brata penyepian tercapai tujuan hidup moksa – menurut ajaran Catur Purusa Artha.
***
Pesan moral dan nilai luhur yang terkandung dalam perayaan Nyepi selain yang telah diuraikan di atas adalah ajakan untuk selalu berdamai sebagaimana diucapkan dalam mantra penutup dalam segala aktivitas pemeluk Hindu Dharma; Om Santhi, Santhi, Santhi. Artinya (atas perkenan-Mu, Tuhan, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu). Untuk maksud tersebut Nyepi diawali dengan ritual makiyis, ngrupuk (Tawur Agung), dan ditutup dengan Dharma Santi pada saat ngembak geni, sehari sesudah Nyepi.
Makiyis adalah prosesi membersihkan diri masing-masing dan semua peralatan pura di sungai atau pantai dengan memercikkan tirta suci. Tawur Agung atau Tawur Kasanga– yang lebih dikenal sebagai pawai ogoh-ogoh–dimaksudkan agar kekuatan jahat tidak mengganggu kehidupan manusia dalam satu tahun ke depan. Kegiatan ini dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, yaitu pada sore hari menjelang malam.
Jelas banyak inspirasi dari Nyepi. Salah satunya esensi Nyepi kini juga dielaborasi untuk menggugah kesadaran masyarakat dunia dengan ajakan “sehari tidak naik kendaraan” sebagai langkah awal menuju bebas polusi. Realisasinya, kita lihat dari berbagai kegiatan bertajuk “car free day" yang kini marak digelar di berbagai kota.
Kita tahu berbicara tentang polusi, misalnya, tidak bisa dianggap remeh lagi. Menurut rilis Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi. Dampak polusi bagi kesehatan ternyata sangat serius dan para dokter bisa membuktikan kebenaran dari pernyataan ini.
Maka, beberapa pemerintah di dunia sudah melakukan langkah nyata. Pemerintah di kota-kota besar seperti Paris sudah menggratiskan angkutan umum, agar warga tak tergoda memakai kendaraan pribadi. Dengan demikian, ancaman polusi bisa dikurangi atau diminimalkan. Pemerintah China juga membatasi nomor kendaraan umum setiap bulan hanya untuk 10.000 pemilik. Jika ada 100 ribu peminat, maka mereka masuk dalam daftar tunggu. Bayangkan, jika pemerintah kita tidak mengobaral nomor kepemilikan kendaraan, pasti angka polusi di Jakarta atau Surabaya akan bisa ditekan lebih lagi.
Terinspirasi oleh Nyepi, PBB sejak tahun 2010 menyetujui keberadaan “World Silent Day“ atau Hari Hening Sedunia. Memang keberadaan Hari Hening ini sudah dirintis sejak 2008. Makin banyak orang tersadarkan bahwa dunia membutuhkan saat hening yang di antaranya ditandai dengan tidak menggunakan alat elektronik dan kendaraan bermotor. Jadi, dengan Nyepi, dengan berani hening, kita diajak memikirkan nasib ekologi atau lingkungan hidup, khususnya habitat kita agar tidak semakin rusak.
Namun, secara jujur harus kita akui bahwa isu-isu ekologis atau penyelamatan lingkungan hidup dalam praktik kerap kali masih tergusur atau terpinggirkan oleh kegaduhan di ranah politik. Padahal, hari-hari ini banyak bencana alam terjadi, khususnya banjir dan longsor di berbagai kawasan di negeri ini. Terkait kegaduhan, sejak dua tahun terakhir–tepatnya sejak Pilpres 2014 hingga kini–perpolitikan kita selalu gaduh. Kita selalu terjebak dari satu kegaduhan politik yang satu ke kegaduhan politik yang lain. Bahkan para pembantu dekat Presiden seperti para menteri, doyan memproduksi kegaduhan. Dan keberadaan media sosial, justru kian memperparah kegaduhan.
Dampak dari politik gaduh ini jelas kontraproduktif dan banyak merugikan. Kita menjadi sulit untuk menyepi atau memiliki keheningan. Akibatnya, kejernihan untuk berpikir dan bertindak tidak ada. Kalau toh berpikir dan bertindak kerap kali justru makin terjebak dalam kedangkalan. Berbagai hal yang esensial seperti masalah perubahan iklim atau pelestarian hutan, air, udara, dan laut kita menjadi terabaikan. Atau kalau toh diperhatikan, itu hanya kulit luarnya.
