Hakim Progresif Berjiwa Sosial-Kebangsaan

Selasa, 01 Maret 2016 - 15:53 WIB
Hakim Progresif Berjiwa Sosial-Kebangsaan
Hakim Progresif Berjiwa Sosial-Kebangsaan
A A A
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum UGM

APALAH artinya Hari Kehakiman atau Hari Dharma Karyadhika diperingati setiap 1 Maret, bila tidak ada perubahan sikap dan pemikiran para hakim ke arah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaan itu dikedepankan agar menjadi perhatian. Sehingga peringatan Hari Dharma Karyadhika berlangsung tidak sekadar sebagai upacara rutinitas, tetapi ada makna dan manfaat bagi bangsa.

Kita sadar, di tengah kehidupan yang cenderung materialistis, hedonistik, dan sekuler saat ini, untuk menjadi hakim yang amanah terhadap tugas dan jabatannya bukan persoalan mudah. Kita paham, hakim tidak bekerja sendirian dan imun dari pengaruh lingkungan. Oknum-oknum pengacara, jaksa, polisi, calo-calo perkara, politisi, birokrasi, hingga kini masih menjadi faktor-faktor determinan yang berpengaruh terhadap integritas hakim.

Dalam rasionalitas kita, untuk memiliki hakim-hakim amanah, tampaknya masih perlu perjuangan keras. Realitas di sekitar kita menunjukkan masih banyak hakim-hakim sebagai "mulut undang-undang" belaka. Mereka tunarungu terhadap suara keadilan masyarakat. Mereka setiap saat terlihat sibuk memeriksa dan mengadili perkara, tetapi ketika menjatuhkan vonis, kiblatnya kepada perundang-undangan.

Perundang-undangan ditafsirkan subjektif dan sekuler. Sikap demikian diduga banyak dilandasi motif-motif kepentingan duniawi, seperti; ingin cepat kaya, ingin bekerja nyaman dan aman, ingin cepat naik pangkat, atau ingin memenangkan pihak-pihak tertentu, dan sebagainya. Mereka lupa makna irah-irah vonis yang berbunyi: "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Mereka lalai terhadap amanah Sila kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Dari perspektif moralitas hukum, hakim yang tidak amanah adalah hakim yang "gelap hati". Betul bahwa hakim adalah manusia, dan dia punya hati. Tetapi hanya hati dalam pengertian fisik, sementara hati dalam makna spiritualnya telah keruh dan beku, sehingga tidak dapat difungsikan untuk menerima hidayah Tuhan Yang Mahaadil, dan mendengarkan suara hati masyarakat. Apa yang disebut amanah, hanya diingat sebatas ajaran di kala masih kuliah, sebatas tulisan di atas kertas, ataupun pilihan topik-topik indah ketika pengajian. Amanah dilihatnya sebagai barang usang, kuno, tak menarik untuk dihayati dan diamalkan dalam menjalankan profesinya.

Langkanya hakim amanah di dunia peradilan dapat dilihat dari semakin maraknya perilaku menyimpang. Misalnya; tanpa kontrol, keluar dari etika, melanggar hukum, seperti mafia peradilan, jual-beli perkara, suap-menyuap, kongkalikong, dan sebagainya. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat jamak di masyarakat. Sebagian daripadanya telah diproses dan diputus di pengadilan, tetapi koruptor yang masih berkeliaran dan lolos dari hukuman masih banyak.

Tak terbantahkan, mulai dari pusat hingga daerah, mulai dari kalangan elite tingkat tinggi hingga masyarakat termiskin, pada kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif, di sana masih marak korupsi. Korupsi tidak hanya berupa uang, melainkan juga manipulasi anggaran, pencucian uang, dan tindak pidana lain sejenis. Hakim amanah mesti sigap dan progresif ikut serta memberantas berbagai tindak kejahatan tersebut.

Sejak lama Satjipto Rahardjo (2000) telah mengingatkan dan mendorong perlunya hakim bersikap progresif. Dalam pemikiran demikian, hakim hendaknya bekerja dengan hati nurani dan bukan bekerja sekadar dengan otak. Kecerdasan intelektual (intellectual quotion) saja tidak cukup, melainkan perlu dilengkapi dengan kecerdasan sosial (social quotion) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotion).

Dengan kecerdasan yang komplit itu maka hakim akan mampu mengubah paradigma hukum sebagai teks-teks perundang-undangan menjadi tatanan kehidupan yang utuh, mencakup: transcendental order, sociological order, dan political order. Pikiran (mindset) positif-tekstual yang cenderung hanya mengeja suatu peraturan, dapat diperluas cakupannya menjadi pencarian esensi keadilan substantif yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di situ hakim bekerja melalui kontemplasi, menggunakan hati nurani, menempatkan diri sebagai "telinga sosial", agar dapat mendengar suara keadilan masyarakat dan mengejawantahkannya dalam vonis yang dibuatnya.

Ketika mindset dan orientasi hakim tertuju pada keadilan substantif, terbukalah panorama dan cakrawala luas. Bahwa kita (hakim dan masyarakat) adalah makhluk sosial sekaligus makhluk spiritual, dan bukan sekadar makhluk individual. Kehidupan tidak berhenti di dunia (planet) bumi saja, melainkan berlanjut sampai di alam baqa, dan di sanalah segala amal perbuatan masing-masing dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Mahaadil. Dengan demikian, hakim progresif adalah hakim yang salim kalbunya, profesional kerjanya, ramah pelayanannya, mampu berbagi suka-duka dengan masyarakat, dan putusan-putusannya selaras dengan suara hati rakyat, baik rakyat pencari keadilan maupun masyarakat luas sebagai bangsa.

Belum lama berselang, saya berkesempatan bincang-bincang dengan seorang hakim agung dan seorang mantan hakim agung. Bagi saya, keduanya, tergolong sebagai "manusia langka", karena integritas dan profesionalitasnya.

Keduanya menuturkan bahwa menjadi hakim (agung) tidak cukup hanya berbekal kepintaran membaca dan menghafal peraturan, lolos dari seleksi oleh panitia seleksi di Komisi Yudisial, dan lolos fit and proper test di DPR. Melainkan perlu moralitas, keberanian, dan tangguh menghadapi godaan-godaan. Hakim (agung) itu harus tangguh, sengguh ora mingkuh (tegar, kuat, dan tidak goyah, senantiasa komitmen pada amanah tugas dan jabatan). Pesan moral itu semoga singgah di hati para hakim dan mereka yang terlibat dalam proses peradilan di negeri ini. Wallahu’alam.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6012 seconds (0.1#10.140)