Tenggelamnya Kapal Keadilan Hukum

Senin, 22 Februari 2016 - 15:30 WIB
Tenggelamnya Kapal Keadilan Hukum
Tenggelamnya Kapal Keadilan Hukum
A A A
SALAH satu media nasional pada 12 Februari 2016 menampilkan berita “KPK Dukung Jaksa Agung“; “Polisi Serahkan ke Jaksa”, dan dalam berita tersebut terselip berita Jaksa Agung berkirim surat tertanggal 4 Februari 2016 kepada Ketua DPR RI untuk minta pendapat DPR RI mengenai penghentian kasus AS dan BW.

Berita mengenai kasus mantan pimpinan KPK dan penyidik KPK mengisi kolom harian nasional sungguh mem-prihatinkan sekaligus mengecewakan. Di samping tentunya sukacita bagi mereka yang berhasil “menenggelamkan perahu keadilan hukum” baik bagi korban maupun dari sudut pelaku tindak pidana, di negeri yang katanya berdasarkan Negara Hukum (Bab I Pasal 1 ayat 3-UUD 1945).

Tenggelamnya Kapal Keadilan hukum mendekati kenyataan dengan berita KORAN SINDO (17/2) yang memberitakan hampir pasti Jaksa Agung mengeluarkan SKPP terhadap terdakwa NB, disusul berita media nasional lain pada 18 Februari dengan judul “JA akan pilih SKP2“.

Sejak awal perlu dicermati bahwa Pasal 144 KUHAP perihal penarikan kembali surat dakwaan hanya bisa dilakukan jika pengadilan belum menetapkan tanggal/hari sidang, sedangkan perkara NB sudah ditetapkan tanggal sidangnya dan telah ada penunjukan majelis hakim.

Beberapa keberatan penulis terhadap langkah Kejaksaan Agung disebabkan beberapa pertimbangan yaitu: Pertama , bahwa tuduhan kriminalisasi dan rekayasa terhadap Polri dalam kasus NB dengan merujuk pada tempus delicti yang telah lama dan mengapa baru tahun 2015 diproses kembali, bukan alasan yang tepat secara hukum. Karena tenggat waktu kedaluwarsa (Pasal 78 KUHAP) belum terlampaui.

Kedua, jika benar Polri di Bengkulu merekayasa atau mengkriminalisasi, tidak mungkin kejaksaan telah menetapkan P-21 dan pelimpahan perkara ke PN Bengkulu tanggal 29 Januari 2016. Ketiga, dugaan kriminalisasi dan rekayasa terhadap NB mengada-ada karena telah terbukti ada korban mati dan cacat/luka berat akibat penganiayaan yang diduga telah dilakukan NB ketika menjabat sebagai kasatserse Polres Bengkulu.

Jumlah korban mati satu orang, dan luka serta cacat fisik sebanyak lima orang di ILC telah disampaikan oleh korban sendiri dan bahkan orang yang tidak tahu dan ikut serta dalam pencurian sarang walet pun dipaksa harus mengakui melakukan pencurian.

Keempat, tudingan kriminalisasi atau rekayasa atas NB bukan hanya ditujukan terhadap Polri Bengkulu, tetapi secara tidak langsung terhadap kejaksaan Bengkulu yang telah menyatakan P-21 dan bahkan perkara NB telah dilimpahkan ke pengadilan.

Kelima, gerakan “perlawanan” LSM antikorupsi dan pimpinan KPK III dan IV terhadap penegakan hukum dalam kasus NB merupakan “insubordinasi” masyarakat sipil dan lembaga negara KPK terhadap kekuasaan negara. Aksi tersebut dapat digolongkan ter-hadap tindakan menghalang-halangi proses peradilan dan melanggar ketentuan perundang-undangan, dan sekaligus contoh buruk penegakan hukum di negeri ini.

KPK dalam posisi sebagai lembaga negara adhoc dan didanai oleh APBN telah tidak menunjukkan integritas, akuntabilitas dan profesionalitas sebagai pejabat negara/ penegak hukum dengan cara “turut serta” melakukan perlawanan penegakan hukum terhadap kasus penganiayaan yang telah dilakukan oleh NB.

Keenam, hasil penelitian Ombudsman bukan penyelidikan dan penyidikan tidak bersifat projustisia sehingga isi laporan patut diragukan secara hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum apapun dan bukan alasan untuk penghentian proses peradilan atas perkara NB.

Ombudsman tidak transparan menjelaskan kepada publik secara terbuka, kecuali terhadap kelompok masyarakat yang pro NB. Ketujuh, perlawanan sekelompok masyarakat atas nama koalisi LSM anti Korupsi dengan “dukungan” KPK III dan IV mencerminkan “kekuasaan absolut kelompok tersebut dan KPK” dan telah mempertontonkan “imunitas” terhadap tuntutan pidana.