Maka, seiring perayaan Nyepi, mari kita berani menyepi, berani hening, agar hal-hal yang hakiki bagi kehidupan berbangsa kita lebih diutamakan dan tidak diabaikan. Jadi, sebenarnya banyak hal bisa ditimba dan dielaborasi dari Nyepi, yang sarat akan nilai dan kaya akan inspirasi. Kita yang bukan umat Hindu pun sebenarnya bisa menimba nilai yang berharga dari perayaan Nyepi ini.
Kemajemukan Indonesia yang begitu kaya akan tetap terawat dan terjaga jika kita berani mengapresiasi apa yang baik dan bernilai dari sesama umat beragama. Dengan demikian, perbedaan tidak akan diperuncing, tapi titik temu akan dicari dan masing-masing dari kita lebih fokus memberi yang terbaik bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan para warganya. Selamat Nyepi dan Tahun Baru Saka 1938.
Teolog dan Aktivis Lintas Agama
SEJAK Hari Raya Nyepi ditetapkan sebagai hari libur nasional pada 1984, saudara-saudari kita pemeluk Hindu Dharma di negeri ini bisa melaksanakan catur brata, penyepian dengan lebih baik. Tentu tidak mudah melaksanakan catur brata berupa amati geni, amati karya, amati lelungan, dan amati lelanguan, terlebih di tengah kegaduhan kehidupan berbangsa akhir-akhir ini.
Amati geni bukan hanya secara nyata tidak menyalakan api (dan aliran listrik) serta segala turunannya, seperti menghidupkan gadget , komputer, televisi, merokok, dan memasak. Brata itu lebih luas maknanya agar kita tidak mengumbar hawa nafsu. Pada saat Nyepi akan terlihat tingkat pengendalian diri seseorang. Yang biasanya sarapan pukul 10.00 pagi, misalnya, harus puasa total–tidak makan dan minum sepanjang hari–agar bisa hening jiwa raga.
Ujian berupa meditasi dan introspeksi diri dalam rangka menyongsong Tahun Baru Saka 1938 tersebut berlangsung sehari penuh sejak pukul 06.00 pagi sampai esok harinya pada jam yang sama. Ibarat tutup buku organisasi (perusahaan), selama sehari penuh tersebut tidak melakukan segala bentuk aktivitas sehari-hari (amati karya) dan tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak bersenang-senang (amati lelanguan), seolah putus dari dunia luar yang penuh kegaduhan.
Kondisi putus hubungan dengan dunia luar tersebut diharapkan memberi pelajaran berharga tentang hidup sebatang kara dan betapa kecilnya diri ini di hadapan kebesaran semesta dan terlebih kebesaran Sang Pencipta. Kondisi ini juga diharapkan menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya keberadaan dan kehadiran saudara, teman, tetangga, pelanggan, dan handai tolan dalam kehidupan kita. Catur brata penyepian juga menggugah kesadaran akan pentingnya berdana punia, tolong menolong, gotong-royong, kerja bakti, dan aneka aksi sosial demi kesejahteraan dan peningkatan derajat hidup manusia dan masyarakat.
Untuk itu, sepanjang tahun (kecuali hari Nyepi), penganut Hindu Dharma wajib bekerja/ berusaha keras untuk memperoleh artha (kekayaan) berlandaskan dharma (agama). Artha tanpa dharma akan melahirkan kelompok masyarakat sudra. Dengan nilai lebih (dharma dan arta) niscaya akan sampai pada tahapan tujuan hidup berikutnya, kama, sebagai sumbangsih nyata terhadap masyarakat sekitar dalam arti seluas-luasnya berupa material atau imaterial tanpa pamrih. Akhirnya, dengan catur brata penyepian tercapai tujuan hidup moksa – menurut ajaran Catur Purusa Artha.
***
Pesan moral dan nilai luhur yang terkandung dalam perayaan Nyepi selain yang telah diuraikan di atas adalah ajakan untuk selalu berdamai sebagaimana diucapkan dalam mantra penutup dalam segala aktivitas pemeluk Hindu Dharma; Om Santhi, Santhi, Santhi. Artinya (atas perkenan-Mu, Tuhan, semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu). Untuk maksud tersebut Nyepi diawali dengan ritual makiyis, ngrupuk (Tawur Agung), dan ditutup dengan Dharma Santi pada saat ngembak geni, sehari sesudah Nyepi.
Makiyis adalah prosesi membersihkan diri masing-masing dan semua peralatan pura di sungai atau pantai dengan memercikkan tirta suci. Tawur Agung atau Tawur Kasanga– yang lebih dikenal sebagai pawai ogoh-ogoh–dimaksudkan agar kekuatan jahat tidak mengganggu kehidupan manusia dalam satu tahun ke depan. Kegiatan ini dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, yaitu pada sore hari menjelang malam.
Jelas banyak inspirasi dari Nyepi. Salah satunya esensi Nyepi kini juga dielaborasi untuk menggugah kesadaran masyarakat dunia dengan ajakan “sehari tidak naik kendaraan” sebagai langkah awal menuju bebas polusi. Realisasinya, kita lihat dari berbagai kegiatan bertajuk “car free day" yang kini marak digelar di berbagai kota.
Kita tahu berbicara tentang polusi, misalnya, tidak bisa dianggap remeh lagi. Menurut rilis Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi. Dampak polusi bagi kesehatan ternyata sangat serius dan para dokter bisa membuktikan kebenaran dari pernyataan ini.
Maka, beberapa pemerintah di dunia sudah melakukan langkah nyata. Pemerintah di kota-kota besar seperti Paris sudah menggratiskan angkutan umum, agar warga tak tergoda memakai kendaraan pribadi. Dengan demikian, ancaman polusi bisa dikurangi atau diminimalkan. Pemerintah China juga membatasi nomor kendaraan umum setiap bulan hanya untuk 10.000 pemilik. Jika ada 100 ribu peminat, maka mereka masuk dalam daftar tunggu. Bayangkan, jika pemerintah kita tidak mengobaral nomor kepemilikan kendaraan, pasti angka polusi di Jakarta atau Surabaya akan bisa ditekan lebih lagi.
Terinspirasi oleh Nyepi, PBB sejak tahun 2010 menyetujui keberadaan “World Silent Day“ atau Hari Hening Sedunia. Memang keberadaan Hari Hening ini sudah dirintis sejak 2008. Makin banyak orang tersadarkan bahwa dunia membutuhkan saat hening yang di antaranya ditandai dengan tidak menggunakan alat elektronik dan kendaraan bermotor. Jadi, dengan Nyepi, dengan berani hening, kita diajak memikirkan nasib ekologi atau lingkungan hidup, khususnya habitat kita agar tidak semakin rusak.
Namun, secara jujur harus kita akui bahwa isu-isu ekologis atau penyelamatan lingkungan hidup dalam praktik kerap kali masih tergusur atau terpinggirkan oleh kegaduhan di ranah politik. Padahal, hari-hari ini banyak bencana alam terjadi, khususnya banjir dan longsor di berbagai kawasan di negeri ini. Terkait kegaduhan, sejak dua tahun terakhir–tepatnya sejak Pilpres 2014 hingga kini–perpolitikan kita selalu gaduh. Kita selalu terjebak dari satu kegaduhan politik yang satu ke kegaduhan politik yang lain. Bahkan para pembantu dekat Presiden seperti para menteri, doyan memproduksi kegaduhan. Dan keberadaan media sosial, justru kian memperparah kegaduhan.
Dampak dari politik gaduh ini jelas kontraproduktif dan banyak merugikan. Kita menjadi sulit untuk menyepi atau memiliki keheningan. Akibatnya, kejernihan untuk berpikir dan bertindak tidak ada. Kalau toh berpikir dan bertindak kerap kali justru makin terjebak dalam kedangkalan. Berbagai hal yang esensial seperti masalah perubahan iklim atau pelestarian hutan, air, udara, dan laut kita menjadi terabaikan. Atau kalau toh diperhatikan, itu hanya kulit luarnya.
Maka, seiring perayaan Nyepi, mari kita berani menyepi, berani hening, agar hal-hal yang hakiki bagi kehidupan berbangsa kita lebih diutamakan dan tidak diabaikan. Jadi, sebenarnya banyak hal bisa ditimba dan dielaborasi dari Nyepi, yang sarat akan nilai dan kaya akan inspirasi. Kita yang bukan umat Hindu pun sebenarnya bisa menimba nilai yang berharga dari perayaan Nyepi ini.
Kemajemukan Indonesia yang begitu kaya akan tetap terawat dan terjaga jika kita berani mengapresiasi apa yang baik dan bernilai dari sesama umat beragama. Dengan demikian, perbedaan tidak akan diperuncing, tapi titik temu akan dicari dan masing-masing dari kita lebih fokus memberi yang terbaik bagi kemajuan bangsa dan kesejahteraan para warganya. Selamat Nyepi dan Tahun Baru Saka 1938.
(poe)