Kedelapan, absolutisme pemikiran/ pandangan/pendapat sekelompok orang dalam Koalisi LSM Anti Korupsi dan pimpinan KPK terhadap benar/ tidaknya dugaan pelanggaran hukum oleh anggota kelompok mereka dan pimpinan/pegawai KPK telah mencederai dan menjungkirbalikkan tatanan sistem hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku dalam Negara Hukum RI. Cara itu tidak bisa diambil; sekalipun telah diperoleh bukti permulaan yang cukup berdasarkan UU yang berlaku.

Kesembilan, cara dan strategi “mencegah dan menghindarkan” NB dari jeratan hukum oleh sekelompok masyarakat dan Pimpinan KPK III dan IV telah menciderai rasa keadilan dan intervensi terhadap prinsip kekuasaan kehakiman: Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan (termasuk proses penyidikan dan penuntutan) guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009)

Kesepuluh, turut campurnya Presiden Joko Widodo memperumit jalannya penegakan hukum terhadap tersangka NB. Kesebelas, dengan turut campurnya Presiden dalam perkara NB maka perkara ini bukan lagi masalah penegakan hukum, melainkan masalah politik yang mencerminkan ketidakadilan struktural yang sejak lama ditentang keras oleh tokoh-tokoh pendiri YLBHI dan LBH se-Indonesia.

Ekses negatif yang muncul bukannya meredakan “kegaduhan” yang dirisaukan oleh Presiden Joko Widodo akan tetapi kinerja penegakan hukum oleh Polri menjadi stagnan dan tidak memiliki kewibawaan di hadapan rakyat jelata. Ekses yang sangat buruk di dalam pandangan masyarakat bawah adalah hukum identik dengan kekuasaan.

Hukum nyata sebagai alat kekuasaan pemerintah dan pengadilan bukan lagi menjadi tempat mencari dan menemukan keadilan, melainkan “tempat keadilan” berada dalam genggaman tangan kekuasaan yang didukung oleh mereka yang mengatasnamakan masyarakat sipil.

Peristiwa “campur tangan kekuasaan” dalam kasus NB, BW dan AS, menyebabkan penulis sendiri merasa diperlakukan sebagai “warga negara kelas dua” di
republik ini jika menoleh ke belakang tuduhan terhadap penulis dalam kasus Sisminbakum.

Membaca berita di Majalah Tempo , Senin (15/2) di halaman 29-36 dengan judul berita:“Buyar Rencana karena Istana “; “Berhenti Perkara di tangan Jaksa“, dan “Kebut-kebutan Menggergaji Kuningan “; jelas sekali penulis dalam majalah tersebut telah menyatakan keberpihakan 100% terhadap oknum-oknum KPK yang tengah didera masalah hukum.

Dengan sendirinya sang penulis menegasikan kinerja Bareskrim Polri dan penyidik polda setempat dan dikesankan rekayasa terencana Polri seperti apa yang telah dikatakan penasihat hukum Muji Kartika Rahayu; “tujuannya memang supaya mereka berhenti dari pimpinan KPK”.

Semakin menyedihkan bagi kita termasuk saya, bahwa ada skenario penghentian penanganan perkara NB diwarnai barter status posisinya di KPK dan yang tidak kalah mengecewakan. Di dalam berita majalah Tempo tersebut ditulis “dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Basaria Panjaitan, justru berusaha meyakinkan Novel bahwa, dari informasi yang mereka peroleh, perlawanan Novel di pengadilan akan sia-sia”.

Dalam pandangan saya-jika benar informasi ini-kedua pimpinan KPK bukan penegak hukum sejati karena seharusnya mereka menganjurkan agar NB mematuhi hukum yang berlaku apalagi dengan tawaran “barter” asalkan NB tidak bertugas di KPK lagi. Sungguh cara-cara tidak etis dan memalukan bagi kalangan hukum jika informasi dalam majalah Tempo ini benar adanya.

Preseden yang telah dibangun pada masa pemerintahan SBY dalam kasus Bibit-Chandra, bukan preseden yang baik, namun jelas keliru karena sejatinya putusan pengadilan yang menentukan seseorang bersalah dan tidak bersalah. Penghentian perkara NB. Jika terjadi pada dua oknum mantan pimpinan KPK merupakan bentuk kesewenangan kekuasaan dengan menegasikan kepentingan korban penganiayaan.

Ratifikasi konvensi internasional tentang HAM-ICCPR (1996) dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi Anti Penyiksaan (1984) dan Declaration Principles of Protection of Crimes and Abuse of Power -1985 dan Pengakuan RI atas Declaration Principles of Use of Firearms- semata-mata ditujukan untuk melindungi korban kejahatandan penyalahgunaan kekuasaan oleh alat-alat negara, menjadi tidak bermakna, bahkan bertentangan secara diametral dengan UUD 1945-Bab XA tentang Hak Asasi Manusia.

Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Unpad, Guru Besar Tetap Unpas
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3892 seconds (0.1#10.140)